Terbukalah
Dalam diam aku duduk di
taman ini. Di kursi yang sama tempat kencan kita pertama. Saat itu aku memakai
celana jins berwarna abu-abu pudar, dan kaus berlengan panjang warna putih.
Kau, waktu itu mengenakan celana jins biru tua dengan kaus berlengan pendek
warna abu-abu. Kita duduk bersisian, saling bergenggaman tangan. Perlahan,
kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Pandangan kita sama, mengarah ke depan ke
beberapa remaja yang sedang bermain basket. Perlahan kau menundukkan kepalamu
dan mengecup kuat keningku. Dan mengalirlah cerita tentang keluargamu.
Kau,
tidak bercerita tentang dirimu. Kau, bercerita tentang ibumu. Kedekatanmu
dengan ibu yang melebihi kedekatan dengan ayah. Bahkan hanya kau satu-satunya
yang ibumu minta untuk meneteskan obat ke telinganya yang sedang sakit. Hanya
pada dirimulah ibumu meminta diantar ke dokter, bukan kepada adikmu atau
ayahmu. Keluargamu adalah dua kubu yang terpisah. Kau dan ibumu, adikmu dan
ayahmu. Namun, kalian tetap baik-baik saja. Kalian telah terbiasa hidup seperti
itu. Terbiasa dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang selesai dengan
sendirinya. Manusia memang seperti itu, kataku. Kita hidup karena terbiasa.
Kita membenci kemacetan jalan raya tapi tetap menerimanya. Karena itu bagian
hidup kita. Kau terdiam seolah mengiyakan.
Taman
ini baru pertama kali kau kunjungi. Sementara aku, sudah puluhan kalinya. Kau
terlihat takjub dengan kencan yang kuciptakan. Kencan yang memang tak ingin
kubuat lazim—ke mal, makan, nonton bioskop, jalan-jalan dalam ruang
berpendingin, dan jika masih ada sisa waktu nongkrong di kedai kopi. Tidak. Aku
ingin membuatmu terkesan. Ingin membuatmu merasa aku berbeda dari orang-orang
yang selama ini pernah kau kenal dalam hidupmu. Aku tahu kamu sangat mudah
berkeringat, hingga kau lebih merasa nyaman di ruangan berpendingin. Tapi, aku
yakin, kau dengan perasaanmu padaku, akan mau mencoba mengikuti cara kencan
ini.
Dan di
kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan.
Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga
seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai
makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau
dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.
Kencan
kita di taman mengawali sederetan pertemuan kita selanjutnya. Pertemuan yang
tak melulu ideku. Kau, pada akhirnya terlihat lebih nyaman di ruang
berpendingin yang kau anggap satu-satunya solusi untuk mengatasi
ketidaknyamanan dirimu pada tubuhmu yang sangat mudah berkeringat. Namun, ada
hal yang menyentuh hatiku yang kau lakukan untukku. Sewaktu aku menuju mal
tempat kita akan bertemu, kau kaget sewaktu aku meneleponmu bahwa aku naik bus
karena sulit menemukan taksi yang tidak berpenumpang. Aku turun di seberang mal
dan saat menaiki jembatan penyeberangan, kau sudah ada di tengah jembatan dengan
ekspresi khawatir. Tak kau pedulikan keringat yang membasahi wajah dan
rambutmu. Rupanya kau setengah berlari dari mal untuk menjemputku. Kau segera
memelukku dan berbisik bahwa kau khawatir karena aku naik bus kota. Saat itu
kau begitu tampan dan manis meski wajahku ikut basah oleh keringatmu.
Kini di
sinilah aku berada, di kursi taman yang sama sambil mengingat saat-saat bersama
kita. Saat kita bercinta untuk pertama kalinya. Saat aku menyadari kenapa aku
mencintaimu. Jawaban itu ada di matamu. Mata yang selalu terbuka saat kau
menciumi sekujur wajah dan tubuhku. Mata yang lebih berbicara banyak hal dari
yang terkatakan oleh bibirmu yang penuh dan lembap. Mata yang membuatku
menyerah untuk menemukan semua penjelasan nalar.
Melihat
dan terlihat oleh matamu, membuatku selalu telanjang. Seharusnya aku ngeri.
Karena aku tak lagi memiliki selubung apa pun. Seolah kota tanpa benteng. Rumah
tanpa pagar. Mata itu tak menyampaikan kata permisi. Langsung masuk melewati
pintu utama, melintasi ruang tamu, tak memedulikan isi dapur, dan langsung
masuk ke ruang tidur tempatku menunggu dengan kepasrahan bulat Ishak yang akan
dikorbankan Abraham kepada Tuhannya.
Kau,
lewat matamu, membuatku tak pernah bisa menolak. Banyak hal yang kautawarkan
lewat mata itu. Tentang kebersamaan, tentang hidup tanpa beban, kebebasan tak
berbatas, perjalanan ke ujung pelangi. Hanya ada kau dan aku. Berdua menyusuri
setiap tepi impian. Ya, kaulah dunia fantasiku. Aku terbebaskan di duniamu.
Sesekali
aku harus pulang ke dunia nyata. Saat itulah aku merindukan teramat sangat pada
matamu. Sering kusengaja memejamkan mata untuk membayangkan saat-saat kita
berciuman dan mata kita saling berpandangan. Kau membiarkanku masuk dalam dunia
di dalam matamu. Saat aku merasakan ketiadaan gravitasi. Ruang angkasa yang tak
berbatas.
Namun,
kenyataan memang selalu mengempaskan kita kembali ke tanah. Terbanting keras
hingga kadang membuat remuk. Tak peduli seberapa lamanya kita ingin bersama,
kita harus berpisah. Kuharap untuk sementara, bisikku sambil mengecup pelan
lehermu. Kau terdiam, bibirmu mengerut cemberut. Dan kau pun terpejam, tak
membiarkan matamu menyaksikanku pergi.
Aku tak
pernah pergi. Bahkan meski itu hanya untuk beberapa hari. Bagaimanapun demi
pertemuan kita selanjutnya, aku tak ingin membuat pasanganku jadi
bertanya-tanya jika aku pergi lebih dari satu hari. Ada peran berbeda yang
harus kujalankan. Seperti seorang aktris panggung yang tak bisa menolak peran
yang disodorkan sutradara. Demi kepuasan penonton, aku harus menjalankan peran
itu hingga selesai.
Sering
kali saat aku menjalankan peranku, kubiarkan pikiranku melayang menciptakan
imajinasi tentang kita berdua ketika semuanya mungkin berbeda. Aku bisa dengan
mudah mengunjungi rumahmu, mungkin bertemu dengan ibumu, berbincang dengannya
tentang masa-masa kecilmu. O ya, mungkin dia akan memperlihatkan foto-fotomu
sewaktu kecil. Siapa tahu dia akan berkisah tentang kesedihan dan
kekhawatirannya sewaktu tanganmu patah hingga menyisakan segaris bekas jahitan
panjang di lengan kirimu. Dalam hati aku akan berkata kepada ibumu, aku sering
mengecup bekas luka anakmu untuk meringankan sakitnya. Ada benang jahitan yang
masih tertinggal dan membuatnya nyeri setiap kali sikunya terbentur. Tapi, hal
itu tidak kukatakan padanya. Aku tahu dia bakal lebih banyak berpikir nantinya.
Tak baik untuk kesehatan sarafnya.
Atau
bisa juga aku akan menemani ayahmu berkebun. Mungkin membawakan sekop atau
sekadar bercakap-cakap dengannya ketika dia tengah mencabuti rumput liar. Siapa
tahu dia akan bercerita bahwa sedingin apa pun sikapnya padamu, dia selalu
mengkhawatirkanmu. Bahwa di balik kemarahannya, dia begitu sedih saat kalian
bertengkar dan melihatmu menggenggam pisau. Bahwa sebenarnya dia bangga
terhadapmu sekarang. Dengan pekerjaanmu, dengan cara kamu membantu keuangan
keluargamu, dan cara kamu merawat ibumu.
Bisa
jadi aku akan memiliki waktu ngobrol dengan adikmu. Yang sebenarnya mengagumimu
diam-diam. Jika tidak, mana mungkin dia sampai meminjam kausmu dan sepatumu
tanpa izin? Kau begitu marah setiap kali adikmu meminjam barang-barangmu. Kau
yang begitu rapi, memang sangat berbeda dengan adikmu yang terkesan
sembarangan. Namun, tahukah kau, dia sebenarnya segan terhadapmu, dengan cara
yang belum kaumengerti.
Kubayangkan
aku mungkin akan memasak untuk seluruh keluargamu. Tumis spaghetti
daging asap dengan irisan cabe rawit yang kausukai. Atau garang asem ayam yang
akan sangat mudah kubikin karena aku tinggal memetik belimbing keris di
halamanmu untuk menciptakan rasa asam yang segar. Dan saat semuanya terhidang,
aku akan menunggui kau dan keluargamu untuk mencicipinya terlebih dahulu dan
merasakan gelenyar hangat di dadaku ketika mereka menyukainya. Saat itu kau
akan mengecup keningku dengan rasa bangga dan sayang tak terkira.
Tahukah
kau, semakin hari aku semakin merasa ilusi itu semakin mendesak ke permukaan.
Bergerak seolah magma yang menyusup celah-celah kerak bumi mencari kepundan
yang siap meletuskannya. Aku sekuat tenaga mencoba menahan lava itu untuk tetap
berada di dasar bumi. Entah untuk berapa lama.
Suatu
hari aku mulai menyadari matamu mulai terpejam. Kau menciumku dengan mata
terpejam. Kau memejamkan matamu saat menyentuh sekujur tubuhku, saat mengelus
rambutku, saat mengecup leherku, saat tubuhmu menegang, mengeratkan pelukanmu.
Kau menutup matamu.
Saat
kau membuka matamu, labirin yang biasa kutelusuri tak lagi sama. Dulu, labirin
itu tak pernah menyesatkanku. Labirin itu menuntunku menyusuri kelokan-kelokan
yang kukenal, menuju sebuah taman yang sama tempat kencan pertama kita. Hanya
saja taman itu tak berpenghuni. Lebih hijau, lebih sejuk, hingga tak membuatmu
berkeringat. Di taman itu kita duduk di bangku yang sama, saling bergenggaman
tangan, dan aku selalu duduk di sebelah kirimu. Kusandarkan kepalaku di bahu
kirimu. Tangan kiriku perlahan mengelus bekas luka di lengan kirimu. Kita
sama-sama terdiam. Sunyi. Hening. Hanya bunyi napas kita di taman itu.
Kini
labirin itu tak mengantarkanku ke mana pun. Aku berusaha menyusuri setiap
kelokan, tapi tak kunjung kutemukan taman itu. Labirin ini memerangkapku.
Tersesat membuatku sesak napas. Aku tersengal.
”Kau
sakit?” tanyamu sambil membelai pipiku.
Aku
menggeleng. Aku kembali berusaha melihat matamu. Namun, aku kembali mengalami
kejadian yang sama. Tersesat dan tak bisa bernapas.
”Ingatkah
kau dengan taman tempat kita berkencan pertama kali?” tanyaku.
Kau
mengangguk.
”Itu
saat terindah buatku,” kataku.
”Buatku
juga, Sayang,” ujarmu sambil mendaratkan ciuman di bibirku. Dengan mata
terpejam.
Dalam
hati, aku berteriak. Terbukalah! Aku ingin kau memandangku seperti dulu lagi.
Aku tak tahu siapa yang ada di matamu jika kau terpejam seperti itu! Biarkan
hanya aku yang kau lihat.
Namun,
kau tetap terpejam.
”Maukah
suatu hari kita kembali ke taman itu?” tanyaku.
Kau
mengangguk.
Dan di
sinilah aku sekarang. Duduk di bangku yang sama di taman tempat kita pertama
kali berkencan. Sore ini tak ada remaja-remaja yang bermain basket. Namun,
masih ada penjual minuman air jeruk artifisial yang dulu. Kulihat ada seorang
lelaki 40 tahunan yang mengajak seekor anjing husky berjalan-jalan. Lihatlah,
anjing itu begitu besar dan sepertinya jinak.
Di
bangku ini, aku duduk dengan kedua tanganku berada di atas pangkuanku. Kali ini
aku tidak memakai celana jins abu-abu dan kaus lengan panjang warna putih. Aku
memakai rok terusan warna biru pucat. Perlahan kubuka kedua tanganku yang
sedari tadi tergenggam.
”Lihatlah,
Yank. Taman ini masih sama seperti dulu. Kau lihat sendiri kan, penjual minuman
itu masih sama. Kali ini tidak ada yang bermain basket. Pengamen di sana masih
bernyanyi seperti dulu,” ujarku perlahan. Kupandangi kedua telapak tanganku
yang basah bersimbah darah. Menetes hingga menodai kain rokku. Di situlah, di
kedua telapak tanganmu, kuletakkan matamu. Terbuka utuh. Sepenuhnya.
Hanya memandangku dan memandang taman kita berdua.
Jakarta,
2 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar