Rongga
Desa yang aneh. Saat warna merah di ujung langit, desa itu senyap. Begitu
hening dan pulas. Meski lampu-lampu mulai dinyalakan, nyaris tak ada desah
keluar. Suara bisu desir angin yang berbisik di celah hutan bambu, mencekam.
Batu-batu jalanan desa seperti tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi
penguasa saat senja mulai datang, dan kesedihan tanpa terasa saling menyapa di
antara awan yang berwarna jingga.
Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada.
Tapi, layaknya aturan dari Tuhan, di desa itu kesedihan tidak boleh
dibicarakan. Seperti tiran, ketika kesedihan dibicarakan, tanpa ampun lagi,
kerongkongan penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak
akan pernah keluar dari mulutnya.
Orang-orang dengan rongga di kerongkongan segera menutupi lehernya dengan
berbagai cara. Ada yang memakai kalung dengan batu mulia sebesar lubang itu,
ada yang memesan pakaian khusus agar leher mereka tertutup rapat. Pada intinya
lubang itu harus ditutupi, karena kalau tidak, rongga di leher itu begitu
mudahnya infeksi dan kesakitan akan menghebat. Kesedihan yang melahirkan
kesakitan. Orang-orang di desa itu tak ingin mengalami kesakitan, sehingga
setiap kesedihan datang mereka akan berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya
dengan rapat, bahkan nafas mereka pun tidak tahu di mana kesedihan itu berada.
Sepanjang pagi dan siang yang tampak hanya wajah-wajah bahagia, tawa yang
menggelegar, basa-basi yang begitu meruah. Orang-orang yang berongga di
lehernya pun akan selalu menampakkan muka terbaik mereka. Membentuk senyuman.
Mereka seperti mencoba menebus keteledorannya karena sudah membuka kesedihan
kepada angin dan suara. Dunia adalah bahagia, begitulah jargon yang berlaku.
Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa yang, kalau perlu harus dimusnahkan.
Sejak lahir pun bayi-bayi tahu bahwa jargon itu seperti dogma yang terus
didengungkan kepada roh-roh suci itu. Para ibu membuai anak-anaknya dengan
senandung anti kesedihan. Ketika anak-anak besar dan bertanya tentang kata
sedih, buru-buru dibungkamnya mulut mereka rapat-rapat sambil berkata bahwa
penguasa kegelapan akan segera datang begitu kata itu keluar dari mulut
anak-anak yang begitu indah bola matanya.
“Nak, bunuh kesedihanmu, kita cincang air mata demi dunia yang gembira,
jauhi dunia gelapmu, hanya tawa yang berhak tinggal di hati kita,” demikian
kira-kira senandung itu. Sambil menikmati kehangatan dada ibunya, bayi-bayi
menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh bahagia.
Ketika pemilihan kepala desa, para kandidat berlomba-lomba menawarkan
program paling efektif bagaimana melawan kesedihan. Seperti supermarket dengan
diskon besar-besaran menjelang hari raya, program yang paling menarik akan
diserbu habis-habisan. Bahkan para mahasiswa yang melakukan kuliah kerja di
desa itu diwajibkan hanya mengajar program kebahagiaan dan sebuah kontrak
bermeterai harus mereka tanda tangani dengan sangsi sangat berat bagi yang
melanggarnya. Tiran emosi! Begitu umpatan para mahasiswa .
Benar-benar desa yang suka cita. Semua mematuhi peraturan desa itu tanpa
kecuali. Termasuk Kemplu, jagoan desa itu. Dia bahkan begitu gencar
menggaungkan kampanye bahwa kesedihan adalah kejahatan besar. Air mata harus
ditekan habis-habisan. Bahkan ketika badai besar menerbangkan keluarganya entah
kemana, Kemplu tertawa gembira, diadakannya pesta besar dan dijamunya hampir
seluruh penduduk desa. Tak lama kemudian dia kawin lagi dan beranak pinak.
Benar-benar hidup harus berjalan katanya. Ditertawakannya orang-orang yang
berongga di lehernya. Orang-orang yang lemah. Begitulah cemoohnya.
“Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi yang diumbar itu hanya
milik orang-orang tak bermartabat. Air mata adalah kebodohan.”
Hanya sebuah senja yang tidak bisa berbohong. Ketika warna di batas antara
dunia dan mimpi itu seperti air mata yang hampir jatuh, kesedihan seperti
menyeruak begitu saja dari dada para penghuni desa itu. Kepanikan selalu
melanda setiap menjelang senja. Segera diikatnya dada mereka dengan tali yang
begitu erat, mulut mereka ditutup dengan plester yang sangat kuat. Mereka
mati-matian berusaha agar kesedihan itu tidak meledak, agar leher mereka tidak
berongga dan kesakitan tidak menjadi teman sepanjang nafas yang tersisa. Mereka
diam di rumah dengan peluh berbulir-bulir menahan agar ledakan dada yang sarat
kesedihan tidak jebol dari mulut dan mata mereka.
Setiap orang mencari cara agar kesedihan tetap pada tempatnya; di ujung
paling sepi hatinya. Kalau perlu Tuhan pun tidak boleh menemukannya.
Di antara mereka ada yang dengan tegas menukar dengan suka rela kesedihan
yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum lembut malaikat maut. Kesakitan
karena kerongkongan berongga lebih mematikan dibanding penggalan pedang yang
paling tajam. Di setiap semburat jingga mulai bertiup di ujung cakrawala,
hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka. Semua rapat menyimpan
kesedihan yang meledak-ledak di rumah-rumah mereka.
Anehnya Kemplu selalu menghilang di setiap senja. Istrinya hanya tahu dia
pergi ke hutan di ujung desa. Hutan yang dinamai hutan Gembira oleh penduduknya
meski entah kenapa nama itu seperti berolok-olok dengan udara yang
dihembuskannya setiap pagi, yang pekat dengan kesedihan.
Jika angin berhembus di atas pohon-pohon hutan itu, gesekan daun-daunnya
menyenandungkan requiem yang paling pedih. Badan pohon-pohon itu bergaung
bersahut-sahutan dengan irama yang lantang, menyenandungkan kesedihan yang
pekat.
Ketika orang menyentuh papan nama “Hutan Gembira”, mereka seperti menembus
jantung dan mengambil dengan paksa kesedihan di dalamnya untuk dimuntahkan.
Persis “ilmu Rogoh Jantung” para penjahat keji di film laga .
Meski demikian teka-teki tentang hutan itu belum pernah ada yang bisa
menjawabnya. Bahkan Kemplu yang setiap pagi keluar dari hutan dengan penuh tawa
dan keceriaan luar biasa, selalu menjawab, bahwa kesedihan hutan itu sudah ada
bersama tanahnya saat Semesta menanam pohon pertama kalinya di sana. Semesta
menangis karena Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu dispensasi satu-satunya kenapa
kesedihan diperbolehkan di muka bumi ini.
“Adam manusia pertama, dia punya hak khusus dan hanya satu-satunya yang
boleh merasakan rasa sedih itu. Rasa itu begitu memekat di hati, anak cucunya
harus membasminya.”
Sihir. Kata-kata ajaib. Semua mengamini tanpa ragu setitik pun.
Hingga satu hari, kepala desa memutuskan bahwa satu-satunya jalan agar
tingkat kebahagiaan di desa itu meningkat pesat adalah membuat taman keriaan
yang termegah di negeri ini dengan cara membabat Hutan Gembira. Semua setuju,
juga orang-orang dengan rongga di kerongkongannya. Mereka berharap dengan taman
keriaan itu rasa sakit yang bernanah di kerongkongannya hilang. Hanya Kemplu
yang protes.
“Kita perlu oksigen segar dan itu merusak lingkungan,” lantang teriaknya,
menirukan para aktivis linkungan di televisi. Kepala desa yang mengaku keponakan jenderal yang berkuasa itu tetap keras
kepala. Saat Kemplu mengorganisir anti taman keriaan, saat itu pula
buldoser-buldoser didatangkan untuk menyapu rata hutan Gembira. Dalam dua-tiga
jam, hampir seluruh pohon tumbang. Hanya satu pohon yang tersisa.
Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba semencekam saat senja, padahal terik
matahari seperti meretakkan kepala mereka, seperti saat sakaratul maut
tersenyum dan siap mencabut semua jejak nafas.
Buldoser mendekat ke satu-satunya pohon yang tersisa. Ketika mulut buldoser
hanya tinggal satu senti dari ujung pohon itu, tiba-tiba suara Kemplu keluar
dengan lolongan kesedihan yang begitu pekat.
“Jangan…!” suara yang keluar bercampur isak yang sudah bertahun membatu.
Seperti geledek di musim kemarau yang parah, semua warga jantungnya
berhenti berdetak. Kemplu, lelaki paling jagoan di desa itu melantangkan
kesedihan begitu hebat. Isak tangis yang meruah tak bisa dihentikan oleh buaian
perempuan berpayudara surga sekalipun.
“Di rongga pohon itulah keluargaku tinggal. Mereka tidak hilang bersama
badai. Aku bercakap kepada mereka di setiap senja. Aku berikan percakapan
bernama air mata di sana. Rongga itu adalah mulutku sekaligus telingaku. Aku
mencium bau keringat mereka dan kubelai dengan seluruh cinta yang aku miliki .
Badai itu telah menipu kalian. Keluargaku selalu sembunyi di rongga itu,
kucumbu mereka dengan percakapan paling sepiku. Maafkan, kesedihan ini tidak
tertahankan. Aku butuh bicara tentang kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak
tahan. Tolong , jangan ambil pohonku, hanya itu satu-satunya yang mau
mendengarkanku…. Aku akan mati tanpa rongga itu….”
Suaranya makin menghilang. Sebuah rongga di kerongkongannya tiba-tiba
menyeruak. Semua orang menjerit, karena rongga itu tidak berhenti sebatas
kerongkongan. Rongga itu terus membesar hingga akhirnya tubuh Kemplu meledak
dan serpihan tubuhnya berhamburan. Hanya jantungnya yang tetap berdetak. Istri
barunya pingsan, anak-anaknya meleleh. Hening pekat.
Rahasia kesedihan hutan Gembira pun tersingkap. Sambil meyakinkan dirinya
bahwa adegan itu mungkin hanya ilusi, kepala desa memungut jantung berdetak
itu. Berhati-hati dimasukannya ke dalam rongga pohon terakhir itu. Begitu
dimasukkan, pohon itu hidup seperti di ruang keluarga bahagia di iklan TV.
Suara gelak tawa yang menggelegar, dentingan piano, keriaan yang penuh. Semua
warga yang mendengarnya, tahu bahwa Kemplu benar-benar bahagia di dalamnya.
Sejak itu, ada yang berubah. Setiap senja, desa itu begitu riuh dengan
tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela di buka
lebar-lebar. Meski angin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi penduduk desa itu
tahu bahwa hati mereka akan menahannya. Mereka tahu, setiap senja jatuh, hati
mereka akan mengeras dan menguat. Mereka menerima dengan suka cita.
Kesedihan yang sangat bersahabat….
Ketika mereka mengenalnya, kesedihan justru menjadi begitu pemurah dan
melimpahinya dengan detak bernama bahagia. Hutan itu tetap berfungsi sebagai
ruang publik. Sekarang justru bernama Taman Air Mata. Siapa pun bisa dan boleh
menangis sepuas-puasnya. Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan ingin
merasakan bagaimana indahnya kesedihan di taman itu bisa membeli obat
perangsang kesedihan yang ditawarkan petugas penyobek tiket tanda masuk. Setiap
pengunjung sebelum pulang akan menyempatkan berfoto di pohon Kemplu, demikian
mereka menyebut satu-satunya pohon yang tidak di tebang itu. Pohon yang
merindang.
Berterimakasihlah kepada kesedihan dan airmata karena bersamanya kita belajar
kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya
garis tidak selalu lurus.
Sebuah senja yang indah, sebuah senja yang pekat….
Ubud, 15-Juni-2010
Untuk lelaki-lelaki kecilku, Banyu Bening dan Langit Jingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar