Seekor Anjing Manis
Manisha nyaris terlambat sekolah. Ia bangun kesiangan karena semalam
menonton televisi sampai larut, sampai-sampai justru televisi itu yang menonton
dirinya terlelap di sofa ruang tamu. Mungkin acara televisi itu terbawa hingga
ke dalam mimpinya, bahkan mungkin saja dalam mimpi itu Manisha kembali menonton
televisi, lantas tertidur lagi, maka ia pun akan bermimpi di dalam mimpi.
Betapa lelapnya tidur yang seperti itu.
Sayangnya, ia harus masuk sekolah. Maka pagi ini Manisha terjaga setelah
ibunya tak henti-henti menggedor pintu kamar.
Ketika membuka mata, cahaya matahari sudah separuh menerangi kamarnya. Ia
pun bangkit, melemparkan selimut, lalu mandi dengan sangat tergesa-gesa. ”Itu
masih ada sabun di telingamu! Dibilas yang bersih!” bentak ibunya ketika ia
baru keluar dari kamar mandi.
Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat jam dinding, sudah pukul tujuh
kurang lima belas menit, padahal ia belum juga mengenakan seragam, apalagi
sarapan. Dan seolah sudah bisa menebak, ibunya segera membungkus nasi yang sudah
terhidang di meja makan. ”Ini, dimakan nanti kalau istirahat.” Kata ibunya,
masih dengan nada tinggi. Manisha mencoba untuk tersenyum sebagai tanda terima
kasih, tetapi tak bisa, atau lebih tepatnya, tidak sempat. Sementara itu,
ayahnya pasti belum pulang, sebagai satpam bank, ayahnya sering mendapat
giliran jaga malam, sangat jarang Manisha menemui sang ayah pagi hari, padahal
kalau ayahnya ada, ia bisa bermanja-manja sebentar untuk meminta uang saku
tambahan, bahkan ibunya bisa mendadak berubah sabar, tidak berbicara dengan
nada tinggi seperti pagi ini.
Manisha selesai memakai sepatu, bungkusan nasi hangat hanya dengan lauk
tempe itu dimasukkan ke dalam tas, lalu ia pun bergegas meninggalkan rumah. Ia
sangat terburu-buru, sampai-sampai uang saku yang telah disiapkan ibunya di
atas meja tidak diraihnya. Bahkan, ia tak sempat berpikir adakah pekerjaan
rumah apa yang harus disiapkan hari ini. Ia berhambur keluar rumah tanpa sempat
mencium tangan atau mengucapkan salam.
Ia segera berlari, suara buku-buku terguncang di dalam tas. Ia melewati
beberapa petak bunga di pekarangan, lalu menelusuri trotoar yang berpasir.
Sebenarnya sekolah Manisha tak begitu jauh, kalau berjalan santai, sepuluh
menit saja sudah sampai. Sekolahnya terletak di seberang jalan raya, Manisha
hanya harus melewati trotoar, lalu masuk ke sebuah gang, muncul di jalan raya,
lantas menyeberang. Namun ternyata, selepas melewati trotoar, di sebuah gang
itulah ia mendapat masalah.
Di gang sempit itu langkah Manisha terhenti dan memicingkan matanya.
”Sejak kapan ada anjing di situ?” gumamnya. Ia melihat seekor anjing yang
sedang meringkuk di sudut gang, tentu saja ia heran, sebab kemarin-kemarin gang
itu lengang, ia bisa melenggang bebas sambil menempelkan tangannya pada
sepanjang dinding gang yang dingin dan lembab. Tetapi kenyataan berkata lain
pagi ini, sudah terlambat masuk sekolah, ada anjing pula.
Sepertinya anjing itu sedang tidur. Hewan itu membaringkan dirinya agak
jauh di tepi gang sana, Manisha sudah berjalan sampai ke tengah-tengah hingga
akhirnya melihat anjing yang sedang menggeletak sangat santai itu, sepasang
kaki depan dilipat untuk menopang dagu, dengan mata terpejam, seolah
menunjukkan bahwa anjing itu pemalas, tetapi mungkin juga anjing itu sedang
kekenyangan, mungkin baru selesai melahap kucing kumal yang memang tak lagi
punya harapan untuk hidup. Mungkin sudah beberapa ekor kucing yang diterkam
hingga hewan itu tak mampu menopang tubuhnya untuk sementara waktu sehingga
kini memilih untuk berbaring saja.
Manisha terpaksa berhenti, napasnya masih tersengal setelah berlari di
sepanjang trotoar, ia menggaruk-garuk kepalanya, rambut yang sudah tersisir
rapi itu kini sedikit berantakan, sekarang ia diam saja, sementara waktu terus
beranjak, detik demi detik beranak pinak. Manisha kebingungan, ia berharap
anjing itu tidur saja yang lelap. Mata binatang itu memang banyak tertutup,
tetapi bukankah pendengaran seekor anjing sangat peka? Ah, betapa sempitnya
gang itu. Sepeda motor saja tak bisa datang dari dua arah, harus ada yang
mengalah. Manisha menunggu sejenak, berharap ada yang lewat situ untuk
memberinya pertolongan, sebab ia tidak mungkin pulang lagi, ibunya pasti marah
besar. Terkadang ia menyesal mengapa punya rumah yang hanya bisa dilewati
melalui sebuah gang. Sebenarnya dahulu tidak ada gang sempit itu, hanya saja,
sejak lahan tak jauh dari rumahnya terkena dampak pembangunan mal, maka gang
itu pun terbentuk dari sebuah mal di bagian kiri, dan toko bertingkat yang
sudah lebih dulu ada di bagian kanan. Sejak itulah, kalau mau berangkat dan
pulang sekolah, hanya gang tersebut jalan terdekat yang bisa dilewati.
Sementara kalau lewat trotoar harus berputar terlalu jauh, lama, dan sangat
melelahkan.
Waktu bergulir pelan tetapi pasti, Manisha semakin kebingungan, ia
memandangi hewan yang masih tetap meringkuk di sudut gang. Anjing itu berbulu
hitam legam, entah berasal dari ras apa, sepertinya kumuh sekali, kalau lebih
diperhatikan, hidungnya berlendir, lidahnya juga terjulur, ada liur yang tak
kunjung menetes ke tanah. Jangan-jangan sudah mati? Entah mengapa tiba-tiba
Manisha sudah berada lebih dekat dengan anjing itu. Ia melangkah perlahan dalam
keadaan setengah melamun, tetapi sewaktu sadar, ia pun kembali menjauh dengan
jantung berdebar kencang.
”Kalau begini terus, tidak bisa sampai di sekolah.”
Manisha berpikir. Sayangnya, di kamusnya tak ada kata bolos, ia harus tetap
masuk sekolah, sebab bolos adalah hal yang bisa membuat ibunya sangat murka,
tadi pagi ibunya sudah marah-marah karena ia kesiangan, padahal ia paling takut
dengan kemurkaan ibunya. Meski ia tahu ibunya sayang kepadanya, tetapi kalau
marah tetap saja mengerikan. Biasanya, ia suka pura-pura tertidur kalau sedang
dimarahi, menutupi telinganya dengan bantal agar tak mendengar suara ibunya
yang terus-menerus berbicara, dan biasanya pula sang ibu akan menunggu, sampai
kapan Manisha bisa sabar untuk pura-pura tertidur, terkadang ia bisa
benar-benar tertidur pada akhirnya, terkadang pula tetap tak bisa tidur, hanya
bisa menunggu emosi ibunya reda, dan akhirnya, mereka akan saling menunggu,
siapa yang paling sabar di antara keduanya.
Sudah ratusan kali Manisha dimarahi ibunya, entah karena kesalahan fatal
semacam menumpahkan gula dari stoples, atau membiarkan air keran kamar mandi
terbuka yang menyebabkan airnya meluber, sampai beragam alasan yang menurutnya
mengada-ada. Lama kelamaan, Manisha bisa dikriminalisasi oleh ibunya sendiri.
Bahkan gadis itu sempat berpikir bahwa ibunya tidak benar-benar sayang
kepadanya. Lebih jauh lagi, pernah terlintas seburuk-buruk pertanyaan dalam otaknya,
apakah ia benar-benar anak kandung dari seorang wanita yang suka memarahinya
nyaris setiap hari itu? Manisha pernah mendengar tetangga bercerita bahwa ia
sebenarnya ditemukan di jalan, menangis dalam kardus yang digeletakkan di tepi
trotoar, ada juga yang bilang bahwa ia diambil dari panti asuhan, tetapi ibunya
selalu mengatakan itu semua tidak benar, dan ia percaya bahwa para tetangga
memang hanya bercanda, apalagi banyak yang berkata bahwa hidung dan pipi
Manisha mirip sekali dengan milik ibunya.
Meski begitu, Manisha tetap tak mengerti mengapa ibunya suka marah-marah,
apakah ibunya mengidap penyakit? Ia terkadang iri kepada kawan-kawan
sekelasnya, ia iri kepada Suminten yang suka dibawakan bekal bermacam-macam,
”Ibuku tadi pagi buat roti kismis, besok rencananya mau buat brownies.” Begitu
biasanya Suminten akan berbangga-bangga, sementara Manisha cukup diam saja. Ia
juga sering iri kepada Nalea, kawan sebangku yang selalu dijemput ibunya
sepulang sekolah baik cerah ataupun hujan, sementara Manisha tak pernah
dijemput, berangkat sendiri, pulang pun sendiri. Tetapi ia sadar bahwa ibunya
memang tidak punya waktu untuk menjemput, ibunya adalah tukang cuci yang setiap
hari sibuk berkeliling dusun untuk menerima cucian-cucian kotor. Oleh karena
itulah Manisha sudah biasa melakukan banyak hal sendiri.
Jadi, kalau ia mendapat masalah seperti sekarang ini, Manisha harus
menyelesaikan sendiri.
Dan ternyata ia juga lupa membawa jam tangan kecil, ia melihat pergelangan
tangannya, hampa, ia tak tahu sekarang sudah jam berapa, ia tak tahu bel
sekolah sudah berbunyi atau belum. Ia belum juga ingat bahwa ada dua pekerjaan
rumah yang akan dikoreksi hari ini. Ia nyaris tak peduli lagi seandainya Bu
Mursleh—guru Matematika berkacamata yang suka bawa camilan ke dalam kelas itu—tiba-tiba
mengadakan ulangan mendadak. Sekarang perhatiannya hanya tertuju pada anjing
itu. Tubuh hewan itu memang tidak cukup besar. Tetapi bulunya yang hitam legam
nan lebat membuat Manisha ngeri. Tentu ia takut digigit, apalagi ia tahu
gigitan anjing bisa menimbulkan penyakit, kemarin ia melihat berita wabah
rabies yang menelan banyak korban di suatu daerah, siapa tahu anjing ini
membawa penyakit yang sama!
Manisha menelan ludah, kalau harus digigit, ia lebih suka digigit si
Jupritus saja, teman sekelas yang terlampau nakal itu.
Kemudian Manisha mengingat sesuatu, rasanya ia pernah mendengar
cerita-cerita tentang anjing, entah itu dari kawannya atau mungkin dari
ayahnya, ia sudah lupa siapa yang bercerita, ia hanya ingat isinya, semacam
teori, bahwa kalau lewat di dekat anjing yang tertidur harus tenang, tidak
boleh lari, karena kalau lari anjing itu justru mengejar, sebab langkah kaki
yang terburu-buru sangat mengganggu. Tetapi teori itu seperti berbalik di
kepalanya, yang terbayang adalah: Kalau berjalan terburu-buru maka anjing itu
akan memburunya dengan segera, kalau berjalan tenang maka anjing itu akan
memakannya juga dengan tenang penuh kedamaian.
Tidak. Tidak. Manisha menggelengkan kepalanya. Ia menoleh ke belakang untuk
kesekian kalinya, ia heran mengapa nyaris tak ada yang lewat gang itu. Hanya
sosok orang-orang berkelebat saja, tak ada yang berbelok, tetapi ia juga tak
mau ibunya tiba-tiba muncul di situ dengan wajah mengerikan. Ia ingin libur
dari amarah sang ibu barang sehari—kalau pun bisa, apalagi di gang ini ia tak
bisa pura-pura tertidur seperti biasa kalau ibunya tiba-tiba muncul di ujung
situ.
Manisha mencoba untuk kembali melangkah, berat sekali. Dan semakin dekat,
rasa takutnya justru semakin bertambah, apalagi sesekali anjing itu menggeliat,
mungkin hewan itu tahu ada yang sedang menunggunya terjaga, mungkin hewan itu
senang ada gadis kecil yang memerhatikannya. Itu artinya, Manisha dan seekor
anjing sedang bermain kucing-kucingan perasaan.
”Anjing manis, Manisha mau lewat.” Ia mengucapkan kalimat itu seperti doa.
Sebab, ia hanya bisa berharap anjing itu pergi dari gang. Cukup itu saja.
***
Matahari bergegas naik, cahaya berangsur-angsur terik. Di sebuah gang
sempit yang tidak begitu kumuh, seekor anjing sedang tertidur pulas, binatang berkaki
empat itu mungkin tengah bermimpi ada di sebuah kebun surga, merebah di
pangkuan bidadari jelita. Sementara tak jauh dari situ, ada seorang anak SD
yang sudah terlambat sekolah, dia berdiam di situ sebab takut melangkah, dia
masih menunggu anjing tersebut pergi, dia mengira hewan mengerikan itu hanya
pura-pura tertidur, sama seperti dirinya kalau sedang dimarahi ibunya.
(Situbondo, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar