Ungkapan
‘kesempatan yang berbahagia’,’hari yang berbahagia’, ‘waktu yang berbahagia’
biasanya kita dengar atau baca berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting.
Aneka peristiwa seperti kelahiran seorang manusia, keberhasilan seseorang dalam
jenjang pendidikan tinggi, kerberhasilan meraih prestasi tertentu, pemberkatan
pasangan pengantin, pelantikan menjadi pejabat, acara pengukuhan gelar
kehormatan (honoris causa) dan lain-lain sungguh membuat orang merasa
senang atau gembira. Perasaan senang atau gembira itu dirumuskan menjadi kata
‘berbahagia’. Karena itu, tidaklah mengherankan, dalam tindak berbahasa kita
diperhadapkan dengan wacana yang
mengandung kata ‘berbahagia’ itu seperti pada contoh (a) s.d. (f) berikut ini:
(a)
Pada saat yang berbahagia ini kita
diundang untuk bergembira bersama.
(b)
Tidak diduga hari yang berbahagia
ini dialami keluarga yang sederhana ini.
(c)
Kita semua patut bersyukur kepada Tuhan
atas kesempatan yang berbahagia ini.
(d)
Hari Ulang Tahun biasanya menjadi waktu yang
berbahagia bagi setiap orang.
(e)
Kedua pengantin yang berbahagia,
kiranya meneladani hidup keluarga kudus.
(f)
Kalau anak sukses, maka pasti orangtua yang
berbahagia.
Wacana-wacana
seperti ini sudah jamak kita jumpai tetapi jarang kita mempersoalkan semuanya
dari dimensi kepatuhan atau ketaatasasan pada logika berbahasa kita.
Kalimat-kalimat pada contoh di atas menyimpan perkara logika bahasa yang mau
tidak mau harus dijelaskan melalui rubrik bahasa ini. Masalah pokok yang
menjadikan contoh-contoh itu bermasalah berkaitan dengan pemakaian kata ‘berbahagia’.
Dalam
penjenis atau penggolongan kata, kata ‘berbahagia’ dikategorikan sebagai kata
sifat (adjektiva). Pada tataran sintaksis (kalimat), kata sifat biasanya
memberikan keterangan pada kata benda (nomina). Pemakaian kelompok kata
(frase) ‘yang berbahagia’ merupakan keterangan atau perluasan kata benda
yang diikutinya. Pada contoh di atas terlihat jelas bahwa konstruksi ‘yang
berbahagia’ berfungsi membantu kita untuk mengenal ciri kata benda. Salah satu
ciri pengenal atau identitas kata berkategori benda (nomina) adalah
kemungkinan kata itu diperluas dengan bentuk yang ditambah kata sifat.
Apakah batu, kepandaian itu kata benda? Buktikan saja secara sederhana. Kalau
kedua kata itu dapat diperluas atau dapat berketerangan yang ditambah kata
sifat, maka batu dan kepandaian pasti berkategori nomina. Kita dapat
memperluas kata batu menjadi batu yang besar, batu yang kecil,
batu yang keras. Batu pasti kata benda (konkret).
Demikian
juga halnya dengan kata kepandaian. Bentuk kepandaian adalah bentuk turunan
dari bentuk dasar pandai (kata sifat). Afiksasi dengan konfiks ke-/-an
dalam kaidah morfofonemik berfungsi membendakan kata sifat, pembendaan. Dengan
demikian konfiks ke-/-an itu berfungsi nominalisasi kata berkategori adjektiva. Dalam kajaian
linguistik proses pembendaan kata sifat menjadi kata benda seperti ini dikenal
dengan sebutan proses transformasi kata. Kepandaian berkategori benda karena
dapat diperluas dengan bentuk yang ditambah kata sifat (kepandaian yang
tinggi). Mungkin orang bertanya apakah kepandaian itu dapat dilihat dan
dipegangseperti batu? Jawabannya, kepandaian adalah kata benda abstrak karena
salah satu ciri kata benda abstrak berkonfiks ke-/-an.
Kembali
pada masalah contoh-contoh di atas, kita melihat posisi frase yang berbahagia
itu dalam kalimat masing-masing mengikuti kata saat, hari, kesempatan,
waktu, pengantin, dan orang tua. Keenam kata tersebut diperluas dengan
kata yang ditambah kata sifat berbahagia. Jika hanya sampai di
sini, maka enam kata itu semuanya termasuk kata benda (ada yang konkret ada
yang abstrak). Persoalan kita tidak hanya sekadar menentukan apakah kata-kata
itu berkategori nomina atau tidak.
Apa
sebenarnya masalah pokok kita? Masalahnya adalah logika berbahasa kita. Apakah
ada saat, hari, kesempatan, waktu yang dapat merasa bahagia atau berbahagia?
Kalimat contoh (a) s.d. (d) jelas-jelas mau mengatakan kepada kita bahwa saat,
hari, kesempatan, dan waktulah yang berbahagia. Padahal, jika kita mencermati
makna keempat kalimat itu, maka yang berbahagia sebenarnya bukan saat, bukan
hari, bukan, kesempatan, bukan waktu tetapi orang, pihak yang berkesempatan
merasa bahagia, berbahagia. Saat, hari, kesempatan, waktu hanyalah faktor yang mengkondisikan, memungkinkan
orang untuk merasa bahagia atau berbahagia.
Hal
ini akan jelas terlihat kalau dibandingkan dengan makna kalimat (e) dan (f).
Pada dua kalimat ini yang merasa bahagia adalah pengantin dan orangtua.
Pengantin dan orangtua yang (berkesempatan) merasa bahagia atau berbahagia itu
jelas logis dan nalar. Saat, hari, kesempatan, dan waktu
yang berbahagia jelas tidak logis, tidak nalar karena saat, hari,
kesempatan, dan waktu adalah benda nonhuman. Saat tidak dapat diperluas dengan yang berbahagia tetapi
dapat diperluas dengan yang tepat, yang singkat, yang terbatas.
Kalimat (a) s.d. (d) harus dibenahi agar itu logis
atau nalar berdasarkan makna semantiknya. Makna semantik penggunaan frase yang
berbahagia pada keempat kalimat itu adalah kondisi yang membuat,
memungkinkan merasa bahagia. Dalam kaidah morfologis kondisi yang menyatakan
atau membuat orang merasa seperti apa yang persyaratkan bentuk dasarnya
dapat disubsitusi dengan konfiks meN-/-kan. Oleh karena itu bentuk yang
berbahagia pada contoh (a) s.d. (d) dapat diganti dengan bentuk membahagiakan.
Kita akan melihat kalimat (g) s.d. (j) berikut
sebagai pengganti kalimat yang tidak logis itu.
(g)
Pada saat yang membahagiakan ini
kita diundang untuk bergembira bersama.
(h)
Tidak diduga hari yang membahagiakan
ini dialami keluarga yang sederhana ini.
(i)
Kita semua patut bersyukur kepada Tuhan
atas kesempatan yang membahagiakan ini.
(j)
Hari Ulang Tahun biasanya menjadi waktu
yang membahagiakan bagi setiap orang.
Kalau
waktu membaca rubrik ini Anda yang merasa bahagia atau berbahagia, tentu tidak
logis kalau Anda mengatakan “Pada waktu yang berbahagia ini saya mendapat
penjelasan tentang yang tidak logis”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar