Benarkah ada Bulan ke-13?
Sungguh luar biasa. Menyentak dan mengejutkan membaca berita utama (headline) harian Flores Pos Rabu
(8/7) berjudul “Sidang Paripurna Tolak Gaji ke-13. Berita ini tergolong “berita gembira” karena
menjadi titik tolak penamaan untuk satu bulan baru, bulan ke-13 yang sudah
sangat akrab untuk di telinga para pekerja negara. Bulan ke-13 belum ‘dibaptis’ belum bernama
karena belum terdaftar dalam sistem penanggalan yang ada. Aneh kedengarannya
karena semua terhipnotis, mulai dari pekerja negara terbawah hingga pekerja negara teratas tidak pernah secara
kritis, logis, rasional sekadar mempersoalkan apa nama bulan ke-13 itu. Tidak
perlu nama yang penting efek efek perut atau efek ekonomis penciptaan istilah
bulan ke-13 itu.
Korupsi Bermodus Baru
Mereka-mereka
yang mengakui dan menciptakan bulan ke-13, bukan karena penyakit lupa, bukan
karena ketumpulan nalar, bukan karena tidak bersekolah dan berpengatahuan.
Semuanya mengetahui bahkan semuanya mengajarkan anak-anak tentang jumlah dan
nama bulan dalam setahun. Jumlah bulan
dalam penanggalan hingga saat ini hanya ada 12 dengan namanya masing-masing.
Kalau mempertimbangkan tujuan penciptaan nama bulan ke-13 untuk mendapatkan
uang tambahan tentu itu menjadi bentuk korupsi yang baru dan paling legal. Korupsi ini tergolong bermodus baru dan
ilegal karena diakui dan diakomodasi dalam program kerja badan anggaran
(Banggar). Jika DPRD NTT tidak menolak adanya gaji bulan ke-13 untuk DPRD NTT
maka bisa saja triliunan rupiah harus digelontorkan tanpa alasan kepada para
DPRD seluruh Indonesia. Bulan ke-13
tanpa ada harinya, tanpa ada kerjanya, tetapi selalu ada uangnya. Irasional,
menyesatkan, merusak sistem penanggalan.
Sebelum
penggagas, pendukung, dan pemuja bulan ke-13 mendapatkan nama yang tepat untuk
menamainya, kami tawarkan nama yang pas untuk perilaku dan mental seperti itu
dalam kata “Korupsi”. Bulan ke-13 namanya “Bulan Korupsi” karena orang
mendapatkan uang dari waktu fiktif. Tidak ada bedanya, kuitansi fiktif, surat
jalan fiktif, ijazah fiktif, perguruan tinggi fiktif, laporan fiktif tetapi
bukan cerita fiktif. Cerita fiktif itu penting dipertahankan dan bahkan
diciptakan karena berpeluang menghaluskan perilaku sedangkan hal-hal fiktif lainnya adalah
bentuk korupsi baru sebagai gambaran rendahnya martabat dan karakter seseorang.
Tidak ada argumentasi yang meyakinkan apalagi
logis, dan rasional untuk membenarkan penyebutan nama bulan ke-13 hanya
sekadar menghabiskan uang yang
sebenarnya bisa dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Istilah bulan
ke-13 dan uang bulan ke-13 bukan sekadar belum “tepat saatnya” seperti di
katakan juru bicara partai Gerindra, Kasintus P.Ebu Tho (Flores Pos, 8/6/2015 hlm.19) tetapi memang tidak ada dan tidak
perlu diadakan mengingat setahun hanya ada 12 bulan.
Penamaan
seperti itu hanya menjadi gambaran kekacauan, kegamangan, kerancuan berbahasa
sekaligus perendahan martabat bahasa karena dimanipulasi. Melegalkan perilaku
korup dengan berlindung di balik pelahiran istilah dan wacana. Langkah DPRD NTT
ini perlu apresiasi dan harus dipandang sebagai imperasi bahkan menjadi
tekanan moral bagi aparatur sipil negara
yang selalu merindukan gaji atau tambahan pendapatan dengan berdalih merekayasa
adanya bulan ke-13. Kalau saja semangat korupsinya masih kuat, sebaiknya
tambahkan saja angka “siluman” itu pada
angka gaji bulanan yang ada dalam penanggalan (Januari-Desember). Ini penting
agar generasi muda, pelajar, dan dunia luar tidak dibingungkan dengan istilah
bulan ke-13. Kalau para pekerja negara tetap berjuang ada gaji ke-13 karena ada
bulan ke-13 maka itu sama artinya negara mengajarkan dan mendidik warganya
untuk hidup di alam khayali dalam rekayasa bahasa tetapi mengacaukan pemahaman
yang logis rasional. Ini tanda kemunduran dari gerakan dan semangat antikorupsi
atau bahasa kasarnya “Bulan Korupsi” yang legal.
Mitos dan Paradoks Angka 13
Berbagai
penelitian tentang alasan seseorang merasa takut berhasil mengindetifikasi sepuluh jenis rasa takut pada manusia antara
lain takut berada di tempat tinggi, gelap, badai, jarum suntik, berbicara, dll.
Dari sepuluh jenis fobia itu ada yang disebut ketakutan pada angka 13. Banyak narasi berupa mitos perihal fobia
angka 13 ini untuk menjelaskan alasan
angka ini diklaim pembawa kekurangberuntungan. Salah satu spekulasi menjelaskan
bahwa kepecayaan pada
tahayul dan aneka mitos yang ada berasal dari pengetahuan kuno yang disebut
tradisi Kabbalah. Kabalah adalah suatu ajaran mistis kuno, yang telah
dirapalkan (diucapkan atau dibaca sebagai mantra) oleh Dewan Penyihir tertinggi
rezim Fir’aun yang kemudian diteruskan oleh kelompok penyihir, pesulap,
peramal, paranormal, dan terutama kaum Zionis-Yahudi yang kemudian
menjadikannya sebagai satu gerakan
politis. Bangsa Yahudi tergolong paling setia memelihara Kabbalah. Tidak
mengherankan kalau di Marseilles, Perancis Selatan, bangsa Yahudi membukukan
ajaran Kabbalah yang sebelumnya hanya diwariskan secara lisan.
Kaum
Yahudi juga dikenal sebagai penganut Geometrian karena gemar mengutak-atik
angka-angka (numerologi). Bagi mereka, angka 13 merupakan salah satu angka suci
yang mengandung berbagai daya magis dan sisi religius. Dalam berbagai simbol
terkait Kabbalisme, mereka selalu menyusupkan unsur angka 13 ke dalamnya. Nama-nama orang tidak boleh terdiri atas 13 aksara karena tercatat nama
seperti Jack the Rippe, Charles Manson,
Theodore Bundy, dan Albert De Salvo
menjadi pembunuh paling sadis karena nama mereka memuat 13 aksara. Fakta
lain yang menggambarkan kuatnya pengaruh trikaidekaphobia
atau mitos kemalangan di balik angka 13 ini tampaknya kuat memformat perilaku
manusia dari berbagai latar budaya dan tingkatan peradapan. Ketakutan akan
pengaruh angka 13 ini dialami baik oleh orang sederhana maupun oleh orang
hebat, tokoh dunia yang luar biasa. Napoleon Bonaparte, Paul J. Getty, dan
Franklin Delano Roosevelt tercatat sebagai tokoh dunia yang juga sangat percaya
akan malapetaka angka 13 ini sehingga mereka selalu menghindari acara makan
malam yang dihadiri 13 orang.
Wacana
berujud keyakinan, mitos, dan legenda, ada pada setiap budaya dan masyarakat
sehingga tidak terhitung jumlahnya. Dalam pandangan kelompok pengagum rasio
(rasionalis), wacana-wacana seperti itu dengan sendirinya menipis dan
menghilang sejalan sengan menipis dan matinya generasi tua pendukungnya dan diyakini
tidak akan bertahan dalam gempuran modernisasi yang merambah seluruh sisi
kehidupan manusia. Spekulasi selogis ini tampaknya tidak selalu sinkron dengan
praktik kehidupan. Terbukti, dalam tatanan masyarakat modern,
kepercayaan-kepercayaan dan aneka wacana yang mengarah pada tahayul ini
bertahan, bahkan berkembang dan diabadikan pada hal-hal yang sifatnya
monumental dan bertebaran pada ranah publik. Pada tataran publik trikaidekaphobia tampak dalam penomoran
untuk sarana-sarana dan fasilitas publik. Urutan lantai, kamar pada hotel,
rumah, jalan, kursi yang digunakan publik pantang menggunakan angka 13.
Angka 13
selalu dikaitkan dengan hal negatif seperti bahaya, ancaman, maut,
bencana, malapetaka, risiko, sial, sehingga harus sealu dihindari. Dalam
berbagai tradisi dan budaya, termasuk masyarakat modern sekalipun, kepercayaan
akan kekuatan pengaruh angka 13 tetap
ada. Seorang psikoterapi, Donald Dossey, melalui penelitiannya tentang rasa
takut (phobia) yang dialami
masyarakat Amerika menunjukkan lebih dari 21 juta warga Amerika didera penyakit paraskevidekatriaphobia atau friggatriskaidekaphobia (perasaan takut
pada hari Jumat tanggal 13). Penelitian Dossey ini diperkuat lagi melalui
laporan Paul Hoffman yang dipublikasikan secara luas melalui Smithsonian Magazine (1987). Dilaporkan
bahwa orang-orang yang memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap angka 13 (triskaidekaphobia dari kata Yunani, tris=3, kai=dan, deka=10, phobia=takut) melahirkan kekacauan
sistem kerja yang berdampak ekonomis. Hoffman mencatat bahwa fobia terhadap
angka 13 ini telah menghabiskan biaya satu miliar dollar AS pertahun karena
setiap tanggal 13 dalam bulan banyak orang mangkir dari pekerjaan mereka
termasuk membatalkan keberangkatan dengan jasa kereta api dan pesawat terbang.
Mirip dengan apa yang dilaporkan Hoffman, “The
Stress Management Center and Phobia
Institute” di Asheville, Amerika Serikat mencacat bahwa setiap hari jumat
tanggal 13 perekonomian Amerika mengalami kerugian 800 hingga 900 juta dollar.
Rentetan
deskripsi dan narasi tentang mitos angka 13 ini pada intinya mau menegaskan
bahwa angka itu tetap diyakini berkekuatan destruktif, merusak, menghancurkan,
dan mematikan. Fobia 13 yang tetap mendera rasa sebagian besar manusia di dunia
(konteks general) justru dihadapkan dengan pelahiran dan pemaksaan melahirkan
bulan ke-13 dalam konteks Indonesia (konteks partikular). Hampir semua bangsa
baik yang tergolong masih terkebelakang maupun yang sudah terkemuka; termundur
maupun termaju tetap yakin angka 13 itu menjadi angka yang harus dihindari.
Bangsa Indonesia tanpa takut dan gentar melawan rasa dunia dengan mewacanakan
bulan ke-13 untuk gaji ke-13. Di Indonesia angka 13 diciptakan, didambakan
karena ada angka nominalnya. Di Indonesia angka ini tergolong nomor dan angka
cantik dan bernilai ekonomis meskipun ilogis Celakanya, wacana ini dipaksa
lahir dan hadir di dunia tanpa pijakan pada realitas. Realitasnya hanya ada dan
diakui 12 bulan untuk setahun. Lantas, apa nama bulan ke-13 dan sebutan untuk gaji bulan anonim itu? Ya itulah Korupsi,
dengan efek yang sama menakutkan karena merusak dan menghancurkan. Masih nekad
menggunakan angka 13 atau mendukung DPRD NTT yang menolaknya? Tentu, perlu
berpikir logis dan rasional untuk menerima kenyataan hanya ada 12 bulan setahun.
Bulan ke-13 itu sebuah paradoks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar