Solilokui Bunga Kamboja
Diriku sekuntum bunga Kemboja. Kelopak-kelopakku merah kesumba sewarna
gincu wanita yang kerap memandikanku sekali seminggu.
Wujud rupaku menyerupai genta. Walaupun kami lebih identik sebagai bunga
kuburan, tetapi oleh wanita yang memeliharaku, aku tumbuh di dalam sebuah pot
cantik di teras depan rumahnya. Dari tempatku berada, aku biasa menatap
bentangan langit malam yang berhamburan bebintangan.
Benda-benda angkasa yang terang benderang itu selalu mengingatkanku pada
seseorang. Seseorang yang benarlah nyata, tetapi lebih tampak seperti
fatamorgana. Aku selalu memandanginya tatkala ia sedang memandikan mobil
kesayangannya dari dalam garasi.
Lelaki itu adalah anak sulung wanita yang warna gincunya sewarna diriku.
Sempat kedengkian menghinggapiku melihat betapa kedekatan kedua manusia berbeda
kodrat itu, sampai kudengar si lelaki menyapa wanita bergincu kesumba itu
dengan panggilan ibu.
Dari wajah dan rekah senyumnya tahulah aku betapa kebaikan hatinya seperti
kebanyakan manusia penghuni rumah ini. Dari caranya memperlakukan mobil
kesayangannya, tahulah aku betapa ia tak pernah pilih kasih terhadap benda mati
ataupun benda hidup.
Sampai detik ini aku masih memendam rasa cemburu terhadap benda mati
bernama mobil itu. Setiap hari kulihat lelaki itu menumpanginya manakala hendak
menuju suatu tempat yang tak pernah kuketahui juntrungannya.
Tiap kali ia kembali hari telah merangkak malam. Raut wajah dan bahasa
tubuhnya memberitahuku bahwa ia kelelahan. Tetapi keesokan pagi ia akan
mengulangi kebiasaan yang sama, sampai lantas kuhafal luar kepala pola
kegiatannya meskipun sebatas teras dan garasi itu saja.
Sesekali kulihat ia pulang dengan mengajak beberapa orang lelaki seusia
dirinya. Tak jarang terdapat satu atau dua orang perempuan di antara mereka.
Percakapan yang diiringi tawa berlangsung tatkala mereka melintasi teras depan
sebelum mencapai ruang tamu.
Betapa beruntung menjadi manusia lelaki dan perempuan yang dekat dengan
lelaki itu, walaupun bagiku tetap tiada yang lebih beruntung daripada mobil
yang selalu ia tumpangi. Tak jarang mereka berkumpul di kursi teras sembari
bercakap ditemani penganan dan secangkir teh.
”Coba lihat. Kembang Kemboja itu seperti sedang menatap kita.” kata
perempuan yang telunjuknya menunding ke arahku. Lantas seorang lelaki bertubuh
ceking berjalan melintasi teras sambil menggenggam spidol di satu tangannya.
”Kamu mau apa?” tanya si lelaki, menyela langkah temannya.
”Aku mau bikin mata pada kedua kelopak Kemboja itu supaya kelihatan kalau
dia benar-benar menatap kita.”
“Hey, itu Kemboja kesayangan Ibuku.”
Itulah hari pertama ia membelaku di depan teman-temannya. Kelopak-kelopakku
mekar dan warnaku kian merona. Tetapi selain hari itu, lelaki itu tak pernah
memperhatikan diriku secara khusus. Keindahanku hanya berlaku di depan mata
para wanita sebab mereka lebih dapat menghargai keindahan. Bagi lelaki itu dan
teman-temannya, aku tiada berbeda dari pot tempat tubuhku bertumbuh. Rasa
kecewa yang hinggap dalam diriku semakin besar tiap kali lelaki itu lewat tanpa
pernah sempatkan melirikku barang sekejap.
Betapa keindahan ini seperti tak berarti tanpa dihargai oleh lelaki yang
kucintai. Atas kesadaran itu, suatu hari aku berhenti membuat diriku mekar, tak
peduli berapa kali dalam seminggu wanita bergincu itu memandikanku dan
memberiku pupuk untuk meningkatkan kualitas tanah di dalam potku, usahanya
tetap tak bisa membantu. Aku telah kehilangan minat terhadap kehidupan.
Masa itu berlangsung berminggu-minggu lamanya. Rona pada kelopak-kelopak
bungaku pudar. Wanita itu kini tak bergincu lagi. Wajahnya tampak selisut
diriku yang tak mau mekar barang serecup saja. Seluruh bunga Kemboja di teras
rumahnya turut merasakan dukaku. Mereka lantas putuskan tak mau mekar selama
dukaku belum teratasi. Raut wajah sebam dan sepasang mata tanpa binar cahaya
menatap iba kepada kami.
Belakangan lelaki itu pun tampak bermuram durja. Tiap kali melintasi teras
menuju garasi ia tak lagi memutar-mutar seronce anak kunci di ujung telunjuknya
sambil bersiulan. Jangan-jangan sesuatu terjadi pada mobil kesayangannya.
Tetapi kepada seorang teman kudengar ia memberi tahu bahwa kesedihannya
disebabkan oleh sikap murung ibunya.
Wanita yang telah malang melintang di dunia botani itu mendandak merasa
dirinya tak becus mengurusi tetumbuhan di teras depan rumahnya sehingga nyaris
seluruh Kemboja kesayangannya mati. Daun-daun meluruh nyaris tanpa bersisa,
kelopak-kelopak bunga mengatup seperti gadis-gadis remaja yang merajuk.
Sumber terdalam kesedihan lelaki itu adalah keputusan sang ibu untuk
menyerah dari hobinya bercocok tanam, hal mana yang menjadi satu-satunya
hiburan di masa menjelang pensiun. Melihat kenyataan itu, yakinlah aku bahwa si
lelaki lebih menyayangi sang ibu daripada benda mati yang ia mandikan setiap
pagi, walaupun tampak ia lebih besar menaruh perhatian padanya. Tetapi ia
tetaplah lebih mencintai perempuan yang mencintai diriku dan bunga-bunga
Kemboja yang lain, bagaikan kami ini anak-anaknya sendiri.
Pagi hari adalah waktu terbaik bagi setiap bunga. Titik-titik embun
menyaput sekujur kelopak yang baru separuh merecup. Kami lebur bersama gigil
pagi. Tetapi pagi itu aku merekah mendahului yang lainnya. Kelopak-kelopakku
bahkan mekar lebih lebar daripada biasanya. Dengan tak sabaran aku menantikan
pintu depan di ujung teras itu dibuka untuk pertama kali.
Pada setiap pagi yang telah kulalui di teras rumah ini, wanita berginculah
yang selalu membuka pintu depan untuk pertama kali bersama alat penyiram
tanaman di tangannya, dengan bekal semangat berniat memberi kami makan.
Minggu-minggu terakhir betapa pemandangan itu tak pernah tampak lagi, tetapi
kujamin pagi ini keputusanku menjadi mekar kembali dapat mengembalikan semangat
yang sempat redup wanita bergincu itu.
Matahari sudah setengah perjalanan melakukan patrol. Sinarnya menyapuh tiap
lembar daun dan kelopak bunga kami. Siang hari menjelang. Aku gelisah menunggu
pintu itu dibuka oleh si wanita bergincu. Akhirnya daun pintu terbuka, tetapi
yang tampak olehku pertama kali adalah dia, lelaki itu! Kaus oblong yang
membalut tubuhnya nyaris sewarna kelopak-kelopak bungaku. Ia berjalan gontai.
Aku terus mengawasi wajah tampan lelaki itu. Sesuatu dalam diriku berdebar
keras, sehingga menyebabkan kelopak-kelopakku bergoyang.
Tak kuduga gerakanku memancing lelaki itu menoleh. Matanya melebar pada detik pertama ia menatapku. Kutunggu lelaki itu
menghampiriku, tetapi tubuh itu berbalik menuju pintu, berlari sepanjang
ruangan. Kurang dari satu menit kemudian, lelaki itu muncul lagi
bersama wanita bergincu yang masih belum lagi bergincu. Mata wanita itu melebar
sambil mulutnya menganga. Perlahan ia melangkah menghampiri pot-pot berisi
Kemboja sepanjang tepian teras, menyapuhkan tangannya di atas kelopak-kelopak
kami secara bergantian.
”Bunga-bunga itu tak ingin berlama-lama melihat kesedihan ibu.” Lelaki itu
berkata. Sebutir air susul menetes jatuh dari sudut mata wanita itu.
Keterkejutan di wajahnya berubah haru atau apa pun itu yang sukar kujelaskan.
Pelan bahunya lantas bergetar sebelum isak tangis menguasainya. Lelaki itu
mendekap tubuh ibunya, merapatkan kepala pada bidang dadanya.
”Mungkin ini karena pupuk yang ibu beri waktu itu.” kata wanita itu.
”Mungkin karena ibu tak pernah berhenti mencintai mereka,” lelaki itu lebih
yakin dengan pendapatnya. Mungkin baginya, kebahagiaan sang ibu membawa dua
kali lipat kebahagiaan bagi dirinya, tetapi bagiku, betapa kebahagiaannya
membawa berlipat-lipat kebahagiaan bagi diriku.
Aku mulai dapat memaknai diriku lebih dari sewujud bentuk yang menyerupai
genta dan merah kesumba kelopak-kelopakku. Keindahan barulah bermakna ketika ia
dapat bermanfaat bagi makhluk lain tak terkecuali manusia, terutama bagi wanita
bergincu yang betapa kesedihannya adalah beban bagi anak laki-laki sulungnya.
Wanita bergincu itu kembali memoles bibirnya dengan gincu merah kesumba
sewarna kelopak-kelopakku. Duka si lelaki kini lesap bersama duka sang ibu.
Mulailah pola kegiatannya berjalan seperti biasa dengan semangat yang tak
biasa.
Malam hari mobil kesayangannya memasuki garasi. Sesuatu dalam diriku
berdebar keras menunggu sosok lelaki itu terlihat. Pintu kemudi terbuka,
menyusul dirinya berjalan keluar mengitar mobil. Di luar kebiasaan ia membuka
pintu di samping jok penumpang. Tampaklah seorang wanita berambut panjang ikal
mayang, berdiri di sampingnya.
Kulihat wajah si lelaki sumringah tatkala menuntun perempuan itu berjalan
melintasi teras. Tangan keduanya saling menggenggam. Di tengah teras mereka
berhenti. Perempuan itu menunduk sambil menggigit bibir. Tangannya meremas
tangan lelaki yang menggenggamnya. Kudengar ia mengeluh cemas.
”Tidak apa-apa, tidak apa-apa,” Lelaki itu berusaha menenangkan. Sehembus
angin menyebabkan desir dedaunan yang saling menggesek. Dua helai daunku
melayang jatuh, disambut lembab tanah. Tetes-tetes getah berjatuhan dari ujung
lengan tempat pangkal daunku barusan jatuh. Sebelum malam ini angin sekencang
apa pun tak dapat menyebabkan daun-daunku luruh. Melihat keadaannya sekarang,
aku ragu bahwa anginlah benar penyebabnya. Siapakah yang patut kusalahkan di
antara si lelaki dan perempuan berambut panjang ikal mayang? Barangkali
takdirku sendiri karena tercipta hanya sebagai sekuntum bunga Kemboja.
Lelaki itu berjalan menujuku. Perempuan berambut panjang ikal mayang itu
tetap terpaku di tengah teras, memperhatikan gelagat si lelaki. Tangan lelaki
itu terangkat menuju sepal tempat melekatnya kelopak-kelopakku. Detik pertama
ia menyentuhku, ia membawa serta seluruh kesadaranku dari lengan cabang tempat
aku tertancap seorang diri. Betapapun, aku hanyalah sekuntum bunga Kemboja.
Hidupku berakhir di ujung jemari lelaki yang kuncintai, yang dengan wajah
direkah senyuman membawaku kepada perempuan berambut panjang ikal mayang yang
tengah cemas menantinya di tengah teras.
Diselipkannya diriku di ujung pangkal telinga sang kekasih. Dari sana aku
dapat menatap wajahnya lebih jelas dari yang sudah-sudah. Ia tersenyum menatap
diriku di ujung pangkal telinga kekasihnya, bening matanya memantulkan seraut
wajah perempuan yang balas tersenyum.
Aku sekarat. Perempuan itu luput merasakan getahku yang bertetesan di
antara helai-helai rambutnya.
”Kamu tidak apa-apa sekarang?” lelaki itu bertanya.
Perempuan itu mengangguk pelan. Mereka lantas berjalan menuju pintu masih
dengan kedua tangan saling menggenggam. Di ambang pintu lelaki itu memindahkan
diriku dari celah di antara kuping kekasihnya ke dalam kantong depan kemejanya.
Dari sana, aku dapat mendengar detak jantungnya yang bagaikan menghitung
detik-detik kematianku.
”Jangan sampai dilihat ibu bunga Kembojanya dipetik,” samar-samar suaranya
terdengar. Getahku berhenti menetes. Walaupun aku masih memendam perasaanku
terhadap dirinya, kini yang terpenting adalah memberikan kepada orang yang
kucintai sesuatu hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya.
Seandainya aku tercipta sebagai seorang manusia tentulah aku dapat belajar
lebih banyak tentang cinta daripada yang dapat terpahami oleh sekuntum bunga
Kemboja. Januari, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar