Orang-orang Tak Bersalah
Sudah enam bulan kamar itu kosong, tapi bukan tak berpenghuni. Kamar itu
masih berpenghuni karena barang-barang milik penghuninya masih berada di
tempatnya. Hanya saja selama sekian bulan itu, penghuninya tidak pernah pulang.
Penghuninya tidak memberi kabar sedikit pun, apakah akan kembali ke kamar itu
atau tidak.
Radio dan buku-buku yang berada di atas meja kecil di sudut ruangan sudah
terbungkus oleh debu. Baju-baju kotor yang tergantung di dinding sudah menjadi
sarang laba-laba. Ampas kopi dan puntung rokok sudah mengering di dasar gelas.
Bau makanan busuk dari piring di bawah kolong ranjang membuat ruang kamar itu
bertambah pengap.
Wanita separuh baya itu masuk ke dalam kamar itu dengan langkah perlahan
seraya memerhatikan lekat-lekat seluruh sudut kamar. Dan ia menutup hidungnya
dengan tisu yang memang sudah dipersiapkannya. Karena ia sudah mengira suasana
kamar itu akan seperti apa yang dilihatnya sekarang.
Pandangan wanita separuh baya itu pun tertumbuk pada secarik foto yang
tertempel di dinding. Foto itu memperagakan bagaimana si penghuni kamar dengan
beberapa orang di dekatnya mengacungkan kepalan tangan ke udara. Di samping
foto itu juga tertera seberkas berita dari koran lokal, ”Deklarasi Pemuda
Revolusioner Digerebek polisi!” Wanita itu pun melihat penghuni kamarnya berada
dalam foto di koran itu diborgol dan digiring oleh dua-tiga polisi menaiki
sebuah mobil tahanan.
Sekarang semakin jelas bagi wanita itu, kenapa penghuni kamarnya tidak
pernah pulang. Mungkin sekarang berada di dalam tahanan polisi. Tapi apa
sebenarnya yang dilakukan pemuda itu hingga harus ditangkap polisi? Maka ia pun
mencoba mereka-reka makna dari judul tulisan Deklarasi Pemuda Revolusioner itu,
yang hanya mengingatkannya pada apa yang pernah diucapkan oleh Presiden Pertama
Soekarno, ketika ia masih remaja.
Pada masa itu, ia sering mendengar teriakan-teriakan anak-anak muda di
jalanan atau pidato-pidato pemimpin pada saat itu selalu menyebutkan kata-kata
revolusioner. Ia sendiri tidak begitu memahami makna dari kata itu. Hanya saja
pada saat itu, para pemuda atau orang yang tidak bersikap revolusioner, berarti
menentang pemerintahan pada saat itu. Bahkan tidak jarang dituduh sebagai agen
imperialis. Agen Amerika dan Inggris.
Dan ayahnya, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Kereta Api,
dituduh tidak bersikap revolusioner, diadukan oleh salah seorang bawahannya ke
pihak kepolisian sehingga kemudian dicopot dari jabatannya dan dijebloskan ke
dalam penjara selama beberapa bulan. Sedangkan harta benda milik mereka
dirampas oleh para pemuda dengan alasan disita atas nama negara karena semuanya
hasil korupsi.
Ekonomi keluarganya kemudian berantakan, apalagi setelah ayahnya meninggal
dalam tahanan karena tidak tahan menderita. Hingga mereka yang semula serba
kecukupan, terjadi sebaliknya. Satu per satu harta benda keluarga yang masih
tersisa, baju, seprai, sendok makan, dan lainnya dijual ke tukang loak untuk makan
sehari-hari. Untuk dibelikan beberapa kilo singkong, kemudian direbus dan
dimakan dengan sambal secara bersama-sama. Dan meskipun mereka hanya makan
singkong yang dijatah di setiap piring di atas meja, mereka tidak bisa
meninggalkan kebiasaan lama mereka, jika mereka selalu harus makan tepat waktu.
Siapa yang terlambat makan, maka yang terlambat itu tidak diperbolehkan makan
hingga menjelang makan malam.
Akibat dari peristiwa itu pula, ia dan juga saudara-saudaranya yang lain
menunggak uang sekolah berbulan-bulan, hingga akhirnya pihak sekolah
mengeluarkan mereka atau akhirnya mereka sendiri yang memilih untuk keluar dari
sekolah, kemudian bekerja serabutan apa saja untuk mempertahankan hidup. Dari
menjual es mambo berkeliling atau menjadi tukang cuci pakaian tetangga.
Beranjak dewasa, karena ia ingin kehidupan yang lebih baik, ia terpaksa
bekerja di sebuah kelab malam karena tidak memiliki keterampilan apalagi ijazah
SMA. Karena bekerja di kelab malam itu juga dirasakan masih belum mencukupi, ia
pun memenuhi panggilan di luar jam kelab malam, hingga ia nyaris menjadi
pelacur profesional, kalau saja ia tidak diambil sebagai istri muda oleh
suaminya sekarang.
Suaminya kemudian membelikannya sebuah rumah yang cukup besar, hingga
kemudian, bagian paviliunnya, ia sekat beberapa ruangan untuk dijadikan kamar
kos. Dan ia sungguh merasa beruntung karena rumahnya dekat dengan sebuah kampus
swasta sehingga kamar kosnya tidak pernah sepi. Apalagi ia memberikan kebebasan
kepada anak-anak kosnya untuk keluar-masuk asal tidak sampai mengganggu
penghuni kos lainnya. Ia juga sudah sangat berpengalaman menghadapi anak-anak
kos yang nakal-nakal, hingga ia tahu juga bagaimana mengatasinya. Tetapi, baru
kali ini ia mempunyai perhatian khusus terhadap anak kos yang kamarnya sedang
diamatinya sekarang ini.
Padahal anak itu sangat pendiam atau jarang sekali berbicara. Kalaupun anak
itu berbicara, bicaranya pun hanya seperlunya. Anak itu pun tidak juga banyak
bergaul dengan anak-anak kos lainnya. Bahkan anak itu, boleh dikatakan, sering
menutup diri dan lebih banyak membaca buku. Tetapi dibandingkan dengan
anak-anak kos lainnya, anak kos yang kamarnya kosong ini selalu saja mempunyai
jawaban untuk setiap persoalan yang sering ia ajukan pada anak itu. Bahkan
sebaliknya setiap kali anak kos itu melontarkan sebuah pertanyaan padanya,
pertanyaan itu sangat sulit dijawabnya, kecuali jika anak kos itu kemudian
memberikan contoh-contoh kasus, baru ia dapat memahaminya.
Tetapi sekarang, anak kos itu meninggalkan sebuah pertanyaan besar dalam dirinya.
Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak bisa ia mengerti, kenapa anak kos itu
berada di dalam selembar koran dan ditangkap oleh polisi. Dan revolusi apa yang
dideklarasikan oleh anak itu beserta kelompoknya. Jika ayahnya dulu ditangkap
karena dianggap tidak revolusioner, kenapa sekarang orang yang berteriak
revolusioner ditangkap.
Apakah karena zaman sudah berbeda? Pemerintahannya juga sudah berbeda? Ia
bertanya-tanya dalam hati, sambil mengambil piring kotor dari bawah ranjang. Ia
letakkan piring kotor itu di luar pintu kamar karena ia masih ingin
membersihkan kamar itu dari debu dan sarang laba-laba di sudut kamar. Ia
kemudian membuka jendela agar kamar itu tidak terasa pengap.
Belum lagi ia selesai membersihkan kamar kos itu, seorang anak kos perempuan
berlari menghampirinya. ”Bu, ada berapa anggota polisi di teras.”
”Polisi?” wanita separuh baya itu agak terperangah dan hampir tak percaya
sepenuhnya.
”Iya, mereka tanya soal Nirwan, Bu,” kata anak kos itu lagi.
Tanpa menjawab pertanyaan anak kos, wanita separuh baya itu menuju ke teras
diikuti anak kosnya.
Di teras tampak empat orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dua orang
berseragam lengkap dan dua orang lagi berseragam preman.
”Selamat siang, Ibu?” sapa salah seorang berpakaian preman pada wanita
separuh baya itu.
”Siang, Pak?”
”Maaf, Ibu, apa betul ini rumah Ibu Rubiah?” Tanya polisi berbaju preman
itu lagi dengan nada sopan, tapi pandangan mata penuh selidik.
”Iya, Pak. Saya sendiri,” jawab wanita separuh baya bernama Rubiah itu.
”Kami dari kepolisian. Apa betul Nirwan
tinggal di sini?” Tanya orang berbaju preman itu sambil memperlihatkan selembar
foto pada wanita separuh baya bernama Rubiah itu.
”Iya, betul?” sahut Ibu Rubiah setelah memerhatikan foto yang diperlihatkan
kepadanya.
”Sudah berapa lama dia tinggal di sini, Bu?” Tanya polisi berpakaian preman itu lagi.
”Sudah lama. Tapi, sudah.” Ibu Rubiah sedikit tergagap. Ia ingin
menjelaskan bahwa sudah enam bulan lebih anak kosnya itu tidak pulang. Tapi ia seolah-olah
tidak diberi kesempatan menjawab.
”Ibu tidak pernah laporkan ke rukun tetangga?” potong polisi berpakaian
preman itu lagi.
”Saya memang belum,” Ibu Rubiah semakin tergeragap dan mulai merasa panik.
”Ibu tidak tahu kalau ia buron pihak kepolisian?” polisi berpakaian preman
itu terus mencecar.
”Saya tidak tahu kalau dia buronan.”
”Kalau begitu, Ibu ikut kami.” Dua orang polisi yang berpakaian lengkap
melangkah maju dan langsung memborgol pergelangan Ibu Rubiah.
”Lho, salah saya apa, Pak?” Ibu Rubiah benar-benar tak percaya dengan apa
yang terjadi pada dirinya. Ia mulai menangis,
apalagi tangannya mulai diborgol oleh para polisi itu
”Ibu kami anggap telah menyembunyikan buronan.”
”Saya tidak tahu kalau dia,” Ibu Rubiah mencoba berkilah.
”Nanti ibu jelaskan semua di kantor polisi. Dan ada pengacara untuk itu.” Potong polisi berbaju preman sambil menyeret
wanita itu ke atas mobil. Sementara itu, polisi lainnya memasang garis polisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar