Pengunyah Sirih
Mulut Sukro senantiasa memerah. Bibir, gigi, dan lidah lelaki setengah baya
itu mengundang perhatian orang lantaran memerah. Ludahnya merah segar. Kebiasaannya
mengunyah sirih, sebagaimana dilakukan para wanita zaman dulu, membekaskan
warna memerah di mulutnya. Tapi menjelang dini hari, di bawah pohon trembesi,
bukan hanya mulutnya yang memerah. Sekujur tubuhnya memerah, melelehkan darah.
Luka-luka tubuhnya menganga. Darah mengucur kental, merembes di berbagai bagian
tubuh dan wajah.
Tak lagi terdengar Sukro mengerang. Orang-orang kampung berhenti
melampiaskan kemurkaan: menganiayanya dengan kayu, batu, dan senjata tajam.
Tubuh Sukro terkulai. Seseorang memeriksa detak nadi lelaki setengah baya itu.
Tak berdenyut. Tubuhnya tak bergerak. Tapi kebencian orang padanya masih
tersungkup sumpah serapah, ”Ayo, tampakkan kesaktianmu, Sukro! Mana buktinya
kalau kamu kebal? Hiduplah kembali!”
Seekor sapi yang dicuri Sukro berdiri di dekat pembantaian tubuh lelaki
setengah baya itu. Pemilik sapi diam-diam meninggalkan bawah pohon trembesi,
menjauhi lelaki-lelaki beringas pembantai Sukro. Menuntun sapinya, mencari
jalan setapak pulang. Orang-orang lain mengikuti jejaknya. Keriuhan orang di
bawah pohon trembesi, dekat kuburan tua, dalam gelap dini hari, surut seketika.
Senyap. Udara yang murni, segar, mengapungkan anyir darah yang meleleh di
sekujur tubuh Sukro.
Tinggal tubuh Sukro—pencuri ternak itu—yang tergeletak di bawah pohon
trembesi, dekat kuburan tua dengan makam keramat di atasnya. Di sekelilingnya terserak potongan kayu, bambu, batu-batu, dan ceceran
darah di rerumputan gersang. Tak ada gerak. Tak ada napas. Angin mati. Begitu
cepat orang-orang menelusuri jalan setapak di rerumputan, melintasi lereng
bukit cadas yang tandus, keras, dan senantiasa dikeruk buldoser, diangkat
dengan truk ke daerah-daerah yang jauh sejak fajar rekah, sepanjang cahaya
matahari tercurah ke bumi hingga jauh larut malam.
Masih terlentang tubuh Sukro, melelehkan darah kental. Dari liang-liang
luka, darah merembes. Di tempatnya tergeletak, orang-orang tak menyisakan jejak
pembantaian. Seekor sapi yang dicuri Sukro telah dibawa pulang pemiliknya, jauh
meninggalkan kuburan tua dan makam keramat di sisi bukit cadas yang hampir rata
dengan tanah.
Dari kejauhan Pak Lurah memandangi pembantaian Sukro. Membuang muka. Geram.
Tak mau terlibat. Buru-buru meninggalkan kuburan tua dan daerah bukit cadas
yang digempur. Mencari jalan pulang. Tak ingin dilihat orang.
***
Tubuh Sukro merasakan getar panas telaga api tanpa tepi. Tubuh-tubuh serupa
bayangan, tinggi besar, menyeret tubuhnya yang ringan ke telaga api.
Menyiksanya. Mengayun-ayun tubuhnya, hendak menceburkannya ke telaga api. Sukro
berteriak-teriak. Meronta-ronta. Tapi lelaki-lelaki bertubuh bayangan itu
menyekapnya paksa. Lidah api yang terjulur-julur, serupa debur ombak mengisap
tubuhnya. Cahayanya berkilau-kilau dengan warna merah besi berkarat, pekat
panas, menyerap tubuhnya untuk menyatu ke dalamnya.
Membebaskan diri dari gelombang api yang menjalar, Sukro beringas.
Ketakutan, Sukro meronta dari sekapan lelaki-lelaki bertubuh bayangan, tinggi
besar, yang memburunya. Menjauhi telaga api. Menghindari siksa. Memasuki
kembali tubuhnya yang terkapar di bawah pohon trembesi. Ia terbangun, merintih,
menggeliat pedih memandangi kuburan tua. Tak bisa menggerakkan sekujur
tubuhnya. Lumpuh. Tanpa kekuatan. Terus merintih. Tubuhnya pedih. Tubuh yang
tak berbentuk. Tubuh yang remuk. Hanya suara rintihannya yang terdengar lirih.
Napas tersengal. Mata berkedip-kedip.
Tak seorang pun mendengar suara rintihan Sukro, ketika pagi rekah. Deru
alat berat mengeruk tanah mulai meratakan bukit cadas di sisi kuburan tua.
Gemuruh. Truk-truk tanpa muatan berdatangan dan meninggalkan bukit cadas dengan
sarat beban batu cadas. Deru truk menenggelamkan suara rintihan lelaki setengah
baya itu.
***
Lelaki muda buta itu baru saja selesai memijat Pak Lurah, melintasi jalan
setapak di celah bukit cadas dan kuburan tua. Ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya,
mencari jalan yang akan dilaluinya. Telinganya yang peka mendengar suara
rintihan seseorang yang tergeletak di rerumputan dekat kuburan tua. Lelaki muda
buta itu mencari sosok tubuh yang merintih dengan ujung tongkatnya. Berjongkok.
Meraba tubuh Sukro yang berlumur darah. Ia membersihkan darah yang meleleh,
memijat sekujur tubuh Sukro, bergemeretak tulang-tulang yang patah
diluruskannya.
”Sirih, sirih,” rintih Sukro. Lelaki buta itu usai sudah memijat sekujur
tubuh Sukro, yang disangka telah mati. Terdengar Sukro meminta sirih. Lelaki
pemijat itu pulang. Memetik daun-daun sirih. Kembali lagi dia dan memberikannya
segulung daun sirih untuk dikunyah-kunyah lelaki setengah baya yang terkapar
itu.
Menahan nyeri tubuh, lelaki setengah baya yang hampir sekarat itu bisa
mengunyah-ngunyah daun sirih, pelan, sesekali terhenti. Tidak sampai lumat. Masih tampak sebagai lembaran-lembaran daun sirih yang
lentur. Ia meminta lemah, ”Tempelkan daun sirih ini pada
luka-lukaku.”
Terus-menerus Sukro mengunyah daun sirih. Tidak lumat benar. Lembar-lembar
daun sirih yang lembek setelah dikunyahnya, dilekatkan lelaki buta pada sekujur
tubuh yang menganga luka. Lelaki buta itu selesai menempel lembar daun sirih
lembek ke liang-liang luka di tubuh Sukro. Ia tersenyum tenang setelah tak
terdapat lagi liang luka yang dibiarkan mengucurkan darah.
Lelaki buta pemijat itu bimbang sejenak. Merenung. Dan ia memutuskan untuk
meninggalkan Sukro berbaring sendirian di bawah pohon trembesi. Ia menjenguk
lelaki setengah baya yang terkapar itu pada sore hari. Mengantar makan, minum.
Tapi Sukro masih belum bisa menelan makanan. Ia meminta minum. Hari kedua
barulah lelaki yang terluka parah itu bisa makan beberapa suap. Hari ketiga ia
bisa bergerak lebih leluasa. Hari keempat ia tergagap-gagap bangun. Hari kelima
ia berdiri tertatih-tatih. Hari keenam ia berjalan terseret-seret. Hari ketujuh
ia meninggalkan pohon trembesi.
Sore hari lelaki buta datang dengan makanan, minuman, dan pakaian bersih.
Sukro sudah tak ditemukannya di bawah pohon trembesi.
”Aku di makam keramat,” seru Sukro, ”kemarilah!”
Lelaki buta itu mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan setapak ke
kuburan tua, dan menemukan rumah papan makam keramat. Ia merasa lega, Sukro
sudah bisa berjalan, meski terseret-seret. Tapi ia cemas bila pencuri ternak
itu dimusuhi orang-orang kampung.
”Kukira kau tak perlu lagi menolongku,” kata Sukro, ”di sini banyak
buah-buahan dan tanaman yang bisa kumakan setiap hari. Aku akan tinggal di
kuburan tua ini. Kabarkan pada istri dan anakku, mereka tak perlu mencariku.”
***
Pelan-pelan lelaki buta itu melakukan perjalanan ke sudut desa, mencari
rumah Sukro, dan menemukan rumah yang terpencil di bawah rumpun bambu itu
kosong. Istri dan kedua anak Sukro sudah meninggalkan rumah. Lelaki buta itu
tak mengerti, kapan rumah itu ditinggalkan. Ia hanya bisa merasakan kesunyian
dan kekosongan di dalamnya. Ia bisa mencium aroma tungku perapian yang telah
lama tak digunakan memasak. Ia tak mencoba mengetuk-ngetuk pintu rumah yang
terkunci.
Ia menenteramkan hatinya sendiri. Ia tahu tetangga-tetangga Sukro
memandanginya dengan tatapan curiga. Tapi ia tenang-tenang saja. Ia tetap
dengan tongkatnya. Mencari jalan kembali ke rumah. Ia merasa telah selesai
menolong Sukro, pencuri ternak yang teraniaya di bawah pohon trembesi dekat
kuburan tua.
***
Sukro tak pernah meninggalkan makam keramat, kecuali subuh dini hari dan
lepas maghrib lelaki setengah baya itu menyusuri jalan setapak ke sungai.
Tertatih-tatih. Terpincang-pincang. Kaki kanannya terseret-seret. Sepanjang
hari ia membersihkan makam. Berkebun di sekeliling kuburan tua. Ia memakan umbi
dan buah-buahan dari kuburan itu. Terdapat pohon sirih menjalar subur di
samping makam keramat. Ia senantiasa memetik dan mengunyah daun-daun sirih.
Sesekali memang peronda malam mengelilingi kuburan tua. Menyorotkan lampu
senter ke makam keramat. Di situlah Sukro tidur. Makam keramat itu selama ini
tak pernah dikunjungi orang. Kini banyak orang diam-diam mengintai curiga.
Meski belum seorang pun berani mendaki kuburan tua dan menjenguk Sukro ke
dalam makam keramat, orang-orang yang lewat kadang sekilas memandangi makam
keramat itu dengan curiga. Bila menyapukan pandangan ke kuburan tua, tatapan
mereka penuh selidik, dendam, dan kebencian. Mereka tak pernah berani menatap
kuburan dan makam keramat itu terlalu lama, takut bila Sukro diam-diam menebar
ancaman pada keselamatan ternak-ternak mereka. Tubuh Sukro tak pernah mereka
lihat dengan jelas. Hanya suara cangkul dan sabit yang terdengar. Kadang terlihat
kepulan asap. Ia tengah membakar ubi dalam gemeretak ranting kering dan kayu
bakar di sudut kuburan tua.
***
Masih pagi ketika Pak Lurah turun dari mobil mewah, bersama seorang cukong
dari kota, yang licin kepalanya, berpandangan dingin di balik kacamatanya.
Mereka memandangi kuburan tua yang bersih, tak lagi terlihat kesan angker,
rimbun, dengan pepohonan liar. Makam keramat itu pun tampak bersih. Menjalar
pohon sirih yang segar pada sebatang pohon jambu biji, dengan daun-daun hijau
segar.
”Pabrikku akan didirikan dari daerah bekas bukit cadas hingga mencapai
kuburan tua ini,” kata cukong itu. ”Perkara ganti rugi makam dan penggusuran
kuburan, kuserahkan padamu.”
Lelaki setengah baya itu, lurah desa ini, mengerutkan kening. Mengisap
rokok. Dan melihat kekayaan di balik bukit cadas dan kuburan tua yang bakal
terjual untuk pabrik. Tapi ia segera berkerut. Di makam keramat itu tinggal
Sukro. Sesaat ia tersenyum.
”Serahkan semua ini padaku. Ini bukan hal yang sulit,” Pak Lurah
meyakinkan. ”Dalam seminggu, semua akan beres.”
Mereka kembali naik ke dalam mobil. Tak terlihat asap. Mobil itu
pelan-pelan meninggalkan jalan berumput yang menghubungkan kuburan tua, bukit
cadas yang rata dengan tanah, dan desa.
Dari balik celah papan makam keramat, sepasang mata Sukro memandangi
gerak-gerik mereka dengan curiga. Meradang. Sepasang mata yang memendam rasa
nyeri penganiayaan. Sepasang mata manusia yang bersembunyi dalam kekeramatan
makam, kesunyian, dan alam kematian. Sepasang mata yang terkucil
berbulan-bulan, dalam ancaman dan kecurigaan.
***
Kegaduhan itu terjadi di kuburan tua, menjelang dini hari. Obor-obor,
senter berpancaran di gundukan tanah makam yang bersih, dikelilingi kebun.
Wajah-wajah berkilatan. Menampakkan kebencian, kedengkian. Orang-orang
berteriak, terus mendaki kuburan tua, ”Maling! Maling! Maling!”
Orang-orang susul-menyusul memburu maling ternak. Mereka garang membawa
parang, sabit, pentungan, dan senter. Dari empat arah orang-orang desa memburu,
mendaki kuburan tua. Kerumunan orang murka terhenti di dekat makam keramat.
Sesosok tubuh lelaki berlumur darah tergeletak di sisi makam keramat, diinjak
kaki Sukro, yang terus-menerus mengunyah sirih, dan diludahkan pada tubuh
lelaki yang diinjaknya.
”Lelaki ini mencuri ternak kalian!” seru Sukro. ”Tanyakan padanya, siapa
yang menyuruhnya mencuri sapi membawanya kemari!”
Tak jauh dari tubuh yang tergeletak, seekor sapi yang dicuri, sedang
dipegang ujung talinya oleh seseorang. Dari gelap kuburan tua mendaki Pak
Lurah, berseru, ”Tangkap Sukro! Hajar dia! Dialah malingnya!”
Berkacak pinggang, Sukro seperti menantang siapa pun yang mengepungnya. Tak
seorang pun yang berani menangkapnya. Bulan sabit memucat, dan
kelelawar-kelelawar hinggap di sela dahan trembesi, mencari tempat berlindung.
Orang-orang tergeragap, serupa kelelawar-kelelawar yang memerlukan dahan untuk
berlindung. Pak Lurah berseru garang, merenggut ujung tali pengikat sapi, dan
membentak, ”Sukro inilah pencuri sapi. Tangkap dia!”
Ludah sirih yang disemburkan Sukro ke mata kiri sapi, cuah, memedihkan, dan
mengejutkan binatang itu. Mata kiri sapi yang pedih, gelap, telah membangkitkan
kemarahannya. Binatang itu menyeruduk Pak Lurah. Merobek lambung.
Menginjak-injaknya. Tak terkendali. Mengamuk. Sapi itu memburu orang-orang di
kuburan tua. Orang-orang berlari. Takut bila mereka terobek tanduk sapi.
***
Menjelang fajar lelaki muda pemijat mendaki jalan setapak kuburan tua. Ia
telah mendengar kegaduhan semalam. Tubuh Pak Lurah yang berlumur darah baru
saja diselamatkan orang-orang desa. Kini ketika kegaduhan itu reda, lelaki muda
pemijat mencari-cari Sukro, dan tersenyum mendengar suara lelaki itu,
”Kemarilah! Rawat pencuri sapi ini dengan pijatanmu! Hentikan aliran darahnya
dengan daun-daun sirih ini!”
Lelaki pencuri sapi itu tergeletak penuh luka dalam perkelahian dengan
Sukro. Ia terluka parah setelah diinjak-injak sapi yang dicurinya sendiri.
Lelaki setengah baya pencuri sapi itu mengerang kesakitan ketika lelaki buta
memijat sekujur tubuhnya.
”Ini orang suruhan Pak Lurah yang mencuri sapi dan membawanya ke kuburan.
Dia memfitnahku!” ujar Sukro sambil mengunyah daun sirih. ”Jangan kau benci
dia. Rawatlah seperti kau merawatku dulu.”
Pandana Merdeka, Desember
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar