Kenangan Perkawinan
Hidup adalah hal yang paling memabukkan dibanding bir ini! Kukatakan itu
kepada istriku saat terakhir kali aku melihatnya. Kami bertengkar. Dan
lihatlah, ia mulai mengungkit kesalahan—kesalahanku pada masa lalu. Tak ada
yang lebih menjengkelkan seorang pria selain sifat perempuan yang satu ini.
Kurasa tak lama lagi kami akan bercerai. Pasti.
Aku pergi masih membawa botol bir yang isinya tinggal seperempat. Empat
bulan ini rasanya hidupku berada di neraka. Maksudku, selama tujuh tahun usia
perkawinan kami dan empat bulan ini adalah puncaknya. Itulah kebenarannya. Aku
memang pecundang. Atau mungkin benar kata ayahku bahwa aku adalah manusia
pembawa sial.
Pertama ibuku. Ia meninggal saat melahirkanku. Dokter membelah perutnya,
hal yang tak akan pernah dilakukan seorang dukun gila sekalipun jika bayi tak
mau keluar dari perut ibunya. Sejak saat itu ayah membenciku dan dokter.
Tatapan matanya seperti gagak yang lapar setiap memandangku. Dan, tentu kau
tahu bagaimana reaksi ayahku ketika aku mengutarakan cita-citaku untuk jadi
dokter? Ah, tidak sesadis itu, kau terlalu berlebihan kawan.
Begini, dengan lembut ia bilang bahwa aku memang ditakdirkan menjadi
seorang pembunuh sejak hari pertama dilahirkan dan sebelum cita-citaku menjadi
pembunuh ”profesional” itu terlaksana, ayahku berjanji akan membunuhku terlebih
dahulu.
Aku tak marah atas perlakuannya padaku. Sebagai seorang anak, aku tetap
mencintainya, bahkan saat ayahku mulai tak rasional dan berangsur-angsur
menjadi gila karena tahu dengan diam-diam aku masuk fakultas kedokteran,
alih-alih kuliah bisnis seperti permintaannya. Tapi, tunggu dulu, jangan
buru-buru menyalahkanku atas kegilaannya. Aku bukan dokter. Aku masuk jurusan
gizi di fakultas kedokteran. Aku ingin jadi ahli gizi, seperti kau lihat di
sekelilingmu, penyakit memalukan semacam busung lapar itu masih menganga di
negeri ini. Jadi, dalam kasus kegilaan ayahku ini aku tidak dapat dipersalahkan
begitu saja. Ini hanya masalah sepele, yah, hanya salah paham. Begitu saja.
Seperti tawuran yang sering terjadi di kampung-kampung saat ada dangdutan
hingga memakan korban jiwa. Sepele, kan? Tentu itu bukan salah penyanyi dangdut
yang goyangannya mampu menimbulkan gempa bumi dan merobohkan rumah tangga yang
konstruksinya memang rapuh. Seperti yang melanda perkawinan kami.
Awalnya kami bahagia. Aku mengenal istriku sebagai gadis yang menyenangkan.
Sungguh setiap kali aku melihat lesung pipitnya kala ia tersenyum, oh, Tuhan,
aku merindukan saat-saat itu lagi. Saat ia tak henti-hentinya bicara dan terus
bicara dari jok belakang vespa biruku kala kami menuju pantai menikmati rona
senja. Senja selalu merona serupa wajahnya yang menyimpan malu karena rayuan
mautku. Dan, di pengujung tenggelamnya matahari itu aku mencium bibirnya yang
semanis madu. Sungguh tak ada yang lebih menyenangkan selain kenangan, begitu
pun sebaliknya, tak ada yang lebih menyedihkan selain kenangan. Aku jadi ingin
menangis. Boleh, kan, laki-laki menangis? Kau pernah menangis?
Aku sering menangis akhir- akhir ini. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan
menciptakan kenangan. Maksudku Tuhan memberikan kenangan dalam bentuk kertas
putih karena bagaimana pun juga kitalah yang mengisi kenangan itu. Aku
bersyukur karena kertas putih itu. Hanya itu kan yang bisa kita ziarahi setelah
kita tak bisa kembali lagi pada sebuah kenyataan? Maafkan kesentimentilanku,
kawan. Tapi, bukankah setiap manusia lebih dari sekali bersikap seperti itu?
Aku tak ragu lagi tentang hal itu. Bagaimana denganmu? Kau punya istri cantik
seperti istriku?
Istriku itu cantik, kawan, aku yakin jauh lebih cantik dari istrimu.
Rambutnya tidak lurus, tapi keriting mendekati ikal, ia terlihat menyenangkan
dan anggun dengan rambut seperti itu meskipun aku tahu ia tetap cantik dengan
rambut lurus seperti yang kulihat saat rambutnya masih basah seusai mandi. Bau
tubuhnya yang harum mengundangku untuk mendekatinya lalu berbisik di telinganya
bahwa betapa terkejutnya aku setelah menyadari menikahi seorang bidadari. Tak
butuh waktu lama untuk membuat handuk yang melilit tubuhnya terlepas dan kami
saling memagut dan menggapai satu sama lain.
Tapi, sekarang kau tahu, kawan? Kami, bahkan, jarang
bicara kecuali dengan bahasa-bahasa kasar dan ucapan-ucapan setajam pisau. Aku
tak ragu lagi untuk berkata bahwa kami siap untuk saling membunuh satu sama
lain. Meski kami tidur masih dalam satu ranjang, sebenarnya di antara kami,
yang mungkin bagimu hanya berjarak sejengkal, terdapat tembok kokoh yang
menghalangi kami untuk saling menatap dan bertanya bagaimana kabarmu hari ini.
Salah satu dari kami akan pergi tidur lebih dulu sedangkan yang lainnya
pura-pura menonton acara televisi atau membaca koran selama satu atau dua jam
hingga merasa yakin salah satu dari kami sudah tertidur pulas. Hujan memang
telah lama tak lagi turun di ranjang kami. Bagaimana dengan ranjangmu? Apakah
istrimu masih menggairahkanmu?
Istriku sekarang berusia 32. Masih cantik. Terkadang memang riasan wajahnya
yang luntur sepulang ia bekerja membuatku sadar bahwa itu membantu istriku
menyamarkan kesegaran wajahnya yang mulai berangsur berkurang. Tapi, sejujurnya
ia adalah perempuan tercantik yang pernah kukenal sampai hari ini. Sewaktu kami
masih pengantin baru ia tidak langsung mencuci muka, kau tahu, ia langsung
memelukku. Saat seperti itu tak pernah kami sadari bahwa kami sedang bahagia.
Sering kali tak ada percakapan, hanya kepalanya yang bersandar, tapi tak
diragukan lagi, itu masa-masa paling bahagia bagi kami. Aku membayangkan kami
akan selalu begitu hingga rambut kami memutih dan saling merasakan betapa kulit
kami yang bersentuhan terasa bagai daun-daun kering. Tapi kenyataan berkata
lain. Bagaimana dengan kenyataanmu? Apakah kau masih bahagia, kawan?
Kalau aku tidak. Ini bermula, ah, maaf, aku pun tak tahu pasti dari mana
permulaannya. Dugaanku, sejak kami lupa mengucapkan selamat pagi saat bangun.
Kebiasaan lupa itu berlanjut ketika istriku memutuskan untuk pergi ke Jepang
melakukan sebuah penelitian. Dua bulan lamanya. Seingatku ia hanya sekali
meneleponku saat ia berada di rumah sakit, mengabarkan bahwa ia keguguran.
Satu-satunya calon bayi kami. Kami tak pernah membahas itu lagi. Terlalu
menyakitkan. Aku juga takut jika ia hamil lagi akan bernasib sama seperti
ibuku. Kami tahu kami menginginkan bayi, tapi kami menundanya.
Entah sampai kapan.
Akhirnya malam yang buruk itu terjadi. Aku mabuk. Dan, penyanyi dangdut
yang selama kampanye pemilu terakhir sudah berkeliling Nusantara bersama partai
pemenang pemilu mengantarku pulang. Kami berkenalan secara
tak sengaja ketika aku bertugas di sebuah kabupaten di timur Jawa selama seminggu.
Sekarang ia telah terkenal. Malam itu kami bertemu di sebuah kafe secara
kebetulan. Bahkan, kami tak membicarakan apa pun. Karena kebaikan hatinyalah ia
mengantarku pulang berbekal kartu namaku. Bukan salahnya jika ia menduga aku
belum berumah tangga. Aku tak memakai cincin kawinku malam itu. Apakah kau akan
mengatakan hal itu sebagai perselingkuhan? Aku tahu kau tidak akan
mengatakannya demikian.
Tapi, tidak dengan istriku. Ia membanting pintu tepat di depan wajah
perempuan baik hati yang telah memapahku hingga di depan pintu rumahku. Itu
bentuk kesopanan seorang istri yang cemburu buta, kata istriku dengan pongah.
Kegilaan istriku semakin menjadi. Ia, bahkan, berani menyuruhku untuk membuka
mata lebar-lebar bahwa aku telah mengabaikannya. Dalam seminggu ini setidaknya
ada sepuluh kesalahan fatal yang telah kuperbuat, salah satunya aku
membiarkannya kedinginan di halte bus karena asyik menonton siaran langsung
sepak bola di televisi hingga lupa menjemputnya. Lalu, ia mengatakan betapa
menderitanya ia selama menikah denganku. Kau percaya jika ia telah menjadi
satu-satunya korban dalam perkawinan kami?
Bukan dia, tapi aku. Aku adalah salah satu pria yang dijajah wanita masa
kini. Beberapa bulan ini ia tak mau lagi kusentuh. Barangkali ia mengira aku
laki-laki kotor yang najis untuk menyentuhnya. Tapi, aku masih memiliki
kesabaran jika ia tak lagi menganggap penting gairah. Termasuk ketika aku yang
harus mencuci piring sisa makan malam, menyapu rumah setiap pulang dari kantor,
menyiram bunga dua hari sekali.
Aku tertekan. Dan, alkohol adalah teman yang tepat ketika kau mengalami hal
demikian. Tapi kesabaran ada batasnya, bukan? Apalagi jika kau dianggap tak
lebih dari seekor anjing! Oh, maaf.
***
Itu ayahku. Laki-laki yang sedang berbicara dengan seekor anjing. Binatang
itu mengerti kesedihan yang sedang dirasakannya. Setiap orang yang mendengar
lolongan sang anjing pasti tahu bahwa itu berasal dari kesedihan yang paling
gelap, dari rawa-rawa kemalangan yang suram.
Ayahku adalah laki-laki menyedihkan. Tanpa sadar ia telah menganggapku
sebagai sumber tidak harmonisnya hubungannya dengan ibu. Sejak kematianku
mereka mengalami komunikasi yang buruk, bahkan lebih buruk dari percakapan dua
orang bisu sekalipun. Mereka membiarkan diri mereka menderita dan saling menyiksa
satu sama lain.
Betapa bodohnya ayahku, bahkan ia tidak tahu bahwa baru satu jam yang lalu
sebuah mobil menabraknya ketika ia berjalan sempoyongan di jalan raya. Saat ini
ketika ia tengah berkeluh kesah pada seekor anjing, jenazahnya sedang dalam
perjalanan ke rumahnya. Sementara itu, di rumah ibu sedang memandang foto
pernikahan mereka yang tiba-tiba terjatuh hingga membuat ibu terbangun. Ibu
menangis, menyadari bahwa ia begitu mencintai ayah, menyesali
kebodohan-kebodohan yang mereka lakukan hingga menyebabkan ketidakbahagiaan
perkawinan mereka.
Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun setelah kematianku, ibu ingin
menyandarkan kepalanya di dada ayah. Ia begitu rindu. Sungguh-sungguh rindu dan
ingin memberikan sebuah kejutan pada ayah atas kehamilannya serta meminta maaf
atas ketidakstabilan emosinya. Itu calon adikku, ibu sangat menyayanginya juga
menjaganya agar tak bernasib sama denganku karena itulah ibu selalu menolak
ketika ayah menyentuhnya. Ah, sebentar lagi jenazah ayah sampai dan aku ingin memeluk
ibu. Aku ingin menghapus air mata dari pipinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar