Laila Tarian Pengorbanan
Dua ”bodyguard” mengantarku, satu bertugas merangkap supir. Badan mereka
besar-besar. Dari ototnya terlihat bahwa mereka adalah orang-orang terlatih
untuk menjagaku. Mereka mengantarku ke sebuah hotel mewah berbintang 5.
“Kamar 462. Doakan aku selamat, ya…,” bisikku lirih. Salah satu dari
bodyguard itu menatapku. Sorot matanya sulit kumengerti. Aku tak tahu apa yang
ada di dalam hatinya, tetapi di balik wajah garangnya, kulihat kedamaian.
”Hati-hati,” katanya singkat saat melepasku. Pistol tersembunyi di balik celananya
yang tertutup kantong besar. Aku tersenyum padanya sebelum berlalu. Rahadian.
Di lift, kulihat bayang diriku. Tubuhku tirus terbalut
rok mini dan atasan hitam menerawang. Tubuh yang jiwanya seperti keluar dari
jiwaku. Entah jiwa milik siapa, sulit kukenali lagi.
Hari ini di kamar 462, aku akan menari, membawakan tarian yang berjudul
tarian pengorbanan.
***
Di Indramayu, setelah ibu sakit keras yang mengakibatkan tubuhnya
mengeluarkan bau-bauan tak sedap, aku sering mencari tikus untuk ditukar sejumlah
uang. Aku sudah berusaha melamar untuk bekerja ke sana-ke mari, namun begitu
sulitnya dengan ijazah SMA yang kumiliki.
Karena banyak sekali tikus liar, maka pemda setempat memberikan sejumlah
uang untuk setiap tikus yang terbunuh. Aku bisa mengumpulkan uang untuk
pengobatan ibu.
Teman sebayaku banyak yang menjajakan tubuh ke para lelaki hidung belang.
Mereka bergerombol berdiri di pinggiran jalan setiap malam tiba. Dalam sekejap
mereka mendapatkan uang cukup banyak. Aku tak tertarik. Aku memilih berburu
tikus, lebih halal daripada menjajakan tubuh.
”Apa pun yang terjadi, berjanjilah pada Ibu untuk tidak terseret ke lembah
hitam. Lebih baik miskin terhormat daripada kaya raya tetapi harus menjual
diri.”
”Aku berjanji, Bu.”
Kini, aku terpaksa harus mengingkari janjiku. Walau seluruh manusia di muka
bumi ini mengutuk pun aku rela. Angina Pectoris yang di derita ibu, di tambah
Herpes Simplex Virus yang menyebabkan bisul bau dan bernanah di sekujur wajah
ibu, membutuhkan biaya besar untuk mengobatinya. Aku ingin ibu sembuh.
***
Lelaki yang akan meniduriku kali ini adalah seorang bos dari Jepang.
Perawakannya pendek dengan perut tambun. Dia menyuruhku mandi. Setelah mandi,
aku mulai menari. Menarikan tarian yang sengaja kuciptakan untuk membuatnya
ketagihan. Tarian yang melibatkan seluruh panca indraku bekerja. Tarian penuh
gelora.
Terkadang, tangan kasarnya memperlakukanku tidak senonoh. Mencakar kulitku
hingga terasa pedih, namun semakin pedih, bayang wajah ibu semakin tergambar
jelas. Semakin pedih terasa, kecintaanku pada ibu semakin kuat.
***
Bapak kandungku adalah seorang bupati. Dia yang seharusnya bertanggung jawab,
malah lari bersama wanita simpanannya, membawa semua harta yang kami miliki.
Dia hanya menyisakan rumah saja, yang telah lama kami jual. Kini kami menempati
rumah kontrakan yang kecil dan kumuh.
Bapak menceraikan ibu di saat ibu butuh dukungan atas sakit yang
dideritanya. Bapak memanipulasi harta gono gini bersama pengacara sahabatnya.
Permainan kotor yang menyakitkan hatiku.
Luka yang diderita ibu begitu sempurna. Jiwa dan raga. Aku marah pada Mbak
Ning yang menghalangiku menusuk bapak dengan pisau.
”Biarkan bapak gila, kita tak usah terbawa gila.” kata Mbak Ning. Aku
menangis di pelukannya.
***
Dari hasil melacur, rupiah demi rupiah kubayarkan ke rumah sakit. Dengan
perasaan bahagia membayangkan ibu akan segera sembuh, kutengok tidurnya yang
pulas. Wajah ibu mulai cerah. Bisul dan nanah di sekujur tubuhnya sedikit
berkurang.
Mbak Ning tengah bersenandung ketika aku datang. Dia begitu telaten merawat
ibu. Namun begitu melihatku, raut wajahnya berubah.
”Jangan dekati ibu!” bisiknya ketus. Hatiku tergetar. Tak biasanya Mbak
Ning bersikap demikian kasar padaku.
Tak ingin ibu paham apa yang terjadi, aku keluar diikuti Mbak Ning. Di
kursi ruang tunggu, kami duduk berhadapan.
”Jika kau masih mau kuanggap sebagai adikku, berhentilah melacur!” katanya
tegas. Aku menciut. Tak mengira Mbak Ning akan tahu. Kepadanya, aku berbohong
mengatakan aku kerja di bank.
”Tuhan akan membuka jalan dari setiap kesukaran. Tak perlu melacur pun,
Mbak yakin ibu bisa sembuh!” katanya. ”Mbak akan meminta keringanan rumah sakit
dan mencoba menghubungi mantan relasi bapak. Mbak yakin rekanan bapak yang
dahulu sering minta tolong mau membantu.”
Aku tersenyum sinis. Aku telah lakukan itu. Tak seorang pun dari
rekanan-rekanan bapak yang mau membantu. Bahkan mereka melecehkan dan
menghinaku.
”Percuma Mbak. Aku sudah mencoba, tapi mereka balik menghinaku.” Mbak Ning
menggeleng. ”Tetap akan kucoba. Tolong jaga ibu dan berjanjilah padaku untuk
berhenti melacur!”
Aku mengangguk. Mbak Ning menghampiriku lalu memelukku. Dengan ketegaran
luar biasa, Mbak Ning meninggalkanku. Dalam hati aku berjanji untuk berhenti
melacur.
***
Dua hari sudah, Mbak Ning menghilang. Dua hari itu pula, aku tak beranjak
dari rumah sakit menemani ibu. Suster mulai bicara tentang rupiah yang harus
kubayar untuk menebus obat ibu. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan untuk
mengulur waktu.
Malamnya, saat ibu tertidur pulas dan aku tengah duduk di luar menatap
bulan, seseorang menghampiriku. Dari kelibas bayangnya, cara dia melangkah
sampai detail gerak-geriknya, aku hafal.
”Apa kabar?” sapanya kaku. Walau lama berteman, kami jarang bicara.
”Baik.” Jawabku.
”Kapan kamu akan kembali?”
”Aku tak akan kembali.”
”Mengapa?” Jawabnya dingin.
”Dilarang mbakku. Dia tak setuju aku
melacur.”
Lalu sunyi.
Dia menatap langit. Tubuhnya yang tinggi menjulang menciptakan bayangan
raksasa. Sampai pagi, dia tetap berdiri mematung. Menungguiku yang duduk
bertopang dagu di bangku.
Pagi hari, saat suster datang dan mulai bicara masalah keuangan, kudengar
kabar itu. Paimin, tetanggaku yang berjualan bakso di samping rumah, menyeruak
masuk dengan napas tersengal.
”Mbakmu di PGD, cah ayu. PGD sini.”
”Eh, kenapa? Ada apa dengan mbakku?”
Paimin berlari, aku mengikuti. Di PGD kulihat Mbak Ning. Ususnya terburai
keluar. Seprai rumah sakit yang berwarna putih berubah merah pekat. Aku
menggigil. Tanganku gemetar sulit digerakkan.
”Dia menjual organ tubuhnya secara ilegal. Saat kutemukan, kondisinya sudah
parah. Tak tertolong lagi.”
”Tak tertolong? Tidak!!!” Bagaimana bisa mbakku yang sangat tegar dan
tenang bisa pergi dengan cara begitu?
”Dia menitipkan ini padamu. Kutemukan di samping jasadnya.” Paimin
menyerahkan sebuah amplop coklat berisi segepok uang seratus ribuan, dengan
sepucuk surat. Sulit sekali membuka surat dengan tangan gemetar.
”Adikku sayang, kujual organ tubuhku demi ibu. Semoga uang ini cukup sampai
ibu sembuh. Pesan terakhirku, apa pun terjadi, janganlah melacur, bekerjalah
yang halal, walau untuk itu kau harus kehilangan nyawamu.”
Mbakmu, Ning.
Dunia terasa gelap. Tubuhku lunglai. Tulang kakiku tak sanggup lagi
menopang tubuhku. Aku terjatuh di pelukan Rahadian….
***
Mbak Ning kini hanya tinggal nama. Namun
keharumannya terpatri di hatiku. Aku bersumpah tak akan melacur lagi. Walau
Mbak Ning sudah pergi, aku akan tepati janjiku.
Setelah pemakaman Mbak Ning, kondisi ibu turun drastis. Ibu tak mau makan.
Dalam tidurnya dia selalu menyebut nama Mbak Ning. Tak pernah sedetik pun
kutinggalkan ibuku. Aku menjaganya siang malam.
Rahadian, entah kenapa, jadi sering menemaniku di rumah sakit. Dia
terkadang membantu mencucikan baju kotorku dan baju milik ibu.
Suatu malam, ibu memanggilku. Aku duduk di samping tempat tidurnya.
”Nak, kembalilah bekerja. Biarlah Ibu dijaga suster. Ibu tak mau melihatmu
pucat pasi begini. Ayolah, kau lanjutkan hidupmu.”
”Tidak, Bu. Aku akan tetap di sini menemani Ibu sampai sembuh.”
”Jangan hancurkan masa depanmu, Nak. Bagaimana kalau kau dipecat dari
kantor gara-gara sering alpa? Tinggalkanlah Ibu, kau butuh istirahat juga.”
Aku mengangguk. Ibu begitu baik. Dengan berat,
kuturuti permintaan ibu.
Hari itu, untuk pertama kali setelah sekian lama, kujenguk rumahku. Aneh
rasanya tidur tanpa Mbak Ning dan ibu.
Paginya, aku bergegas ke rumah sakit. Aku ingin memastikan ibu baik-baik
saja. Sejak semalam perasaanku tak enak. Selalu kepikiran ibu. Ketika sampai di
kamar ibu, kulihat ada police line. Begitu banyak orang berkumpul. Bergegas
kudekati kerumunan itu.
Ternyata firasatku menjadi kenyataan. Ibu yang kukasihi bunuh diri dengan
selendang biru. Selendang laknat itu diikat ibu ke besi di atas tempat
tidurnya. Mata ibu melotot dengan lidah terjulur kaku.
Dengan perasaan hancur, kuusap air yang menganak sungai di mataku. Hatiku
sakit sesakit neraka.
Kuambil selendang biru yang dipegang polisi itu. Kucaci maki suster,
dokter, dan semua satpam rumah sakit yang tak bisa menjaga ibuku dengan baik.
Kupukul dan kutendangi tembok rumah sakit dan semua orang yang berkerumun di
sana. Berharap mereka bisa merasakan sakit yang kurasa.
Duniaku gelap dan suram. Air mataku kering sudah. Aku benar-benar ingin
menyusul mereka ke surga.
***
Berbulan-bulan sesudah kematian ibu, di rumah hanya ada aku. Kadang aku
tertawa sendiri. Menertawakan nasibku yang edan.
Kuingat lagi kenangan hidupku bersama ibu dan Mbak Ning. Dulu kami sangat
bahagia. Kurunut lagi di mana letak kesalahan itu. Bapak. Ambisinya akan
kehormatan, uang, dan wanitalah penyebab semua ini. Aku mengutuk bapak. Gara-gara bapak aku terjerumus ke lembah hitam. Andai
sekarang bapak datang padaku, memohon ampun sekalipun, aku tak sudi
memaafkannya. Harga kehilanganku pada ibu dan Mbak Ning terlalu mahal untuk
ditukar kata maaf.
Tadinya, aku berniat mengikat leherku dengan selendang atau kawat berduri.
Atau aku ingin dilindas traktor berisi beban jutaan kilo. Namun setiap kali
datang keinginan itu, suara Tuhan melintas.
Aku adalah pelacur. Namun di saat-saat kritis itu, toh aku masih mengingat
nama-Nya. Dalam sedih, aku berdialog dengannya. Kadang, aku menangis
menceritakan nasibku pada-Nya. Aku memang pelacur tak
tahu malu, karena masih mengingat Tuhanku.
Dalam saat terberatku, Rahadian rajin merawatku. Dia menjadi dekat
denganku. Hampir setiap hari, dia jambangi rumahku. Mengajakku ngobrol,
menyiapkan makanan untukku, menyiapkan air panas untuk mandiku. Sampai
akhirnya, kuserahkan diriku bulat-bulat padanya dengan kerelaan. Berbeda dengan
saat aku menjadi pelacur. Kepadanya, kuberikan kehangatan dan cinta, sesuatu
yang sebelumnya belum pernah kuberikan pada lelaki mana pun di dunia ini.
Karena aku sudah sebatang kara, saat dia melamar, kuterima pinangannya.
Kami pun menikah secara sederhana.
***
Setahun setelah pernikahan itu, anakku lahir. Kami menyambutnya dengan
sukacita. Ibu Rahadian dari Kalimantan datang. Melihat cucu pertamanya,
kebahagiaan terpancar jelas dari sinar matanya.
Bayiku yang lucu digendongnya. Lalu dari tas yang dibawanya dari
Kalimantan, dia mengeluarkan selendang biru. Coraknya sama dengan corak
selendang biru yang dipakai ibu gantung diri! Sama persis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar