Ular Randu Alas
|
Tersembunyi
kisah rahasia pada sebatang pohon randu alas tua. Tak seorang
pun berani menebangnya. Seabad sudah pohon randu alas itu berumur. Aku menduga,
pohon randu alas yang menjulang kokoh di tepi jalan pertigaan menuju perumahan
tempat tinggalku berumur lebih dari seabad.
Sejak
aku kecil, pohon randu alas itu telah tumbuh sebesar sekarang—empat rentangan
tangan orang dewasa—rindang dan menggugurkan daun-daun kering kekuningan pada
musim kemarau. Umurku kini enam puluh dua, sudah beberapa tahun pensiun,
menjadi saksi pohon randu alas yang berdiri tegak, rimbun dedaunan, dan
dianggap angker.
Seekor
ular bersarang di rongga lapuk pangkal pohon randu alas yang menganga serupa
gua. Bila diintip ke dalam gelap rongga pangkal pohon itu, tampak sepasang mata
ular berkilau mengancam. Sepasang mata seekor ular yang siap mematukku, suatu
saat bila aku terlena.
Sebatang
pohon jambu biji tumbuh liar di bawah pohon randu alas—mungkin sisa hutan jambu
yang ditebang habis untuk lahan perumahan. Dari dua cabang pohon jambu terjulur
beberapa ranting dan bergelantungan buah-buah yang selalu ranum. Tak jauh dari
pohon jambu, tumbuh pohon melati liar, bermekaran bunga-bunga putih mungil.
Tercium lembut wangi tiap pagi.
Untuk
cucu kesayanganku, Aini, kupetik buah-buah jambu ranum kesukaannya dan
bunga-bunga melati yang dijadikannya sebagai mainan. Menjelang siang ia pulang
sekolah taman kanak-kanak bersama teman-temannya, beramai-ramai makan buah
jambu, dan bermain-main kembang-kembang melati yang kupetik.
Berada
di bawah pohon randu alas, aku kadang merasa cemas. Dalam mimpiku enam tahun
silam, seorang nenek keriput dengan tongkat kepala ular, mengutukku, ”Kau tega
melukai ular penunggu randu alas. Tiba waktunya nanti, pada umurmu yang ke-62,
ular itu akan mematukmu!”
***
Gairah
untuk memetiki buah-buah jambu yang ranum, dengan merenggut ujung ranting dan
menjulurkan tangan meraih buah-buah itu, menggetarkan tubuhku. Kutukan
perempuan tua penunggu randu alas itu, yang datang dalam mimpi, sudah saatnya
terjadi. Aku mesti menjemput takdirku. Bila memang harus mati dipatuk ular,
biarlah aku merasakan sakit patukan ular yang dulu pernah kucederai, dan melata
ke arah rongga pangkal randu alas, dengan ceceran darah di rerumputan.
Aku tak
sengaja melukai ular itu. Cangkul yang kuayunkan untuk membersihkan rerumputan
di bawah pohon randu alas dan meratakan tanah tak kusadari merobek daging
seekor ular. Ular itu melata ke arah rongga pangkal pohon randu alas. Aku
merasa tak bersalah. Kuteruskan mengayunkan cangkul, membersihkan rerumputan
dan meratakan tanah.
Pohon
jambu biji kubiarkan tumbuh di bawah pohon randu alas. Ada pula pohon melati
yang masih kecil, yang tak kucabut. Kubiarkan tumbuh liar. Kuratakan tanah dan
terus kutimbuni agar lebih tinggi. Akan kuundang tukang batu untuk mendirikan
sebuah kios sederhana. Di kios itu aku akan menjual barang-barang kelontong dan
kebutuhan sehari-hari.
Malam
harinya aku bermimpi, nenek bertongkat kepala ular, menatapku dengan murka.
Wajahnya bengis, sepasang matanya mengancam. Ia mengutukku. Ular penunggu pohon
randu itu bakal mematukku pada ulang tahun ke-62. Begitu tegas kutukan nenek
bertongkat kepala ular, seperti hadir dalam kehidupan sehari-hari dan bukan
terjadi dalam mimpi.
Mimpi
burukku tak menghentikan pembuatan kios kelontong. Tiap pagi aku membuka kios,
melayani pembeli, hingga malam larut. Mula-mula jarang orang berbelanja ke
kiosku. Tapi lama-kelamaan, berdatangan pula orang-orang berbelanja.
”Kau
tak takut akan digigit ular penunggu pohon randu?” tanya Lik Man, lelaki
setengah baya, pencari rumput untuk kambing-kambingnya. Ia dulu menjual ladang
jambu miliknya, yang didirikan perumahan, dan memilih pindah ke daerah
perkampungan, dengan tanah yang luas. Di rumah baru, ia masih bisa bercocok
tanam dan memelihara kambing. Ia paling sering mencari rumput di bawah pohon
randu alas. Di sini rerumputan tumbuh subur, dan dalam waktu sebentar, ia sudah
memanggul segulung rumput, yang diikat erat, diletakkan di bawah pohon jambu.
Ia meneguk kopi di warung Yu Warso dan membeli rokok di kiosku. Di warung Yu
Warso itu ia biasa ngobrol
dan baru pulang menjelang siang.
”Kau
selalu merumput di bawah pohon randu. Tak takut digigit ular?”
”Sejak
muda dulu aku selalu mencari rumput di sini. Tak pernah kulihat ular itu. Yang
selalu kutemukan cuma kulit ular, menjalar di rerumputan. Kau pernah melihat
ular itu?”
”Aku
pernah melukainya dengan cangkulku.”
”Hati-hatilah!”
Lik Man meninggalkanku.
***
Tak
seorang pun melihat Lik Man. Menjelang siang ia membawa sabit ke bawah pohon
randu dengan rokok mengepul di bibirnya. Matahari sudah bergeser dari puncak
pohon randu alas. Biasanya Lik Man meninggalkan bawah pohon randu alas,
memanggul gulungan rumputnya pulang, setelah minum kopi dan makan pisang goreng
di warung Yu Warso. Anak lelaki Lik Man mulai mencari ayahnya. Ia sempat
menyapaku, sebelum menyusup ke dalam semak-semak.
Dari
bawah pohon randu alas, kudengar ia memekik, ”Ayah meninggal!”
Kudapati
Lik Man terbujur kaku, masih menggenggam sabit. Mulutnya berbusa. Kaki kirinya
melepuh biru kehitaman darah beku. Terlihat dua titik bekas patukan ular. Darah
ular berceceran di rerumputan, lenyap di rongga keropos pangkal pohon randu
alas. Sabit Lik Man, secara tak sengaja, mungkin telah melukai ular penunggu
pohon randu alas dan ular itu menggigitnya.
***
Melintasi
pertokoan senja hari, di trotoar, sepulang dari belanja untuk keperluan kios
kelontong, kulewati seorang penjual obat oles yang menggelar tikar, dengan ular
dalam kotak kayu. Sama sekali orang lalu lalang tak menghiraukannya. Ia
menawarkan obat oles untuk menyembuhkan penyakit kulit. Tak seorang pun datang
mendekat. Lelaki setengah baya bersorban putih, berjenggot, masih duduk dengan
tenang. Aku sempat memandanginya, sambil menanti bus kota di halte.
Lelaki
setengah baya bersorban itu melambai ke arahku.
”Kemarilah!”
panggilnya.
Aku
bimbang untuk mendekat. Sepasang matanya seperti menuntunku untuk menghampiri
dan berjongkok di depannya. Dia memintaku untuk menjulurkan tangan kiri dan membuka
telapak tangan. Ia baca garis telapak tangan itu.
”Kau
perlu kekebalan,” kata lelaki penjual obat bersorban, sambil mengelus
jenggotnya. ”Suatu hari kelak kau akan dipatuk ular.”
Teringat
ular penunggu randu alas yang pernah kulukai, kutukan perempuan tua bertongkat
ular dalam mimpi, dan kematian Lik Man yang dipatuk ular, aku merasakan degup
dada yang mengencang.
”Kau
dapat memberiku kekebalan?”
”Kalau
kau yakin, insya Allah, tubuhmu akan kebal dipatuk ular,” lelaki setengah baya
berjenggot itu meyakinkan. Aku mengangguk. Meminum segelas air putih darinya.
Pergelangan kaki kananku diolesi minyak dan seekor ular dari dalam kotak kayu
dikeluarkannya. Aku memejamkan mata. Begitu cepat terasa patukan dua gigi
ular pada pergelangan kaki.
”Kau
akan berkunang-kunang sebentar. Kaki kananmu mengejang, sulit digerakkan. Tak lama. Kau
akan segera pulih seperti sediakala.”
***
Berjingkat-jingkat
aku meraih buah-buah jambu. Masih kuingat kutukan perempuan tua bertongkat
kepala ular. Pada hari kelahiranku yang ke-62, seekor ular akan mematukku. Aku
sama sekali tak takut dengan patukan ular itu. Mungkin aku akan benar-benar
dipatuk ular, sebagaimana enam tahun silam perempuan tua berambut memutih
dengan mata murka itu mengutukiku dalam mimpi. Aku tak perlu ragu memetiki buah
jambu yang ranum. Juga nanti akan kupetiki kembang-kembang melati untuk Aini.
Kalaupun
seekor ular mematukku, tukang obat di trotoar pertokoan itu telah memberiku
kekebalan. Gigitan ular tukang obat yang tak kukenal itu memang menyebabkan
pandanganku berkunang-kunang, kaki kanan mengejang kaku. Darah seperti membeku.
Tapi tak lama. Pandanganku kembali terang dan kaki kananku segera dapat
kugerakkan. Kuberikan selembar uang dari dompetku, yang diterimanya dengan
ucapan terima kasih berkali-kali. Tiap kali aku berbelanja untuk keperluan kios
kelontongku, selalu kucari dia. Tapi tempat ia menggelar tikar, obat-obat oles,
dan kotak ular selalu kosong.
Harus
kusambut hari ini, pagi ke-62 umurku, saat kutukan perempuan tua dalam mimpi
itu akan terjadi. Kalau benar seekor ular itu mematukku pagi ini, mungkin
seperti kata lelaki setengah baya bersorban penjual obat, aku akan kebal.
Tubuhku hanya merasakan sengatan patukan ular itu, mata berkunang-kunang,
bagian yang dipatuk akan terasa mengejang. Tak lama. Setelah itu aku akan
leluasa bergerak seperti sediakala. Tapi kalau penjual obat itu berdusta,
ketika ular penunggu pohon randu alas mematukku, tubuhku akan segera kaku
seperti Lik Man.
Buah-buah
jambu yang ranum terus kupetiki. Teringat aku pada cucuku, Aini, yang tinggal
serumah denganku, akan pulang sekolah, aku bergairah memetiki buah-buah jambu.
Ia suka membagi-bagikan buah jambu pada teman-temannya dan bahagia dipuji
sebagai putri yang baik hati.
Aku
meraih ujung ranting pohon jambu, meloncat, agar dapat menarik ranting itu dan
memetik beberapa buah jambu ranum. Kakiku menginjak seekor ular. Ular itu
menggeliat, mematuk kaki kananku. Aku tak sempat memekik. Terjatuh. Merasakan
patukan ular yang menyengat. Mataku berkunang-kunang. Kaki kananku mengejang.
Mungkin
aku akan segera bangkit dengan tubuh segar bugar seperti sediakala, tanpa luka
dan rasa sakit. Mungkin tubuhku akan segera terbujur kaku, tergeletak di
rerumputan, di bawah pohon randu alas, pohon jambu, dan bunga melati. Tapi,
aneh, dalam pandanganku yang berkunang-kunang, kulihat Lik Man sedang merumput.
Wajahnya bahagia sekali. Di seberangnya kulihat lelaki setengah baya bersorban
penjual obat. Wajahnya tenang, penuh keyakinan, dan sepasang matanya teduh.
Dari
jauh, samar-samar kudengar suara Aini memanggil-manggilku dengan suara yang
riang, penuh harapan, ”Kakek, mana buah-buah jambuku? Petikkan juga bunga-bunga
melati untukku!”
Pandana
Merdeka, April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar