Jika hendak tamasya, kami akan pergi ke batas tidur, tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun seringan kapas. Benda-benda, gedung, gunung, laut, pohon, dan ternak terangkat, namun tetap terpegang erat di tempatnya. Kicau burung, suara serangga, dan desau angin, jernih dan jelas sumbernya. Bisikan-bisikan menjadi percakapan nan merdu.
Sebelum berangkat kami akan berkumpul di lembah Astungkara, di hamparan yang kami sebut campuhan, terbentuk oleh pertemuan dua sungai: Tukad Telagawaja dan Tukad Tugtugan. Orang-orang memercayai, campuhan adalah lembah suci, tempat mencari keheningan dan pelepasan. Seorang guru akan membimbing kami, menyodorkan ajakan dan kepastian, ke wilayah mana kami akan tamasya.
Tak seorang pun tahu asal Sang Guru. Kami mengenalnya begitu kami mulai berkumpul di lembah Astungkara, kemudian memanggilnya Guru Tung, yang sehari-hari sibuk mengurus kebun, beristirahat di gubuk beratap alang-alang, dengan tiang-tiang dan sekat bilik dari kayu. Orang-orang kemudian menyebut tempat itu sebagai pedukuhan Astungkara.
Jika hendak tamasya, di pedukuhan itu kami berbaring terlentang menatap angkasa, memusatkan lamunan pada bintang-bintang dengan rentang sekian juta tahun cahaya. Beberapa tergolek nyaman di bawah pohon wani, jambu, mangga, atau durian. Yang lain terbaring begitu saja di atas rumput sehingga sekujur tubuh berselimut embun. Ada yang nyaman telentang dalam bilik atau di emperan pondok yang menghadap ke sungai. Jika sudah siap, Guru Tung memberi aba-aba dengan helaan napas supaya kami bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi, agar bersua dengan kosong sejati.
Dalam kosong kami bisa mendengar detik-detik terakhir kami di bumi, saat berada persis pada batas gelap dan terang, pada sekat tipis wilayah gemuruh dan sunyi. Batas-batas itu oleh Guru Tung diajarkan kepada kami sebagai peralihan antara terjaga dan tidur. ”Semua orang bisa memilih saat hendak istirahat tidur. Tapi, tak seorang tahu detik ketika ia tertidur,” ujar Guru. ”Siapa pun yang bisa meraih detik ketika tertidur, ia akan tetap terjaga, rohnya melayang bisa melihat raga sendiri. Niscaya ia bisa memilih saat melepas roh dari raga untuk mati.”
Kami pun dibimbing untuk menguasai aji batas tidur, ilmu sederhana tapi bukan main sulit mendapatkannya. Kami diminta memejamkan mata, mengintip dengan perasaan dan khayalan, saat-saat menjelang tidur, sehingga bisa menyadari detik terakhir terjaga. Tapi, yang sering terjadi justru kami terlelap tanpa tahu jam dan detik berapa kami tertidur.
Kendati kami belum menguasai ilmu batas tidur, Guru Tung selalu dengan senang hati membantu kami melepas roh dari raga, sehingga kami bisa tamasya melayang-layang seringan kapas. Raga yang kami tinggalkan di bawah pohon, dalam bilik, di hamparan rumput, tak boleh dipindahkan dari kedudukannya. Jika digeser, roh tak bisa kembali memasuki raga, matilah orang itu. Biasanya kami meminta bantuan satu atau beberapa orang untuk tidak ikut tamasya, bertugas menjaga ketetapan posisi jasad kami, karena siapa tahu tiba-tiba ada yang berkunjung, bingung melihat kami terserak ketiduran, lalu menggoyang-goyang dan menggeser raga kami untuk membangunkan.
Guru Tung bercita-cita menciptakan rumus aji batas tidur agar mudah dikuasai dan dihayati kapan pun oleh siapa saja. Seperti rumus Phytagoras yang memudahkan orang membuat sudut sembilan puluh derajat setelah membuat kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi siku-siku. Menurut Guru Tung, karena kematian adalah kepastian, ia bisa dijabarkan dengan matematika.
Jika banyak orang menguasai aji batas tidur, orang sakit parah tak tersembuhkan tak perlu sengsara karena bisa memilih hari kematian yang diinginkan tinimbang minum obat mahal tak kunjung menyembuhkan dan terus memiskinkan. Tak akan ada orang digencet sakit hati dan putus asa tewas gantung diri atau menenggak racun, karena ia akan memilih mati teduh lewat batas tidur. Kematian bukan lagi maut yang seram menakutkan dan merepotkan, namun sebuah pilihan yang kapan pun bisa diselesaikan sesuai keinginan, bisa dihitung seperti bilangan.
Pedukuhan Astungkara pun jadi terkenal, dikunjungi banyak orang dari berbagai benua dan pelosok negeri, datang belajar untuk mati dengan pertolongan ilmu batas tidur. Bule-bule banyak di sini, membuat iri para pemilik wisata spiritual di hotel dan vila dengan menu tapa-yoga-semadi, karena ditinggalkan peminat. Tapi, sedikit orang asing yang bisa ikut tamasya dengan bimbingan Guru Tung karena sebagai pelancong, waktu mereka sempit, tergesa-gesa, tak pernah sanggup bersujud pada sepi, gagal memohon pada sunyi dan hening, untuk masuk ke dalam kosong. Di antara kami yang berhasil adalah Dingkling, seorang terpidana mati yang divonis tujuh tahun lalu. Karena berkelakuan sangat baik, ia sering diizinkan bermalam di pedukuhan Astungkara, dibimbing Guru Tung ikut tamasya bersama ke batas tidur.
Tadi malam Dingkling datang ke pedukuhan, dan akan menjadi malamnya yang terakhir karena dini hari ia akan berhadapan dengan regu tembak. Ketika ditanya permintaan terakhir sebelum dieksekusi, dengan gembira ia menjawab, ”Izinkan saya mampir ke pedukuhan Astungkar, untuk mendapat doa restu Guru Tung dan murid-muridnya.”
Kami merayakan perpisahan itu dengan tamasya bersama ke batas tidur. Dingkling memilih berbaring menatap angkasa raya di bawah pohon leci, di antara rentang akar-akar yang menyembul ke atas tanah. Dua sipir siaga menjaganya penuh awas. Kami yang menemani Dingkling tamasya segera masuk ke dalam kosong. Tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun seringan kapas, benda-benda terangkat mengambang.
Menjelang dini hari, dua sipir itu membangunkan Dingkling, menggoyang-goyang tubuhnya. Ketika Dingkling tak juga bergerak, sipir itu panik. ”Kita angkat ke dalam, ayo!” teriak sipir yang kurus, setengah menyeret tubuh diam itu.
Kami terjaga, secepatnya kembali dari tamasya. Bergegas kami bangkit dari tempat masing-masing di atas rumput dan bawah pohon, menghambur ke dalam bilik. Guru menatap tubuh Dingkling yang lunglai di ubin. Kami saling pandang karena tahu Dingkling tak bakal kembali. Ia meninggal dalam tamasya batas tidur karena sipir memindahkan raganya dari bawah pohon leci ke dalam bilik. ”Ikhlaskan, mari kita berdoa, Dingkling sudah pergi dengan damai,” ujar Guru. Dua orang sipir itu ternganga, tak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada komandan karena kelalaian mereka membuat regu tembak yang sudah siaga urung bertugas.
Berita terpidana hukuman mati tewas di pedukuhan Astungkara beberapa jam menjelang eksekusi menjadi berita besar, disiarkan televisi berulang-ulang, merambat cepat lewat pesan singkat telepon seluler. Menjelang petang, gerombolan orang riuh di depan pedukuhan. Beberapa orang mengacungkan kelewang, selebihnya menggenggam batu yang diambil dari sungai, siap dilempar ke pondok. Ada yang mengacung-acungkan obor. ”Bakarrrrr…! Bunuhhhhh…!” jerit mereka galak berulang-ulang.
Kami gemetar, namun pasrah dan mencoba tenang. Sudah sejak lama berembus kabar, penghuni pedukuhan Astungkara tengah menekuni ajaran sesat. Orang-orang sangat meyakini itu karena yang datang
Jika hendak tamasya, kami akan pergi
ke batas tidur, tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun seringan kapas.
Benda-benda, gedung, gunung, laut, pohon, dan ternak terangkat, namun tetap
terpegang erat di tempatnya. Kicau burung, suara serangga, dan desau angin,
jernih dan jelas sumbernya. Bisikan-bisikan menjadi percakapan nan merdu.
Sebelum berangkat kami akan
berkumpul di lembah Astungkara, di hamparan yang kami sebut campuhan, terbentuk
oleh pertemuan dua sungai: Tukad Telagawaja dan Tukad Tugtugan. Orang-orang
memercayai, campuhan adalah lembah suci, tempat mencari keheningan dan
pelepasan. Seorang guru akan membimbing kami, menyodorkan ajakan dan kepastian,
ke wilayah mana kami akan tamasya.
Tak seorang
pun tahu asal Sang Guru. Kami mengenalnya begitu kami mulai berkumpul di lembah
Astungkara, kemudian memanggilnya Guru Tung, yang sehari-hari sibuk mengurus
kebun, beristirahat di gubuk beratap alang-alang, dengan tiang-tiang dan sekat
bilik dari kayu. Orang-orang kemudian menyebut tempat itu sebagai pedukuhan
Astungkara.
Jika hendak
tamasya, di pedukuhan itu kami berbaring terlentang menatap angkasa, memusatkan
lamunan pada bintang-bintang dengan rentang sekian juta tahun cahaya. Beberapa
tergolek nyaman di bawah pohon wani, jambu, mangga, atau durian. Yang lain
terbaring begitu saja di atas rumput sehingga sekujur tubuh berselimut embun.
Ada yang nyaman telentang dalam bilik atau di emperan pondok yang menghadap ke
sungai. Jika sudah siap, Guru Tung memberi aba-aba dengan helaan napas supaya
kami bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi, agar bersua dengan
kosong sejati.
Dalam
kosong kami bisa mendengar detik-detik terakhir kami di bumi, saat berada
persis pada batas gelap dan terang, pada sekat tipis wilayah gemuruh dan sunyi.
Batas-batas itu oleh Guru Tung diajarkan kepada kami sebagai peralihan antara
terjaga dan tidur. ”Semua orang bisa memilih saat hendak istirahat tidur. Tapi,
tak seorang tahu detik ketika ia tertidur,” ujar Guru. ”Siapa pun yang bisa
meraih detik ketika tertidur, ia akan tetap terjaga, rohnya melayang bisa
melihat raga sendiri. Niscaya ia bisa memilih saat melepas roh dari raga untuk
mati.”
Kami pun
dibimbing untuk menguasai aji batas tidur, ilmu sederhana tapi bukan main sulit
mendapatkannya. Kami diminta memejamkan mata, mengintip dengan perasaan dan khayalan,
saat-saat menjelang tidur, sehingga bisa menyadari detik terakhir terjaga.
Tapi, yang sering terjadi justru kami terlelap tanpa tahu jam dan detik berapa
kami tertidur.
Kendati
kami belum menguasai ilmu batas tidur, Guru Tung selalu dengan senang hati
membantu kami melepas roh dari raga, sehingga kami bisa tamasya melayang-layang
seringan kapas. Raga yang kami tinggalkan di bawah pohon, dalam bilik, di
hamparan rumput, tak boleh dipindahkan dari kedudukannya. Jika digeser,
roh tak bisa kembali memasuki raga, matilah orang itu. Biasanya kami meminta
bantuan satu atau beberapa orang untuk tidak ikut tamasya, bertugas menjaga
ketetapan posisi jasad kami, karena siapa tahu tiba-tiba ada yang berkunjung,
bingung melihat kami terserak ketiduran, lalu menggoyang-goyang dan menggeser
raga kami untuk membangunkan.
Guru Tung bercita-cita menciptakan
rumus aji batas tidur agar mudah dikuasai dan dihayati kapan pun oleh siapa
saja. Seperti rumus Phytagoras yang memudahkan orang membuat sudut sembilan
puluh derajat setelah membuat kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat
sisi siku-siku. Menurut Guru Tung, karena kematian adalah kepastian, ia bisa
dijabarkan dengan matematika.
Jika banyak orang menguasai aji
batas tidur, orang sakit parah tak tersembuhkan tak perlu sengsara karena bisa
memilih hari kematian yang diinginkan tinimbang minum obat mahal tak
kunjung menyembuhkan dan terus memiskinkan. Tak akan ada orang digencet sakit
hati dan putus asa tewas gantung diri atau menenggak racun, karena ia akan
memilih mati teduh lewat batas tidur. Kematian bukan lagi maut yang seram
menakutkan dan merepotkan, namun sebuah pilihan yang kapan pun bisa
diselesaikan sesuai keinginan, bisa dihitung seperti bilangan.
Pedukuhan Astungkara pun jadi
terkenal, dikunjungi banyak orang dari berbagai benua dan pelosok negeri,
datang belajar untuk mati dengan pertolongan ilmu batas tidur. Bule-bule banyak
di sini, membuat iri para pemilik wisata spiritual di hotel dan vila dengan
menu tapa-yoga-semadi, karena ditinggalkan peminat. Tapi, sedikit orang asing
yang bisa ikut tamasya dengan bimbingan Guru Tung karena sebagai pelancong,
waktu mereka sempit, tergesa-gesa, tak pernah sanggup bersujud pada sepi, gagal
memohon pada sunyi dan hening, untuk masuk ke dalam kosong. Di antara kami yang
berhasil adalah Dingkling, seorang terpidana mati yang divonis tujuh tahun
lalu. Karena berkelakuan sangat baik, ia sering diizinkan bermalam di pedukuhan
Astungkara, dibimbing Guru Tung ikut tamasya bersama ke batas tidur.
Tadi malam Dingkling datang ke
pedukuhan, dan akan menjadi malamnya yang terakhir karena dini hari ia akan
berhadapan dengan regu tembak. Ketika ditanya permintaan terakhir sebelum
dieksekusi, dengan gembira ia menjawab, ”Izinkan saya mampir ke pedukuhan
Astungkar, untuk mendapat doa restu Guru Tung dan murid-muridnya.”
Kami merayakan perpisahan itu
dengan tamasya bersama ke batas tidur. Dingkling memilih berbaring menatap
angkasa raya di bawah pohon leci, di antara rentang akar-akar yang menyembul ke
atas tanah. Dua sipir siaga menjaganya penuh awas. Kami yang menemani Dingkling
tamasya segera masuk ke dalam kosong. Tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun
seringan kapas, benda-benda terangkat mengambang.
Menjelang dini hari, dua sipir itu
membangunkan Dingkling, menggoyang-goyang tubuhnya. Ketika Dingkling tak juga
bergerak, sipir itu panik. ”Kita angkat ke dalam, ayo!” teriak sipir yang
kurus, setengah menyeret tubuh diam itu.
Kami terjaga, secepatnya kembali
dari tamasya. Bergegas kami bangkit dari tempat masing-masing di atas rumput
dan bawah pohon, menghambur ke dalam bilik. Guru menatap tubuh Dingkling yang
lunglai di ubin. Kami saling pandang karena tahu Dingkling tak bakal kembali.
Ia meninggal dalam tamasya batas tidur karena sipir memindahkan raganya dari
bawah pohon leci ke dalam bilik. ”Ikhlaskan, mari kita berdoa, Dingkling sudah
pergi dengan damai,” ujar Guru. Dua orang sipir itu ternganga, tak tahu
bagaimana harus menjelaskan kepada komandan karena kelalaian mereka membuat
regu tembak yang sudah siaga urung bertugas.
Berita terpidana hukuman mati
tewas di pedukuhan Astungkara beberapa jam menjelang eksekusi menjadi berita
besar, disiarkan televisi berulang-ulang, merambat cepat lewat pesan singkat
telepon seluler. Menjelang petang, gerombolan orang riuh di depan pedukuhan.
Beberapa orang mengacungkan kelewang, selebihnya menggenggam batu yang diambil
dari sungai, siap dilempar ke pondok. Ada yang mengacung-acungkan obor.
”Bakarrrrr…! Bunuhhhhh…!” jerit mereka galak berulang-ulang.
Kami gemetar, namun pasrah dan
mencoba tenang. Sudah sejak lama berembus kabar, penghuni pedukuhan Astungkara
tengah menekuni ajaran sesat. Orang-orang sangat meyakini itu karena yang
datang ke tempat kami adalah kaum terbuang, manusia-manusia yang dikucilkan
karena depresi menderita sakit tak tersembuhkan. Banyak yang dikenal sebagai
pemadat, mantan preman, pemakai narkoba yang kemudian mengidap AIDS, sengsara
menunggu ajal. Sekarang, para penuduh itu punya kesempatan melampiaskan amarah,
berdesak-desak hiruk-pikuk sampai di tepi sungai, berteriak-teriak kasar
menantang dan mengumbar bermacam tuduhan. Empat pemimpin mereka berdiri di
pintu pagar pepohonan. Kami masuk bilik menemui guru yang duduk bersila di
lantai.
”Biarkan mereka masuk, sekarang
saat menunjukkan siapa kita,” ujar Guru lembut, tenang, dan bersahaja.
Empat pemimpin itu memasuki
halaman, kami menyongsong mereka dengan memaksakan keberanian.
”Mana Pak Pektung?!” teriak
pemimpin yang mengenakan destar melecehkan nama Guru, dengan bibir sinis
menyeringai. Seingat kami, dia salah seorang tokoh yang punya vila dengan
wisata spiritual tapa-yoga-semadi.
”Katakan pada gurumu, jangan
memelihara iblis dan setan!” seru pemimpin yang bersarung.
”Dosa besar kalau gurumu
mengajarkan tentang semesta kepada kalian, namun tak menyebut-nyebut kebesaran
Tuhan,” ujar pemimpin yang mengenakan jas dan berdasi.
Pemimpin yang berkepala gundul
menghampiri kami sembari berujar dengan datar, ”Gurumu boleh-boleh saja jadi
pemimpin, tapi jangan menyesatkan umat.”
Tapi, pengikut empat pemimpin ini
sungguh sangar dan berlumur dengki. ”Bakarrrrr…! Bunuhhhhh…!” teriak mereka
sengit merangsek maju menerobos pagar tanaman. Nyala obor yang diacung-acungkan
kian terang karena petang akan sempurna, hari sebentar lagi malam. Kami masuk
ke pondok diikuti empat pemimpin itu. Di dalam, kami tercengang, guru tak ada
lagi. Kami hanya menemukan onggokan abu di tempat Guru tadi bersila.
Lelaki berdestar dan pemimpin
bersarung tertawa terbahak menyaksikan onggokan abu itu. Mungkin mereka menduga
itu abu sisa pemujaan. Mereka berdua maju dan menendang gundukan abu itu
berulang-ulang sembari terus terbahak. Lengking tawa bercampur gulungan debu
beterbangan memenuhi bilik. Abu terserak ke mana-mana.
Tiba-tiba cahaya terang benderang
menyilaukan menyergap, seperti usai gemuruh dentuman ledakan bom. Kami
terperangkap dalam kilatan dahsyat cahaya, tak sanggup melihat apa pun, harus
secepatnya memejamkan mata karena silau cahaya benderang itu akan merusak
kornea. Kami tahu yang seharusnya kami lakukan: segera telentang di lantai,
tangan bersedekap di dada, menghadap ke atap, mencoba masuk ke dalam kosong,
agar segera melayang masuk angkasa. Kami melihat Guru berdiri. ”Sekarang mereka
tahu siapa kita,” ujar Guru pelan.
Guru Tung pernah bercerita,
seseorang yang sempurna menguasai aji batas tidur, jika memilih saat untuk
mati, ia akan mengeluarkan energi panas membakar raga sendiri jadi abu. Setelah
itu, ia akan menjadi seberkas cahaya yang bisa menampakkan diri, sanggup
bercakap-cakap dengan siapa saja, kapan pun ia mau. Kami mengerti, Guru Tung
telah menjadi cahaya, moksa. Aji batas tidur adalah jalan pelepasan, menuju
pembebasan yang sempurna, hidup kekal abadi. Dan yang tidak paham ketika berhadapan
dengan peristiwa pelepasan akan terbakar, seperti empat pemimpin itu. Mereka
menjerit-jerit keluar halaman pedukuhan, menggelepar-gelepar menahan panas pada
mata, buta, karena kornea mereka binasa oleh sergapan kilatan benderang cahaya.
Telinga mereka mendenging, tuli. Kerongkongan tercekat oleh hawa panas, akan
membuat mereka gagap dan terbata-bata kalau bicara.
Setelah peristiwa petang itu, jika
hendak bertemu Guru Tung, kami akan telentang menatap angkasa, memusatkan
lamunan pada bintang-bintang jutaan tahun cahaya, bersujud pada sunyi, memohon
pada hening dan sepi, agar bisa bersua dengan kosong sejati. Kami akan terus di
campuhan ini, meresapi aji batas tidur, agar bisa memilih sendiri hari mati.
Denpasar, September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar