Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian
Sudah enam puluh tahun hariara itu tegak di pekarangan belakang sekolah
itu. Walau usia sudah mengelupas kulit batangnya, namun dia tetaplah yang
paling menjulang di antara pepohonan yang ada di sekeliling.
Di ujung akarnya yang menjentang di permukaan tanah, dengan bersila
beralaskan tikar pandan, duduklah Kartika Suryani sejak beberapa saat yang
lalu.
Mantan guru itu duduk dengan tegak. Usia tidak membuat punggungnya condong.
Binar bola matanya di waktu muda masih disisakan oleh usia. Hanya pojok-pojok
mata itu yang berkerut dilukis waktu. Rambutnya yang memutih tidak membuat
wajahnya renta. Sinar matahari pagi mendatangkan kecerahan pada penampilannya.
Di bawah pohon tua itu dia menanti murid-muridnya. Tentu bukan untuk memberikan
pelajaran lagi, tetapi guna menepati janji yang sama-sama mereka sepakati dua
puluh tahun yang silam. Janji yang lahir dari pedihnya kebebasan dan kejujuran.
Kartika memang cuma seorang guru bantu, tetapi dia telah membawa suasana
baru ke sekolah itu. Dia selalu menyelipkan kelakar untuk menyingkirkan suasana
bengis yang selama ini merajai ruang belajar. Kedudukannya sebagai guru tidak
mengungkungnya untuk menjaga jarak dari murid. Dia memperlakukan mereka layaknya
anak sendiri. Teman malah.
Terkadang dia memberikan tanda mata berupa manisan atau alat tulis kepada
murid, yang menurutnya, pada hari itu telah menunjukkan upaya yang lebih besar
dibandingkan kemarin. Dengan begitu, penghargaan itu tidak hanya monopoli murid
yang paling pandai, tetapi juga menjadi sumber kepercayaan diri bagi mereka
yang telah berusaha untuk menyayangi diri sendiri dengan berbuat lebih baik.
Untuk menghidupkan suasana kebebasan, tak jarang dia mengajak murid-murid
keluar kelas dan belajar dengan bergerombol mengelilingi hariara di pekarangan
belakang.
Ke kelas mana pun dia menampakkan diri, simpati dan sukacita tumpah
padanya. Matanya yang berbinar dan senyumnya yang murah acapkali memancing
murid-murid pria, yang suka iseng, diam-diam menyambut kedatangannya dengan
suitan. Dia tidak hanya menjadi buah bibir di sekolah, tetapi juga bahan pujian
di meja makan ketika murid-muridnya menceritakan kepada orangtua mereka tentang
seorang guru yang cara mengajarnya membuat mereka betah di kelas.
Begitu masuk kelas, dia bukannya langsung memerintahkan murid-murid untuk
membuka buku pelajaran, tetapi memulainya dengan percakapan enteng tentang apa
saja. Dia menyemangati murid-murid supaya berani mengemukakan pendapat tentang
pelajaran yang mereka peroleh kemarin dan mimpi apa yang mereka ingin gapai
hari ini. Muridnya memanfaatkan kesempatan di menit-menit awal menjelang
pelajaran itu untuk menyampaikan kritik maupun pujian. Kuping Kartika tak pernah tipis. Dia selalu mendengar dengan sabar dan
penuh minat.
Semangat untuk menyatakan pendapat itu rupanya sudah tidak memperoleh ruang
yang cukup kalau hanya diutarakan dalam beberapa menit menjelang pelajaran
dimulai. Kartika kemudian menyediakan buku harian yang dia bentangkan di dekat
pintu. Ke dalam halaman buku itu dia persilakan murid-murid untuk menuliskan
apa saja yang mereka rasakan, atau pikirkan, tentang sekolah dan dunia mereka
sendiri.
”Banyak yang bilang masa di sekolah menengah merupakan penggal kehidupan
yang paling membahagiakan. Masa keemasan itu akan terampas ketika kita sudah
duduk di perguruan tinggi, lantaran kehidupan senyatanya sudah di depan mata.
Benarkah itu? Tolong beri aku jawaban. Tapi, jangan klise, ya…!” begitu kata
seseorang di buku harian itu.
”Tidakkah bisa dipikirkan bagaimana mengajarkan matematika supaya menarik,
bukannya seperti menyuapkan simbol-simbol yang menyebalkan, mati, dan diajarkan
dengan sikap yang sukar dibedakan apakah guru atau monster?!” tulis yang lain
menumpahkan kedongkolan.
Ada pula yang menulis dengan awal yang manis, tetapi ditutup dengan sikap
seperti mau bunuh diri karena tak ingin kehilangan: ”Sumpah, swear! Kesemarakan
hidup hanya kutemukan di sekolah ini, pada guru yang begitu besar cinta mereka
kepadaku. Dan teman- teman hebat semua. Baik-baik bangat! Kalau boleh memilih,
gue kepingin mati di sini aja.” Di sebelahnya, ada pula yang menanggapi dengan
berseloroh: ”Enjoy aja neng, napa sih, he-he.”
Buku harian itu menjadi bahan pembicaraan ketika muncul sebuah kritik yang
terlalu berterus terang dan tajam di situ. ”Ini adalah sekolah. Kata-kata guru di sini harus menjadi kenyataan tanpa tawar-menawar. Mereka
berbicara mengenai lingkungan yang sedang terancam. Gak usah ngomong pake
kaka-kata segede gajah, deh. Bicaralah tentang kamar kecil, kawan! Bak airnya
kumal. Tali air di lantai mirip najis yang belepetan mencari jalan keluar.
Tidakkah sekolah ini bisa memberikan contoh yang baik bagaimana hidup yang
beriman? Kandang kuda tak sepesing ini.”
Kabar tentang keberadaan buku harian itu menyebar ke mana-mana. Murid dari
kelas lain turut menikmati keterusterangan yang mekar di halamannya. Mereka
seperti menemukan pintu masuk menuju sebuah lekuk kehidupan yang menenteramkan
di situ. Banyak yang cemburu mengapa di kelas mereka tak terbentang buku tempat
mencurahkan perasaan. Sementara guru yang merasa tersindir di halaman buku itu
jadi kepanasan dibuatnya. Terutama kepala sekolah. Untuk beberapa guru, kritik
dan kecaman yang ditulis di situ terasa seperti duri yang benar-benar mengusik
ketenangan mereka.
”Siapa lagi yang bikin demokrasi edan ini kalau bukan si ganjen itu. Guru
bantu saja sok selangit!” Guru-guru yang kegerahan terkena sentilan di buku
harian itu menebarkan kebencian dari kelas yang satu ke kelas yang lain, dari
satu kolega ke kolega yang lain. Hasut-menghasut membanjir supaya buku itu
diberangus, disingkirkan.
Puncaknya bukan pada kritik yang dilancarkan para murid, tetapi pada
Kartika Suryani, yang sudah tak tahan membendung banjir perasaannya. Untuk
pertama kali dia mencurahkan kata hatinya: ”Aku tak pernah menyangka bahwa
suatu ketika, dalam hidup ini, aku akan menemukan kepelikan yang muncul dari
sikap korup seseorang yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran. Karena kata
inilah yang justru sering dikumandangkannya di depan murid-murid, pada setiap
upacara seninan. Dan inilah yang menyakitkan. Dia menyuruh aku untuk menjadi
penghubung, menemui seseorang yang akan memberikan kunci jawaban ujian nasional
di suatu tempat. Mimpi buruk macam apa yang kudapatkan ini? Penghinaan seperti
apa yang sedang dia rekayasa untuk merendahkan derajat anak-anakku? Aku tak mau
dan tak bisa terlibat dalam kejahatan ini… Aku telah memilih untuk meninggalkan
sekolah ini.”
Zaman sudah berkelok dan jauh meninggalkan kodratnya. Seorang kepala
sekolah sudah bukan lambang di mana kejujuran menemukan bentuknya. Kartika
harus menutup buku yang menjadi jangkar bagi para muridnya untuk melabuhkan
kata hati yang sering datang meronta-ronta. Dia hanya seorang guru bantu. Dia
tidak dilahirkan dan tidak dikirimkan ke sekolah itu untuk menjadi dewi
penyelamat. Bakat sebagai pembangkang juga dia tak punya. Hanya saja, dia tak
punya nyali untuk menipu dan membungkam keyakinannya sendiri. Sebagaimana yang
disumpahkannya di dalam buku harian itu, maka dia memilih berhenti.
Dia mengajak seisi kelas untuk mengadakan semacam upacara perpisahan
dengannya di sekolah itu juga, pada satu pagi di hari Minggu. Murid-murid
membawa tanda cinta dan air mata mereka yang penghabisan dalam bentuk kado
kecil-kecil yang mereka bungkus sendiri. Kartika membalas semua itu dengan
terima kasih dan peluk cium.
”Mari kita tanam buku ini di sini, sebagai tanda terima kasih kepada
lembar-lembar halamannya kepada siapa kita telah belajar tentang keberanian dan
memercayakan perasaan kita. Lembar-lembar kertas yang telah ikut membesarkan
kita semua. Kebebasan berpikir dan mengungkapkan kata hati takkan pernah bisa
dibungkam. Dan itulah yang telah kita lakukan dengan catatan harian
ini,” katanya seraya menahan perasaan dan titik air mata.
Seperti sedang meratapi peruntungannya sendiri, katanya pahit: ”Saya tahu
mencari pekerjaan buat saya tidaklah mudah. Tetapi, saya tak pernah takut jadi
miskin. Saya hanya gentar pada kejujuran.”
Dengan kesepakatan murid-murid yang tegak menahan emosi, buku itu
diputuskan supaya ditanam. ”Kita yang setia kepada kejujuran diharap datang lagi
ke sini, tepat di sini, di bawah pohon ini, pada hari ini juga, Minggu, persis
dua puluh tahun mendatang. Kita akan lihat bagaimana kejujuran akan menunjukkan
wajahnya. Apakah dia pernah menjadi tua…?” Kata-kata itu membuat upacara di
bawah pohon itu terdiam oleh haru.
Dengan setangkai cangkul yang dia bawa sendiri, Kartika memulai galian
pertama, diikuti semua muridnya, satu-demi-satu. Buku harian itu dimasukkan ke
dalam kantong plastik dan dikuburkan di bawah pohon hariara di pekarangan
belakang sekolah itu.
Persis dua puluh tahun kemudian, pada hari ini, hari Minggu, sebagaimana
yang sudah disepakati, Kartika sudah duduk menanti di antara akar-akar hariara
yang menjalar melilit-lilit memperkokoh cengkeramannya di tanah.
Punggung Kartika Suryani tetap tegak. Juga lehernya yang jenjang menadah
sapuan angin pagi. Matanya menatap ke pintu gerbang. Dan dia ingat, gerbang itu
dulu terbuat dari kayu, yang kalau dikuakkan akan berderik. Kini, pintu masuk
itu adalah besi kempa berukir.
Waktu masih mengajar dulu, dia selalu datang lebih awal dari murid-
muridnya. Menjadi orang pertama yang melintas di gerbang itu, dia selalu
disambut tukang kebun yang kini sudah tiada. Dan, sebagaimana dulu, pada hari
ini, dua puluh tahun kemudian, mantan guru bantu itu mendahului kedatangan
murid-muridnya guna menepati sebuah janji untuk menyaksikan kejujuran yang tak
bisa dibengkokkan.
Mereka akan bersama-sama menggali tanah di kaki pohon tua yang berkeriput
itu, mengeluarkan sebuah buku harian, di mana kebebasan dan kejujuran mereka
telah menemukan bentuknya yang paling awal. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar