Wiro Seledri
|
Berita lelayu yang
diumumkan mesjid desa sesudah shalat subuh, mengejutkan saya. Mbah Prawiro
meninggal dunia, padahal 3 hari yang lalu saya masih menjumpainya saat bersama
ta’ziah di tetangga dekat rumah yang meninggal.
Bergegas
saya menuju tempat tinggalnya. Setibanya di gubugnya, terlihat tidak banyak
orang yang melayat. Hanya ketua RT setempat, beberapa hansip, pengurus mesjid,
dan seorang polisi. Mbah Prawiro terbaring di atas ranjang bambu beralaskan
tikar pandan yang sudah lusuh, diselubungi selembar kain batik. Di dalam
ruangan yang cuma 3×4 meter yang sekaligus sebagai rumah tinggal dan dapur, di
sekelilingnya teronggok kompor minyak tanah, periuk nasi, panci aluminium, dan
dua buah cangkir dan piring kaleng.
Pak
Min, penjaga palang rel kereta api mengisahkan, tadi sehabis shalat subuh, mbah
Wiro, begitu biasa dipanggil namanya, berjalan pulang seperti biasanya lewat
sepanjang rel kereta. Waktu itu adalah saatnya kereta dari Jakarta menuju Solo
Balapan akan lewat. Sementara dia menutup palang rel kereta, dari sinar lampu
kereta yang datang terlihat bayangan mbah Wiro yang masih berjalan di tengah
rel. Pak Min berusaha mengejar sambil berteriak memanggilnya, tetapi mbah Wiro
semakin cepat melangkah sambil mengucapkan Allahu Akbar dan merentangkan
tangan. Dan terjadilah, mbah Wiro terpental ke sawah di samping rel.
”Tidak
banyak lukanya, hanya di dada dan kedua kaki patah” jelas pak Min.
***
Sebetulnya
belumlah bisa disebut rumah karena masih berupa gubug bambu beratap rumbia tak
jauh dari rel kereta, seluas tak lebih dari 12 meter persegi, dengan secuil
tanah sekeliling teritisannya dipenuhi tanaman sayur seledri yang rimbun,
adalah tempat tinggal mbah Wiro yang telah dihuninya lebih 10 tahun. Dengan
penghuninya yang sepertinya menyimpan misteri ini, sangat menarik perhatian dan
keingintahuan saya.
Konon
mbah Wiro adalah eks tahanan politik yang telah belasan tahun mendekam di tanah
buangan jauh di belahan timur negeri ini. Usianya mungkin hampir 80 tahun.
Setiap kali, dengan tertatih-tatih berjalan sambil membawa segepok sayur
seledri untuk di jual ke pasar. Inilah kemudian yang mebuatnya disebut juga
mbah Wiro Seledri.
Pertama
kali saya berjumpa mbah Wiro, sewaktu berta’ziah seorang kerabat yang meninggal
beberapa tahun lalu. Saya perhatikan, sementara jenasah sedang dishalatkan, dia
duduk menyendiri, dengan mata rapat terpejam, kedua tangan dalam sikap mau
shalat, nafas hampir tak terdengar. Kemudian ketika jenasah dimasukkan ke liang
lahat, dia pun berhal demikian. Ternyata beberapa kali, setiap kali ada warga
yang meninggal, saya menjumpai hal yang sama, sehingga mengusik hati dan
penasaran untuk ingin tahu, apa sebenarnya yang dia lakukan.
Dari
pak lurah, saya dengar bahwa mbah Wiro memang rajin melayat siapapun warga yang
meninggal, kenal maupun tidak kenal. Sehingga kadang orang mencibir, itu kan
hanya mencari suguhan teh dan sepotong kue dari keluarga yang berduka. Tetapi
warga desa kami jarang mengadakan suguhan seperti itu. Kalaupun ada saya lihat
mbah Wiro tidak menyentuhnya. Ini yang mendorong saya makin ingin tahu tentang
dia.
Kesempatan
itu datang saat ada acara pemakaman di desa sebelah. Kami pulang bersama meniti
pematang. Secara tidak langsung saya bertanya tentang doa untuk orang
meninggal. Dia menatap saya agak lama, sepertinya ingin mengatakan, ”Kan kamu
sendiri sudah tahu!”
”Begini
nak mas, saya berdoa untuk yang meninggal dan untuk saya sendiri,” jelasnya,
”Saya berbuat seperti yang nak mas perhatikan, karena dalam kegelapan mata
terpejam kita bisa lebih banyak melihat.”
Saya
terperangah sejenak.
“Maksudnya
mbah.”
Dia
hanya tersenyum dan bergegas menuju gubugnya.
Ah,
gila rasanya dengan semakin besar keingintahuan saya akan misteri orang sepuh
ini. Saya pun jadi rajin mendatangi acara pemakaman siapa saja untuk bertemu
mbah Wiro. Mungkin teman-teman saya sudah menganggap saya ini pengikut ajaran
mbah Wiro. Waktu saya tanyakan dalam kegelapan apa yang ingin mbah Wiro lihat.
Izroil!
Wah,
makin gila saya mendengar jawabannya. Malaekat maut?!
Akhirnya
saya paksa diri saya pada suatu hari berkunjung ke tempat tinggalnya.
”Nak
mas masih muda. Dalam usia seperti saya, yang telah menjalani perjalanan hidup
yang kelewat panjang adalah saat untuk merindukan ketenangan. Saya tahu
malaekat Izroil akan selalu hadir saat orang meninggal”
Saya
masih belum mengerti maksudnya
”Mbah
pernah melihat Izroil?”
Dia
menatap saya agak lama dengan muka serius. Seakan bergumam pelan dia berkata:
”Saya
rasa sudah saatnya kaum muda mengerti akan perjalanan sejarah kelam yang telah
terjadi di negeri ini?”
”Sudah
pernah!” ujarnya kemudian dengan tegas
”Sekitar
40 tahun lalu, pasti nak mas belum lahir, hal itu terjadi. Bersamaan dengan
munculnya lintang kemukus di langit menjelang tengah malam, itu pertanda bahwa
dajal menguasai kita. Oleh dendam yang tak jelas, ribuan saudara kita dimakan
pedang dan clurit.”
Saya
belum menangkap maknanya.
Mbah
Wiro berbalik sejenak, menyiapkan teh hangat yang kemudian disodorkan ke saya.
Dia sulut rokok kawungnya, diisapnya dalam-dalam. Asapnya menyembur ke seluruh
ruangan, membuat saya sedikit terbatuk-batuk. Dia ucapkan maaf dan menyilakan
saya minum. Saya agak mengernyit menghirup teh yang pahit benar di lidah saya.
”Nak
mas, kepahitan hidup bisa menjadi permulaan kemanisan hidup. Juga kemanisan
hidup bisa juga menjadi permulaan kepahitan hidup.”
”Maksudnya?”
”Semasa
muda saya hidup senang sebagai petani dengan sawah warisan orangtua yang luas.
Hidup sangat kecukupan. Tapi kita manusia suka lupa diri, kurang mensyukuri
nikmat Allah. Sawah ludes dalam judi sabung ayam. Jatuh ke tangan orang kaya
yang banyak orang menyebutnya seorang tuan tanah. Akhirnya jadilah saya cuma
sebagai petani penggarap. Dalam kesulitan hidup ini, sebuah organisasi
persatuan para petani datang sebagai dewa penolong, paling tidak menolong saya
lebih bersemangat dalam menghadapi hidup. Organisasi ini menjanjikan perjuangan
untuk memperbaiki kehidupan petani, dengan melawan apa yang disebut setan desa,
seperti rentenir, tengkulak ijon, dan apa saja yang merugikan kaum tani,
termasuk melawan tuan tanah. Saya aktif di dalamnya sebagai ketua ranting
desa…Yang baru kemudian saya tahu, bahwa organisasi ini mendapat julukan
onderbow partai terlarang, oleh pemerintah!”
Mbah
Wiro menghentikan ceritanya sejenak. Menarik nafas panjang, kemudian
meneruskan:
”Dan
pertanda lintang kemukus malam itu terbukti. Petaka besar terjadi. Hanya dengan
tudingan terindikasi partai terlarang saja, saudara-saudara kita dibantai oleh
sesama saudara. Perburuan telah membuat desa ini banjir darah. Nyawa manusia
lebih murah dari nyawa ayam. Pak lurah memang menasehatkan saya untuk melarikan
diri, karena menurut dia saya sudah masuk daftar. Tapi saya enggan. Sampai
suatu tengah malam segerombolan orang berseragam membawa senjata laras panjang
dan beberapa warga menyandang pedang dan clurit terdengar bergerak menuju
tempat tinggal saya. Istri saya suruh sembunyi di semak-semak kebun belakang,
sedang saya di ladang jagung, tak jauh dari depan rumah.
Setelah
mereka menggeledah rumah ternyata kosong. Seorang dari
mereka berteriak: Ladang jagung! Jadilah tanpa pikir lagi saya lari. Terus saja
lari, meskipun dari jauh terdengar jeritan dan tangisan minta ampun istri saya.
Lari menerabas apa saja, sampai nafas hampir habis, sampai jatuh terjerembab di
bantalan rel kereta di pinggir desa.
Kemudian
dengan sisa tenaga yang ada, saya susuri rel hingga sampai stasiun di batas
kota. Saya mungkin pingsan. Setelah sadar saya sudah terbaring di tengah
beberapa pemuda berbaju loreng seperti aparat. Saya dibawa ke suatu rumah besar
yang penuh pemuda berseragam sama, tetapi saya rasa mereka bukan ABRI, karena
hanya menyandang pedang dan clurit. Di sana saya benar-benar merasa akan
dihabisi oleh sesama saudara!”
Sampai
di sini, saya berpikir mana hubungannya dengan Izroil? Yang saya tahu hanyalah
cerita guru tentang pemberontakan G30S sewaktu di sekolah menengah.
”Setelah
disekap satu hari, tengah malam saya dinaikkan truk bersama banyak orang
tangkapan lain,” lanjut mbah Wiro. ”Dengan tangan terikat dan mata tertutup
kain hitam kami dibawa entah ke mana. Kami diturunkan di tempat yang saya pikir
pasti hutan karena saya mendengar suara gemerisik dedaunan yang kami lewati.
Kami dibariskan satu-satu disertai tendangan dan makian. Sebentar-sebentar kami
disuruh maju selangkah. Dan sebentar-sebentar terdengar jeritan mohon ampun
serta suara benda berat jatuh ke air. Saya semakin pasti bahwa saya akan dibantai.
Ya Tuhan ampunilah segala dosa kami, tolonglah kami. Giliran saya tinggal maju
setapak lagi. Saya tengadahkan muka sambil menangis, doa saya tak henti-henti.
Dalam kegelapan mata tertutup, saya melihat seorang berjubah hitam mengendarai
kuda di angkasa dan menoleh, sekejap tersenyum kepada saya….
Tiba-tiba
terdengar tembakan gencar dan langkah-langkah berat berdatangan.
Tembak-menembak terjadi. Tanpa komando kami tiarap. Teriakan kematian
bersahutan. Sesaat kemudian berhenti.
Ternyata
yang datang benar-benar anggota ABRI yang melepaskan tutup mata dan tali ikatan
kami. Terdapat ada beberapa orang pemuda sedang sekarat dan seorang benar-benar
meninggal tergeletak dengan sebuah kapak besar masih di tangan. Dan ya Allah,
sebuah gubug pembantaian itu terletak di bibir sungai besar di mana menurut
kisah lama Joko Tingkir telah mengalahkan 40 ekor buaya di sungai itu!
Itulah
permulaan jalan panjang saya menuju tanah pengasingan di sebuah pulau yang jauh
di sebelah timur sana”
Badan
saya merinding membayangkan kisahnya. Saya jadi ragu dan bingung, apa yang
sebenarnya terjadi dengan kengerian yang digambarkan film Pengkhianatan G30SPKI
yang diwajibkan oleh pemerintah untuk semua warga sampai anak sekolah harus
menonton.
Melihat
wajah mbah Wiro yang tampak letih, saya mencoba mengalihkan pembicaraan:
”Wah
hebat. Sayur seledrinya subur amat mbah.”
”Darah
dan daging saya seorang petani,” ujar mbah Wiro manggut-manggut, ”Tuhan
menganugerahi setiap umat, kemampuan untuk bertahan hidup dalam keadaan apa
pun.”
”Termasuk
semaktu di tanah pengasingan mbah?”
”Benar
nak mas. 12 tahun memendam perasaan kesendirian, kesepian, kengerian keadaan
ribuan tahanan yang tak lepas dari kekerasan petugas, jaminan hidup tak
memadai, harga diri sebagai manusia dihabisi, dan segala yang rasanya membikin
hilang harapan. Tetapi ternyata itu semua makin memperkuat ketahanan kita
untuk hidup. Meskipun kami ditempatkan di daerah perbukitan yang gersang.
Tanaman yang tumbuh banyak hanya pohon kayu putih.
Semula
memang tidak tahu apa yang akan saya buat, tapi akhirnya sadar bahwa kami
dibuang di sini, mungkin demi mengurangi beban pemerintah untuk memberi makan
kami. Itulah yang membuat kami semua merasa mempunyai satu ikatan kekeluargan
yang erat. Kami mencoba bercocok tanam padi, tebu, jagung, ubi, dan kacang,
Hasilnya kami konsumsi bersama. Meski kekurangan pupuk, tanaman kami cukup
memuaskan.”
”Lalu
dengan pupuk apa mbah” tanyaku asal-asalan.
”Sedikit
ZA dicampur air tinja!” jawabnya serius. Saya tersenyum mendengar jawabannya.
Tetapi wajahnya berubah sedih seperti hampir menangis.
”Tinja
memang kita anggap barang paling hina dan menjadi santapan enak bagi babi.
Tapi
benda itu yang membuat saya bisa bertemu Izroil lagi!”
Mbah
Wiro tercenung beberapa saat, kemudian mendekatkan wajahnya padaku, sambil
ujarnya pelan:
”Suatu
hari, selepas menyiangi tanaman, perut saya berontak, yang membuat saya tak
tahan buang air besar di sungai yang tak jauh dari barak. Tiba-tiba sebuah
bedil menyalak, pelurunya hampir menembus kepala saya. Segera saya lari menuju
barak, ternyata petugas bersenapan tadi sudah menunggu saya. Dengan tendangan
saya dipaksa mengambil tinja yang sudah terapung di sungai. Dan di depan
teman-teman dia paksa saya merangkak, dengan tendangan bertubi-tubi serta
ancaman senjata, saya harus melahap tinja bagaikan seekor babi.
Selama
seminggu hati saya menangis. Ketabahan saya selama ini runtuh. Betapa hinanya
harga diri saya sebagai manusia. Sehingga tak tahan saya untuk tidak menyiapkan
tali. Sewaktu jeratan tali mencekik leher dan sudah tak sadarkan diri sekilas
seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa menoleh dan tersenyum kepada
saya. Tiba-tiba teman-teman menolong menurunkan saya!”
Mbah
Wiro diam sejenak, berkata pelan seperti pada dirinya sendiri:
”Ya
sebetulnya dijadikan babi tidaklah seberat ketika telah dipulangkan dari sana.
Saya menerima kenyataan tidak lagi bisa menjumpai rumah dan istri serta sanak
keluarga saya.”
Seakan
ada sesuatu yang menyesaki dada saya mendengar kisah terakhir ini. Lama kami
terdiam. Mbah Wiro melepas nafas panjang dan memandang jauh ke depan, ke arah
rel kereta di depan rumah. Sambil menunjuk sepasang rel kereta yang lurus
sampai ujungnya tak terlihat, ujarnya:
”Lihat
nak mas! Perjalanan hidup ini ibarat dalam kereta di atas rel lurus dengan tujuan
yang sudah pasti di ujungnya. Kita tidak bisa membelokkan sendiri ke arah
lain!”
Kami
ngobrol apa saja sampai menjelang magrib. Sebelum meninggalkan rumahnya, saya
sempat bertanya setengah bercanda:
”Omong-omong
bagamana wajah malaekat itu, mbah?”
”Itu
rahasia Tuhan!” jawabnya tegas.
Sesampai
di depan rumahnya, saya memperhatikan tanaman seledrinya yang nampak benar
sangat subur, saya bertanya pula:
”Pupuknya
apa mbah?”
Dia
hanya tersenyum kecil, sambil berbalik ke rumahnya.
Sehabis
pertemuan itu, sekian lama saya tidak menjumpainya, sehubungan dengan tugas
saya ke ibu kota. Hingga suatu hari secara kebetulan saya bertemu mbah Wiro
sedang berjalan ke pasar sambil membawa segepok sayur seledri. Basa basi saya
menyapa dengan bertanya apa kabar.
”Semalam
saya bertemu dengan malaekat Izroil, dan dia telah mengabulkan permohonan saya
tentang kerinduan yang selama ini saya dambakan” jawabnya sambil tersenyum.
Tapi senyum itu! Senyum itu terasa sangat aneh.
***
Sehabis
dzuhur jenasah mbah Wiro diberangkatkan ke pemakaman di pinggir desa.
Pelayatnya hanya bisa dihitung dengan jari. Saya ikut mengusung kerandanya.
Sewaktu
jenasah diturunkan ke liang lahat dan ketika kain kafan di wajahnya dibuka,
saya sempat melihat wajahnya. Wajah yang tenang dan nampak tersenyum. Saya rasa
mbah Wiro Seledri telah bersama malaekat Izroil ikut menunggang kuda di
angkasa!
Klaten, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar