Frekuensi
penggunaan frasa “Tidak Sewenang-wenang” dan “Tidak Bergeming”dalam tindakan berbahasa relatif
tinggi. Dua ungkapan tersebut dapat kita temukan dalam pelbagai wacana
berbentuk tulisan dan juga dapat kita dengar dalam wacana lisan atau percakapan
yang biasa. Keseringan pemakai bahasa menggunakan dua bentuk itu, justru
menjerumuskan mereka ke dalam ketidaksadaran akan adanya keanehan pada dua bentuk itu. Masyarakat pemakai bahasa
(pebahasa) terbawa ke dalam arus kesalahan massa yang semakin hari semakin
bertambah banyaknya.
Kita
barangkali pernah membaca, mendengar wacana seperti yang kami sertakan berikut
ini:
(a)
Pada
masa Orde Baru militer cenderung bertindak tidak sewenang-wenang.
(b)
Pejabat
yang serakah biasanya berlaku tidak sewenang-wenang terhadap rakyat.
(c)
Karena
diperlakukan secara tidak sewenang-wenang, gadis itu mengadu ke polisi.
(d)
Dalam
suasana kalut, gadis bermasalah itu tidak bergeming meskipun diganggu.
(e)
Hati
nurani yang tidak peka membuat para caleg
tidak bergeming saat dikritik.
Pada kalimat (a), (b), dan (c) kita temukan bagian kalimat “tidak sewenang-wenang” dan
pada kalimat (d) dan (d) kita dapati bagian kalimat “tidak bergeming”. Dalam praktik berbahasa yang biasa, kita
memahami makna bagian-bagain kalimat itu secara pasti. Dalam konteks seperti inilah
kita terjebak dalam perangkap yang lebih dikenal sebagai bentuk yang salah
kaprah (terlanjur, sengaja dianggap benar hanya karena mayoritas orang
menganggapnya benar). Di sini, kebenaran (bahasa) menjadi sesuatu yang relatif.
Artinya, ditentukan oleh banyak tidaknya pendukung, pemakai bentuk itu.
Cara
pikir dan mentalitas yang mempertaruhkan mayoritas seperti ini jelas
melecehkan hakikat kebenaran yang sama
sekali tidak ditentukan oleh kriteria kuantitas mayoritas atau minoritas.
Kebenaran adalah sesuatu yang ada tanpa aksesoris. Kebenaran, berseberangan
dengan konsep yang biasanya diterapkan pada dunia politik pemilihan caleg. Di
sana, suara terbanyak menentukan (ini logika demokrasi seperti yang terjadi
pada caleg Partai Golkar Manggarai versi kesepakatan). Kebenaran juga tidak
ditentukan oleh rumusan undang-undang dan aturan (ini logika caleg pemuja
produk legislatif yang banyak lubang dan
boroknya).
Ulasan
ini sama sekali bukan ulasan bernuansa politis. Oleh karena itu, kita kembali
pada inti persoalan terkait penggunaan bentuk “tidak sewenang-wenang”
dan bentuk “tidak bergeming” di atas. Persoalan kita, apakah dua bentuk
itu tergolong tepat dan benar? Untuk
itu, kita harus merunut asal usul kemunculan dua kata wenang dan geming
sebagai bentuk (leksem) dasar yang dinegasikan, disangkal dengan kata “tidak”.
Kata
sewenang-wenang dan kata bergeming dapat kita temukan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bentuk sewenang-wenang bukanlah bentuk
dasar karena bentuk dasar kata itu adalah “wenang”. Wenang, berwenang
saja berarti: orang yang mempunyai hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
Bentuk wenang ini memungkinkan adanya bentuk lain seperti (i)
kesewenang-wenangan berarti perbuatan sewenang-wenang; kelaliman (ii)
sewenang-wenang berarti tidak mengindahkan hak orang lain; bertindak
dengan semau-maunya (KBBI, 1989: 1010). Makna kata sewenang-wenang itu harus
disadari sebagai bentuk yang sudah bercorak negatif.
Bentuk
bergeming menurut kamus yang sama dibentuk dari leksem dasar geming. Bentuk
dasar atau leksem geming sendiri yang berarti: diam saja, tidak bergerak
sedikit pun. Bentuk geming atau
bergeming secara leksikal sudah bermakna negatif seperti halnya bentuk
sewenang-wenang.
Hasil
runutan seperti ini membawa kita pada kesimpulan sekaligus sebagai jawaban
terhadap pertanyaan di atas. Bentuk tidak sewenang-wenang dan tidak
begergeming dipastikan sebagai bentuk yang salah karena didahului kata
ingkar (dinegatifkan) dengan kata ‘tidak’. Jika kita menganggap dua bentuk itu
sebagai bentuk yang benar berarti makna untuk dua bentuk tersebut didahului dengan dua bentuk ingkar (dua kata
tidak) secara berurutan. Ini jelas tidak berterima dalam konteks kebenaran
berbahasa.
Dengan
demikian contoh-contoh yang tertulis pada (a) s.d. (e) di atas harus dibenahi menjadi
seperti kalimat (f) s.d. (j) berikut
ini:
(f)
Pada
masa Orde Baru militer cenderung bertindak sewenang-wenang.
(g)
Pejabat yang serakah biasanya berlaku sewenang-wenang
terhadap rakyat.
(h)
Karena
diperlakukan secara sewenang-wenang, gadis itu mengadu ke polisi.
(i)
Dalam
suasana kalut, gadis bermasalah itu bergeming meskipun diganggu.
(j)
Hati
nurani yang tidak peka membuat para caleg
bergeming saat dikritik.
Kalimat
(f) s.d. (j) ini, untuk orang yang terbiasa menggunakan bentuk yang salah
karena mayoritas orang menggunakan bentuk yang bercorak salah kaprah, akan
menilai kalimat yang telah diperbaiki itu akan kedengaran aneh terutama kalimat
(i) dan (j). Dua kalimat itu masing-masing paralel dengan kalimat Dalam
suasana kalut, gadis bermasalah itu tidak bergerak meskipun diganggu dan Hati
nurani yang tidak peka membuat para caleg
tidak bergerak, tidak bergerak saat dikritik.
Kalau kita terbiasa mengikuti cara
berbahasa yang salah, mengapa kita tidak mau belajar untuk mengikuti cara
berbahasa yang benar? Kita memang perlu terus belajar dan belajar terus cara
kita berbahasa.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar