Ketika Pohon Itu Masih Mekar
Perempuan
berkebaya encim berwarna hijau itu menoleh kepadaku dari kursi anyaman
plastiknya yang berkeriut rapuh. Tampak sekali bahwa kedatanganku telah
mengalihkan pandangannya dari pohon cincau tua yang tumbuh di halaman lapang.
Bila
kupikir-pikir, keberadaan pohon itu sendiri adalah sebuah keajaiban; suatu
jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas pepohonan karet yang tertancap
kokoh di tanah pedesaan ini. Sebuah rumah antik berdinding bilik nan apik
dengan sentuhan cat putih berdiri di belakangnya. Kabel-kabel menjuntai yang
merepet di sela-sela atap menjadi ornamen yang cukup kontras.
Aku
memang berharap mendapati dirinya seperti ini. Rupanya, ia telah menempatkan
kursinya dengan hati-hati di depan pohon cincau kesayangannya itu, kemudian
duduk tafakur memandangi daun-daun hijaunya yang melambai lemah diterpa angin
musim panas. Pikirannya tenggelam ke masa-masa silam; masa di mana akar-akar
kuat pohon cincau merambat jauh dalam tanah, hingga menembus lantai tanah ruang
tamu rumah. Aku ingat bahwa akar-akar mengganggu itu telah ditebas dan tanahnya
diuruk rapat dengan semen, saat renovasi rumah lama.
”Eh,
kau sudah datang,” kata perempuan itu sambil bangkit dengan tergopoh-gopoh dan
memegang tanganku.
”Iya,
Ma. Mama sehat kan?”
Badannya
yang bungkuk berusaha ditegakkannya, seakan berusaha untuk tetap terlihat muda
dan penuh perhatian terhadap anak-anaknya. Tatapan matanya yang tajam
menyaratkan penolakan yang gigih terhadap satu fakta: bahwa kini akulah—dan
kedelapan saudaraku yang lain—yang kini ganti wajib merawat dan mengunjunginya.
Pertanyaanku
yang tadi tidak dijawab, dan ia segera membalikkan tubuhnya. Langkahnya
terhenti di depan pohon cincau tua. Ia tertegun.
Baru
kusadari betapa pohon itu terlihat jauh lebih kurus dan gundul daripada
sebelumnya. Apa tahun lalu sudah seperti ini? Dua tahun lalu? Tiga?
Walaupun setiap tahun kemari, kuakui aku tidak pernah memerhatikannya secara
khusus, seperti saat ini.
Tapi
kenapa?
Apa
jangan-jangan Mama telah mencabut terlalu banyak cincau untuk dibuat jeli? Tapi
itu tidak mungkin, sebab tumbuhan itu telah bertahan selama ini. Pucuk-pucuk
itu telah dicabuti dan diremas-remas dan diramu menjadi eliksir kehidupan,
namun selalu saja tumbuh lebih lebat dari sebelumnya. Terkadang bahkan harus
ditebangi supaya tidak melintang pagar ke kebun tetangga. Butuh lebih
dari sekadar penggundulan terencana untuk mematikan tumbuhan ini.
”Ma,
pohonnya makin kurus kok.”
”Iya.
Mungkin karena sering dicabuti orang kampung. Biasa, buat jualan.”
”Lho,
kenapa Mama tak larang mereka? Abang Sardi saja biasa beli dari Mama sekarung
sepuluh ribu.”
”Itu
kan dulu. Sekarang hidup makin susah. Bahan baku jajanan makin mahal, dan
orang-orang makin nekat buat mendapat sesuatu semurah-murahnya. Lagi pula, pohon
cincau kita ini satu-satunya di tanah ini….”
Mama
terbengong sekilas. Mendadak dia berjalan mendekati pohon, berjinjit, dan
menarik sehelai daun dari tangkainya. Ia pandangi daun itu lekat- lekat,
seperti sedang berusaha menemukan suatu cacat pada permukaannya. Kemudian
wajahnya menerawang ke atas, memandangi pohon itu dari pucuk tertinggi hingga
ke akar.
Ia
membuat keputusan. Ia jatuhkan daun itu ke tanah. Dan mendesah.
Sejurus
perasaan takut menghinggapi diriku. Kupegang dahan terbesar pohon itu, bertekad
untuk menemukan ciri apa pun yang tidak dimiliki tanaman yang hendak mati.
Ketika
kutekan dahan itu perlahan, permukaan kulitnya yang kasar menjadi retak.
Kerkahan di antara sulur-sulur yang dulu kuat itu mengeluarkan suara berkeriut
yang mengerikan. Lapis demi lapis sulur pembelit batang ternyata sudah renggang
dan mulai terurai.
Kulepaskan
cengkeramanku cepat- cepat, dan suatu perasaan sayang dan keterikatan kuat yang
belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi benakku. Aku tidak pernah tahu bahwa
ancaman hilangnya suatu hal berharga yang belum pernah kusadari bisa begitu
menyakitkan.
”Kenapa?
Kamu juga rindu sama pohon cincau ini?” tanya Mama dengan tepat, seakan kita
baru saja memikirkan hal yang sama. Ia tidak mengalihkan tatapannya dari pohon.
”Ya, Ma.
Sayang sekali, padahal dulu batang-batang ini… begitu kuat, tidak bakalan putus
sekalipun dinaiki beramai-ramai. Mama ingat tidak? Aku dan si Pin sering memanjat pohon
ini….”
Kuhentikan
ujaranku. Tanpa sadar, aku telah menyebut nama kakak keduaku yang telah kabur
ke negeri seberang, tiga belas tahun yang lalu. Waktu itu, ia hanya
meninggalkan rumah yang hangus dan sebuah mobil sedan yang ringsek. Mama sangat
merindukannya dan memohonnya untuk pulang, namun ia bersumpah tidak akan pernah
kembali ke negeri ini: istrinya telah menjadi mayat legam. Korban kebencian
buta yang sulit padam.
Ujaranku
pasti telah membuka kembali luka lamanya. Herannya, wajah Mama tidak berubah.
Ia bahkan seperti mengabaikan ucapanku barusan.
”Tapi…
syukurlah pohon ini masih ada di sini ya, Ma. Jangan sampai roboh nih,
kenang-kenangan zaman dulu,” kataku mencoba memecah kesunyian.
Lagi-lagi
tanpa terkesan mendengarkan komentarku, Mama berkata, ”Ayo masuk, makan cincau
dulu. Mama sudah bikin buat kamu semua. Kamu suka sekali cincau
kan.”
Ah,
cincau itu lagi. Minuman manis yang menyegarkan, lagi sarat dengan khasiat
ajaib yang sulit dijelaskan. Telah bertahun-tahun makanan hijau itu menyejukkan
kerongkongan kami yang kering, mendinginkan tubuh yang panas dan kelelahan,
memulihkan kerinduan yang tertahan.
Dan
pohon itu adalah sumbernya. Daun-daunnya yang tumbuh pada batang kelabu yang
pernah kokoh itu telah memenuhi kebutuhan kami, anak-anak Mama, selama masa
kecil yang berlalu dengan cepat. Mamalah yang dulu seminggu sekali menggerakkan
jari-jarinya di sela rimbunnya daun cincau, memilih daun yang terbaik untuk
konsumsi anak-anaknya, untuk kemudian dilumatkan dan diperas sarinya. Dengan
sentuhan tangannya yang terampil, cincau alami pun tersajilah; tidak, bukan
cincau modern ala kota yang mulus lembut nan kenyal—yang kabarnya telah
dicampur sejenis bedak. Cincau Mama adalah struktur kasar yang renyah dengan
carikan kecil daun-daun hijau terlebur menjadi satu. Tanda perjuangan dan
ketetapan hati yang luar biasa. Buah tangan yang merengkuh asa.
Bagiku,
sajian itu telah melebar makna, menyatu dengan pribadi Mama. Makanan bagi tubuh
dan bagi jiwa.
”Ma,
Ateng sudah datang belum?” kataku merujuk pada adik lelakiku yang biasanya
datang sehari sebelum hari raya.
Sejurus,
Mama tidak menjawab. Tangannya masih sibuk menuangkan potongan-potongan cincau
ke dalam mangkuk. Kini ia menuang gula cair hasil masak sendiri. Sempurna. Ia
letakkan mangkuk itu di meja makan lebar yang kini kosong.
”Belum,”
jawabnya, ”Mungkin dia tidak datang tahun ini. Tahu sendiri, dia lagi terbelit
masalah sama pengadilan. Urusan begitu, memang pasti berabe…. Dia sudah telepon
Mama tadi pagi, kasih ucapan tahun baru.”
Jadi
begitu. Tahun ini berkurang satu kunjungan lagi.
Aku
mulai menyeruput cincau segar itu dengan bernafsu. Luar biasa,
cita rasanya tidak pernah berubah. Benar- benar bukan sajian biasa, ibarat
memperbarui ikatan ragaku dengan kehidupan sejati yang mengisi segenap nadi dan
sendi-sendi tubuh….
Tiba-tiba,
Mama berlalu keluar lagi. Kuletakkan mangkuk itu dengan cepat ke atas meja,
hingga menumpahkan cairan keruh pada permukaannya yang berdebu. Aku tahu aku
harus mengikutinya.
”Hai!
Apa yang kalian lakukan?” teriak Mama sambil menyeret badannya yang
tertatih-tatih. Ternyata ia masih belum kehilangan teriakan melengkingnya yang
tersohor itu.
Sesampainya
di luar, kulihat tiga orang bocah kecil sedang berusaha memanjat dahan pohon
cincau tua itu. Salah satunya, yang bertampang paling bergajulan, bahkan sudah
menggapai puncak pohon yang kini tingginya tidak sampai tiga meter. Dengan
santainya ia mencerabuti daun-daun hijau ke bawah, bersiap untuk ditampung
kawannya yang bertengger dengan asyik di sebuah sulur sambil menenteng sebuah
karung beras.
Bocah
teratas lantas melompat dengan gesit ke tanah, mematahkan sebuah dahan besar
hingga jatuh ke tanah. Daun-daun rontok bertebaran di antara debu tanah yang
miskin air. Ia mulai berteriak-teriak memberi perintah kepada rekan-rekan
komplotannya dengan bahasa daerah yang tidak pernah kumengerti. Mereka berlari
melompati pagar rendah sambil menenteng karung hasil rampasan mereka hari ini.
Belum
tersadar dari kekagetanku, tiba-tiba kudapati Mama terhuyung sesaat. Ia segera
merambet lenganku untuk mencari tumpuan. Aku membimbing Mama kembali ke kursi
anyamnya.
”Akh,
tak kusangka. Pohon itu makin habis!” seru Mama sambil menepuk- nepukkan
tangannya ke kepalanya.
”Mama,
sudahlah. Sebentaran pasti tumbuh lagi…. Lagi pula, anak-anak Mama kan sudah
jarang di sini, jadinya kan tidak perlu sering-sering bikin cincau.”
”Ya!
Kalian memang sudah jarang di sini. si Pin sudah kabur, si Mey sudah dibawa
lari lelaki hidung belang itu, dan si Teng sekarang kena masalah. Mama bahkan
tidak tahu kenapa sisanya belum pada datang!” semburnya kepadaku.
Binar
di matanya tampak redup dan tangan-tangannya yang kasar karena kerja keras
seumur hidup mulai bergetar. Tampaknya, Mama terlalu menganggap serius masalah
pohon ini. Bagaimanapun, aku tetap berjongkok di samping kursi, menemani Mama
hingga tubuhnya pulih kembali. Namun aku tahu, saat aku menatap matanya sekali-kali
sambil memegang tangannya dan membimbingnya menuju ke dalam rumah, bahwa
sesuatu dari dalam dirinya telah hilang, tercerabut selamanya.
***
Semenjak
itu, pikiranku nyaris tidak pernah kembali ke rumah tua dan pohon cincau
setengah rubuh yang tumbuh di halamannya. Tidak, ketika urusan pekerjaan,
komitmen-komitmen, dan keluarga mengambil alih seluruh jiwa ragaku—siapa pula
yang peduli pada sebatang pohon di kampung halaman, yang kini menjadi serpihan
masa lalu yang memudar perlahan, laksana jiwa hampa yang tanpa sadar terseret
dalam kenihilan?
Tidak,
sebelum kudengar kabar bahwa pohon cincau itu telah mati dan roboh untuk
selamanya. Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa Mama, dalam usahanya untuk
menyelamatkan tiap daun terakhir dari pohon cincau, telah merengkuh batang
pohon dan memanjat hingga dahannya yang tertinggi.
Tidak
juga, sebelum akhirnya kudengar bahwa dahan besar itu pun patah, dan Mama
terjatuh ke tanah. Kepalanya terantuk batu yang menonjol dari dalam tanah
gersang, dan mengakhiri nyawanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar