Macan Lapar
Ketika saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California
bahwa ia akan datang ke Solo untuk mencari Putri Solo yang gaya berjalannya
seperti Macan Lapar, saya terbahak. Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia
tidak menemukan seorang Putri Solo yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa:
Macan Luwe, berarti saya menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.
Sebaliknya saya mengancam, jika ia main-main saja dengan Putri Solo,
misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya akan melaporkannya ke Presiden Obama.
Ternyata John berani bersumpah bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang
Macan Lapar itu dan memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji
John, merupakan masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya
menyambutnya dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya
akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.
John adalah seorang arkeolog. Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia
melancong ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu
ia masih berusia 23 tahun, sedang giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan
sebanyak-banyaknya. Candi Borobudur sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh,
Panataran, semuanya, sudah pindah ke benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi
profesor di usia 25, ia sadar bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang
jomblo. Ia merasa sangat kesepian. John sebenarnya sudah menjalin hubungan
dengan sejumlah mahasiswinya. Tapi semuanya menolak untuk dinikahi, yang
membuat John uring-uringan.
Menurut John, masa bahagia adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di
rumah saya di bilangan Notosuman, bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang
termasyhur itu. Bagaimana ia tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan
gampang. Tidak seperti di Amerika yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di
Solo jika lapar bisa langsung makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila
pakaian kotor tinggal dilemparkan. Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah,
maupun piknik, cukup dengan naik sepeda.
Di universitasnya, UCLA, John berkenalan dengan Eko, seorang penari dari
Solo yang sedang melakukan tur ke 30 universitas Amerika untuk menari. Eko
menyarankan supaya John menikah dengan gadis Solo saja. Di samping gemi,
nastiti, ngati-ati
(irit, terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan
lapar yang bisa membekukan waktu.
Tetapi, menurut Fafa Dyah Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma
sejarawan yang mbaurekso
(mengayomi) kota Solo, putri Solo yang gaya berjalannya persis macan lapar itu
sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya, putri Solo
yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang, yaitu di
tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo jangan bikin
John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada.
Di bandara Adi Sumarmo, Solo, saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug,
menjemput John yang datang lewat Bali. Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan
nasi goreng ikan asin kesukaan John. Ia tinggal di rumah penginapan penduduk yang
banyak bertebaran di kampung-kampung. Serta-merta ia diminta mengajar di ISI
(Institut Seni Indonesia) untuk mata pelajaran arkeologi budaya.
Menurut Fafa, gaya berjalan Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu
pada pinggul dan pundak. Jika melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul
kanan berkelok muncul keluar dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke
depan. Begitu bergantian, pinggul kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan.
Irama ini dalam paduan langkah yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya
diadopsi oleh para art director
fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh
para peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk.
Megal-megol-nya
para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal itu
tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi, mereka ternyata berjalan
biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan. Artinya, megal-megol mereka di
atas cat-walk
belum merupakan kekayaan budaya fashion
show. Padahal macan laparnya putri Solo itu tulen, alamiah, menyatu
dengan tubuh yang hidup dalam budaya tradisinya. Meski cuma berjalan di dalam
rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan lapar. Sehingga Putri
Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous.
Pada suatu hari di siang yang panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di
Masjid Gede, lalu bergabung dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk
menikmati tengkleng, semacam sop tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di
gerbang Pasar Klewer, tiba-tiba menghambur John di sela kerumunan orang yang
antre tengkleng, sambil berkata mantap:
”Saya sudah dapat si Macan Lapar.”
”Alhamdulillah,” sahut saya.
Lepas ashar di gerbang Keraton Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John,
Fafa, mas Rahayu Supanggah (komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra
(komponis), Slamet Gundono (dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan
pak Jokowi (wali kota Solo) sedang berharap-harap cemas sambil mencereng
menatap jalanan. Kami semua diundang John untuk menerima kejutan.
Mendadak muncul seorang gadis yang berpakaian lengkap mengesankan seorang
penari. Kami terperangah melihat gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul
kanan mencuat ke samping, pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri
mencuat ke depan. Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan.
Langkah yang pelan, yang pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya
ini—sekali lagi–tulen. Gadis itu melenggang ke pintu masuk keraton ketika
tiba-tiba John meloncat mengejarnya. Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik
serta pak Jokowi ikut berlari mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak.
Gundono berteriak dan tertawa, ”Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya
keras-keras membangun ketegangan.
Ketika John mencapai teras keraton, kami melihat pemandangan yang
mengerikan: John jadi Cleret Gombel! Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi
sebangsa bunglon yang bisa terbang itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak
ketakutan lalu meloncat ke dalam ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan
meringkus John si Cleret Gombel. Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel menggeram sambil memperlihatkan
taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu dengan kuat meringkus John hingga
roboh. John terus meronta menggeram-geram sambil unjuk taringnya yang putih
berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas Modrik, ramai-ramai John kami
serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru spiritual yang khusus menangani
keseimbangan pikiran dan perasaan, dari komunitas kebatinan Sumarah. Kami sepakat
membantu John untuk melamar penari Macan Lapar itu yang kemudian ketahuan
namanya Intan Paramaditha.
Belakangan pak Jokowi melakukan rapat maraton dengan para budayawan Solo
untuk membahas tentang rencananya melakukan revitalisasi gaya melenggok ala
Macan Lapar ini. Kota Solo diyakini menjadi satu-satunya kota di dunia yang
punya gaya berjalan putri-putrinya yang elegan itu. *****
Kota Tangerang Selatan, 10 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar