Pring Re-ke-teg Gunung Gamping Ambrol
Ribuan orang baik-baik
telah berkumpul di atas bukit, siap menyerbu perkampungan para pencuri,
perampok, pembunuh, dan pelacur, yang terletak di tepi sebuah sungai yang
mengalir dan berkelok dengan tenang, begitu tenang, bagaikan tiada lagi yang
bisa lebih tenang, yang memantulkan cahaya kemerah-merahan membara di langit
meskipun matahari sudah terbenam.
Ribuan, barangkali lebih
dari sepuluh ribu, sebut saja beribu-ribu orang baik-baik telah siap dengan
segenap senjata tajam, parang-golok-kelewang, tombak, linggis, pentungan besi,
rantai, alu, kayu, maupun badik yang lekuk liku dan geriginya jelas dibuat agar
ketika ditusukkan mampu menembus perut dengan mulus, dan ketika ditarik keluar
membawa serta seluruh isi perut itu tanpa dapat dibatalkan.
Beribu-ribu orang
baik-baik, tiada satu pun tiada membawa senjata, tampak sangat amat siap
menggebuk dan menyabet, mencincang dan membantai, memenggal dan menyembelih,
bagai tiada tujuan lain dalam hidup ini selain melakukan pembunuhan dan tiada
lain selain pembunuhan. Orang baik-baik yang sebelumnya tampak sebagai
orang-orang yang selalu ketakutan, karena memang penakut dan pengecut jika
sendirian, mendadak bagai kerasukan setan ketika melebur dalam jumlah ribuan.
Terdengar dentang parang
saling diadukan seperti tiada sabar lagi untuk ditetakkan, suara kelewang
diasah pada batu basah demi jaminan betapa darah pasti akan tersemburkan, semua
orang sibuk dengan alat-alat pembunuhan, senjata tajam maupun senjata tumpul,
yang telah disahihkan untuk memberlangsungkan pembinasaan.
Sebentar
lagi, tepat pada saat hari menjadi gelap, telah disepakati menjadi waktu
penyerbuan.
”Jika
mereka masih tidak mau menyerahkan pemerkosa itu,” kata seseorang sambil mengacungkan
pentungan, “perkampungan itu harus dibakar.”
Disebutkan
betapa anak perempuan Pak Carik telah diperkosa. Ia ditemukan
terkapar di jalan keluar desa setelah hilang semalaman. Para penggali kapur
yang berangkat pada pagi hari berembun segera membawanya kembali ke desa, yang
segera saja menjadi gempar. Mirah, kembang desa sederhana, tetapi yang justru
karena itu layak dipuja, telah dihinakan begitu rupa sehingga nyaris tak bisa
menangis dan tak bisa berbicara.
“Siapa
mereka, Mirah? Siapa?”
Pak
Lurah yang berkumis melintang tampak begitu berang, bertanya terus sambil
memaksa, karena baginya penghinaan ini bukanlah hanya penistaan kepada seorang
perawan umur 16 tahun yang diperkosa, melainkan juga penghinaan kepada desa.
Pak Carik sendiri, ayah dari korban yang tak bisa bersuara, kaku beku membisu
seribu bahasa.
“Katakan
Mirah, katakan! Supaya aku tidak membunuh sembarang manusia!”
Wajah
Mirah sulit diceritakan, karena perasaan yang terbayang di wajahnya pun
mustahil diterjemahkan. Namun cerita para penggali kapur tentang kain dan
kebayanya yang koyak moyak dan centang perenang, tanpa harus bernoda darah
segala, bagi orang-orang desa itu sudah lebih dari segala pengungkapan.
Sebetulnya
belum jelas bagaimana Mirah bisa ditemukan terkapar pada pagi hari di tempat
itu. Di desa terpencil seperti itu, anak gadis seperti Mirah pasti sudah berada
di dalam rumah pada pukul enam sore. Untuk berada di sana, seseorang atau
beberapa orang, harus menculiknya—dan pikiran semua orang memang Mirah itu
pasti diculik, diperkosa di tengah jalan itu, lantas dibuang…
Tepatnya
lebih baik begitu, supaya terdapat pihak yang bisa diganyang.
Tidak
jelas juga mengapa kecurigaan dan kesalahan harus dialamatkan kepada
perkampungan para pencuri. Namun beberapa saat lagi, ribuan orang yang
merupakan gabungan duapuluh desa di sekitar pegunungan kapur itu sudah akan
menyerbu perkampungan.
***
“Seandainya
pun tidak ada peristiwa pemerkosaan ini, perkampungan candala itu memang sudah
lama harus dibakar,” kata Pak Lurah kepada Jagabaya yang hanya bisa
mengangguk-angguk tanpa kata. Sebagai penjaga keamanan ia tahu diri betapa
selama ini hanya menjadi tertawaan para pencuri, perampok, pembunuh, dan
pelacur yang menghuni perkampungan itu.
Jalan
keluar itu memang terarah menuju perkampungan di bawah sebuah bukit kapur,
tetapi penduduk desa tidak pernah menapakinya turun ke sana, melainkan
percabangannya yang menuju ke atas, tempat mereka melinggis dinding-dinding di
bukit kapur, dan mengumpulkan bongkahannya yang menggelinding. Batu-batu kapur
yang putih kekuning-kuningan telah lama menjadi sumber kehidupan mereka, sampai
mereka lupa sebelumnya orangtua mereka mendapatkan penghasilan darimana.
Di
pegunungan kapur tidak ada sawah, jadi nenek moyang mereka, bahkan sampai
kepada orangtua mereka yang beberapa di antaranya masih hidup, tentu
mempertahankan kehidupan dengan segala cara. Mulai dari berburu dan menjerat
binatang, mencari ikan di sungai, dan sekadar berkebun di tengah hutan supaya
ada yang bisa dimakan. Bagi mereka yang belum pernah melakukan perjalanan
keluar desa, dijamin tidak pernah mengunyah nasi dan sudah cukup bahagia dengan
ubi.
Ketika
jalan aspal dibuat nun di balik pegunungan kapur, dan dari jalan aspal itu
muncul sejumlah truk yang bersedia membeli dan mengangkut bongkahan batu-batu
kapur, tidak kurang dari duapuluh desa sampai hari ini hidup dari penggalian
kapur. Dalam waktu empatpuluh tahun wajah pegunungan itu sudah berubah. Apa
yang semula tampak sebagai pegunungan dengan punggung bukit memanjang,
separuhnya kini lebih terlihat sebagai dinding-dinding tegak lurus dan
jurang-jurang baru yang terbentuk karena penggalian. Maka jalan setapak bisa
juga berarti jalan setapak dengan jurang dalam di sisi kiri dan kanan …
Pada
jalan setapak seperti itulah Mirah ditemukan.
“Ini
saat yang tepat untuk membasmi mereka,” ujar Pak Lurah berulang-ulang.
Dengan
datangnya truk-truk pengangkut bongkahan batu kapur, sedikit demi sedikit
datang pula orang-orang dari luar desa, yang jika tidak ikut menggali atau
membuka warung makan bagi para pekerja, di antaranya ada pula yang menjadi
perantara pembelian bongkahan batu-batu, membuka kios rokok dan sampo untuk
membersihkan rambut dari serbuk-serbuk kapur, dan sejumlah pekerjaan yang tidak
begitu dipahami penduduk desa. Di antara pekerjaan itu antara lain menyewakan
pengeras suara dan televisi untuk menyanyi-nyanyi. Adapun mereka yang menyewa
pengeras suara dan televisi itu dilayani perempuan pekerja yang menyediakan
minuman, ikut menyanyi, dan hampir selalu tersenyum dengan amat sangat manis
sekali.
Senyuman
itu juga dipermasalahkan penduduk desa, karena tidak dianggap sebagai senyum
keramahan melainkan senyum rayuan.
“Senyum
rayuan beracun!”
Kata orang-orang
yang merasa wajib menjaga kesucian di setiap desa orang baik-baik.
Sebetulnya
hanya para penggali kapur dari luar desa sajalah yang dalam kesepian dan
keterasingan alam pegunungan kapur datang ke sana untuk melewatkan waktu. Namun
pemandangan orang menyanyi dan tertawa-tawa rupanya memberikan perasaan tidak
menyenangkan bagi orang-orang yang merasa dirinya suci.
“Lagipula,
siapa bilang penduduk desa suatu hari tidak akan pernah tergoda?”
Tentu
saja senyum yang manis adalah senyum yang manis. Apalagi jika itu senyuman yang
manis sekali. Manusia yang bermata dan berhati tidak akan terlalu keberatan,
jika suatu ketika secara suka rela merasa lebih baik tergoda sahaja.
Mirah
masih terpaku beku tanpa suara. Pandangan matanya sungguh tanpa makna, bagaikan
mata itu terbuat dari kelereng layaknya. Sebetulnya tidak ada kesimpulan yang
bisa diambil dari pandangan mata seperti itu. Namun tergeletaknya anak Pak
Carik di jalan keluar desa yang mengarah ke perkampungan itu bagai telah
menyimpulkan sesuatu.
Memang
benar, apabila ada pencurian, perampokan, bahkan pembunuhan, selalu saja
kecurigaan terarah ke perkampungan itu. Memang benar pula betapa tiada pernah
ada bukti, karena kambing yang lenyap dari kandang tak meninggalkan jejak,
begal menyambar dan menghilang pada remang senja bagaikan bayangan, dan mayat
korban selalu merupakan buangan dari desa takdikenal yang tidak pernah menunjuk
langsung siapa pembunuhnya. Betapapun kali ini seperti terdapat kesepakatan
tanpa perlu peresmian, bahwa perkampungan itu sudah waktunya dimusnahkan, jika
perlu bahkan tanpa alasan!
Kebencian,
ya kebencian yang tidak mungkin dicari alasannya, adalah satu-satunya alasan
itu sendiri…
Orang-orang
luar, orang-orang yang berbeda, orang-orang yang tidak mungkin sepenuhnya
dimengerti, menimbulkan kebencian karena selalu tampak menyanyi dan
tertawa-tawa.
Telah
dikirimkan Jagabaya yang selalu gagal menjaga datangnya bahaya itu ke sana,
dengan tugas meminta penyerahan sang pemerkosa.
Jagabaya
itu, yang sejak awal sudah selalu ragu, pulang dengan tangan hampa.
“Apa
kata mereka?”
Jagabaya
pun menirukan jawaban kepala perkampungan di bawah sana.
“Pemerkosa?
Tidak ada pemerkosa di kampung ini! Mungkin kami memang sebangsa candala,
tetapi kami sama sekali tidak perlu memperkosa siapapun di luar kampung ini
untuk mendapatkan cinta, karena di kampung ini cinta macam apapun setelah
dibagi rata masih selalu bersisa. Tidakkah kalian sadari betapa semua perempuan memang
pelacur di kampung ini? Dan perempuan kampung ini sudah jelas senyumannya manis
sekali, baik kepada orang luar, apalagi kepada saudara candalanya sendiri!
Tuduhan apalagi yang ingin ditimpakan kepada kami? Kami telah membuka warung
makan dan kami telah membuka kios rokok maupun sampo maupun sabun untuk
membasuh debu-debu kapur, tetapi kalian rupanya lebih suka menganggap kami
sebagai candala! Katakan kepada bangsamu, bangsa orang-orang yang menamakan
dirinya orang baik-baik itu, kami tidak takut mati, karena apapun yang kami
lakukan selalu kami pertanggungjawabkan dengan seluruh hidup kami!”
Dalam
keremangan, tetap saja terasa betapa wajah Pak Lurah merah dan padam.
“Dasar
bejad!”
Ia
mengangkat pedangnya bagaikan Drestajumena bersiap memimpin balatentara Pandawa
dalam Perang Bharatayudha. Langit yang tadi kemerah-merahan dan membara
sekarang memang sudah gelap. Perlu waktu sehari penuh untuk berkeliling dari
desa ke desa, meyakinkan setiap lurahnya untuk ikut membasmi kampung candala.
“Serbu!”
Maka
ribuan orang baik-baik dari duapuluh desa yang mengelilingi bukit bersama
lurahnya masing-masing segera menyerbu ke bawah dengan senjata di tangan.
Mereka berlari dalam gelap sambil berteriak-teriak, sebagian besar untuk
menutupi ketakutannya sendiri. Ada yang tersandung batu dan jatuh tertelungkup
lantas mati terinjak ribuan penyerbu di belakangnya. Ada yang menahan lari
karena takut mati tetapi terseret dan terpaksa melaju ke depan jua. Ada pula
yang menyerbu dengan semangat tekad bulat seolah-olah memang membela keadilan
dan kebenaran, meski jika diamati jelas tidak menguasai cara bertempur sama sekali.
Namun dalam kegelapan segala perbedaan hanya melebur dalam gelombang serbuan
penuh amarah, karena berita yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa Mirah putri
Pak Carik telah diperkosa. Siapa lagi pelakunya jika bukan begundal dari
kampung candala?
***
Syahdan,
di perkampungan takbernama di tepi sungai yang mengalir dengan tenang dan
berkelok yang selama ini dikenal sebagai kampung tempat bermukimnya para
pencuri, perampok, pembunuh, dan pelacur, tampak semua orang dengan wajah
sungguh-sungguh telah bersiap menyambut penyerbunya. Mereka tidak perlu
berteriak-teriak dan hanya dengan saling memandang telah sangat siaga. Jumlah
mereka tidak sampai seratus orang, tetapi wajah mereka tidak menunjukkan
ketakutan sama sekali.
Nyaris
tidak ada seorangpun yang memegang senjata karena apapun yang dipegangnya bisa
menjadi senjata yang sangat berguna. Ada yang memegang batang kayu, ada yang
memegang gagang sapu, dan ada pula yang cukup memegang sebatang lidi. Para
pelacur yang senyumnya manis, begitu manis, bagaikan tiada lagi yang lebih
manis, ada yang tampak mengebutkan selendang dan ada pula yang menggenggam
ratusan jarum.
Tidakkah
segenap orang baik-baik itu menyadari, betapa tindakan mereka itu seperti bunuh
diri sahaja? Tidakkah mereka sadari, betapa para candala, jika memang candala,
dan tiada lain selain candala, yang selalu terpinggirkan dari zaman ke zaman,
tentulah jauh lebih siap menghadapi pertempuran terbuka daripada mereka,
meskipun dikeroyok orang baik-baik begitu banyaknya? Tidakkah telah sering mereka
bicarakan juga, meskipun tak pernah dan tiada akan pernah dengan bukti nyata,
betapa para candala sebagai manusia memang digjaya dengan segala mantra sirep,
tenung, teluh, kebal tubuh, dan setelah merapal ilmu halimunan bila perlu dapat
menghilang bersama senja?
Tidakkah
ribuan orang baik-baik yang menyerbu bagaikan air bah ke bawah menuju
perkampungan candela di pegunungan kapur itu taksadar, setaksadartaksadarnya,
betapa batang kayu, gagang sapu, dan sebatang lidi itu sekali digerakkan, sembari
melenting-lenting di atas kepala, akan memakan korban jiwa, setidaknya ratusan
dari mereka dalam seketika? Begitulah, ribuan orang baik-baik yang sedang
berteriak-teriak sambil berlari-lari itu, betapapun tidaklah pernah
membayangkan, bagaimana selendang yang halus dan wangi itu akan dapat
memecahkan kepala, dan betapa ratusan jarum dalam genggaman akan melesat
seketika bagaikan bermata untuk mencabut ratusan nyawa.
Banjir
darah akan membuat bukit kapur itu menjadi merah.
“Serbuuuuuuuuu!”
Teriakan
membahana yang terdengar dari jauh itulah yang telah menggugah kembali
kesadaran Mirah, sehingga matanya yang semula bagaikan kelereng itu kini tampak
bersukma dan bibirnya bergetar seperti mau berbicara.
Namun,
betapapun, segalanya sudah terlambat.
Sudah terlambat
bagi Mirah untuk menyampaikan, bahwa yang telah menyambarnya ketika ia kembali
dari sumur pada pagi buta, melarikannya ke jalan itu dan berusaha—ya, masih
berusaha—memaksakan suatu kehendak yang tidak dipahaminya, tiada lain dan tiada
bukan adalah anak Pak Lurah adanya…
Kampung
Utan,
Sabtu 1 Januari 2011. 23:23.
Sabtu 1 Januari 2011. 23:23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar