Sebelum Reformasi sebagian besar warga negara disibukkan oleh
kegiatan raksasa yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘proyek penataran’ yang
berkaitan dengan Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di
sekolah-sekolah masa itu ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Para
pejabat masa itu berhasil menelurkan puluhan biji atau butir yang diasalkan
dari lima sila yang dikenal dengan
Pancasila itu. Dalam perkembangan, Pendidikan Moral Pancasila itu dikaitkan
dengan masalah kewarganegaraan sehingga mucul pelajaran baru, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganeagaraan. Moralnya dieliminasi untuk mengakomodasi
masalah kewarganegaraan. Pelajaran baru itu berubah menjadi PPKn.
Kegiatan yang dikenal sebagai Penataran P4 dengan sendirinya
hilang bersama hilangnya kata moral dari pendidikan pancasila. Kegiatan seperti
itu biasanya menghabiskan dana miliaran rupiah. Pada masa itu Laporan
Pertanggungjawaban (LPj) tentang penggunaan dana sulit dipantau. Proyek
penataran seperti itu biasanya menjadi ladang bagi pelaku tindak korupsi dan
arena pengukur kemampuan memanipulasi data dan fakta. Tentu berbeda kalau
seorang eksekutif seperti bupati dan gubernur menggunakan uang negara. Laporan
penggunaan uang biasanya muncul dalam arena sidang dewan legislatif atau Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang kita kenal dengan sebutan sidang Laporan
Pertanggungjawaban (LPj) bupati atau gubernur.
Dua lembaga, eksekutif dan legislatif ini, dalam menjalankan
perannya sering membuat kesepakatan yang dapat dipahami dan diterima bersama.
Kesepakatan itu boleh dikatakan sebagai nota kesepahaman antara kedua lembaga.
Nota kesepahaman itu, secara luas dikenal dengan istilah ‘Memorandum of
Understanding’ yang melahirkan bentuk ringkas MoU. Kesepakatan atau nota kesepahaman ini pada
tataran makro dapat dikaitkan dengan kesepakatan antarnegara tentang pelbagai
urusan yang mengikat dua belah pihak.
Pada tiga paragraf di atas kita berhadapan dengan beberapa
bentuk ringkas (singkatan). Paragraf pertama ada bentuk ringkas PMP, P4, dan
PPKn. Paragraf kedua kita temukan bentuk ringkas DPR dan LPj. Pada paragraf
ketiga ada bentuk ringkas MoU. Bentuk-bentuk ringkas ini kelihatannya tidak
menyimpan persoalan karena penggunaan bentuk-bentuk ringkas seperti itu telah
meluas, minimal untuk seluruh kawasan Indonesia.
Bila dicermati dalam kaitannya dengan wawasan kebahasaan kita,
maka akan tampak bahwa bentuk-bentuk ringkas itu menyimpan sederetan masalah
kebahasaan yang semestinya dibenahi bersama dalam rangka menertibkan cara
berbahasa di antara kita, khususnya dalam wacana tulis. Masalah yang mengemuka
pada bentuk itu bertautan dengan kaidah penulisan bentuk ringkas (singkatan)
dan penulisan akronim. Dalam ulasan rubrik bahasa sebelumnya, sudah disinggung
tentang masalah serupa perihal konsep abreviasi.
Abreviasi dimaknai sebagai
proses morfologis berupa penanggalan
satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk
baru. Istilah lain untuk abreviasi ialah
pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kependekan. Abreviasi menyangkut
penyingkatan, pemenggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf (Kridalaksana,
1993:1). Pemakaian bentuk kependekan, sejauh mengikuti kaidah morfologis atau
kaidah peroses pembentukan kata, tidak akan membawa kesulitan. Salah satu
bentuk kependekan itu disebut singkatan yaitu hasil proses pemendekan yang
berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf, seperti:
PMP, PPKn, DPR, LPj, MoU, maupun yang dieja atau diucapkan sebagai kata
(akronim) seperti ABRI, Polri, Rudal.
Bentuk ringkas PMP dari bentuk panjang Pendidikan Moral
Pancasila dibentuk mengikuti kaidah pengekalan huruf pertama setiap kata.
Demikian juga bentuk DPR dan bentuk singkat akronim ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia). Jika bentuk PMP, DPR, dan ABRI diperhadapkan dengan bentuk
PPKn, LPj, dan MoU, maka tampak sesuatu yang lain dan unik. Bentuk PPKn diturunkan dari bentuk lengkap
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (terdiri dari tiga kata utama, satu
kata bantu penghubung ‘dan’; LPj diturungkan dari bentuk lengkap Laporan Pertanggungjawaban (dua kata
utama), MoU diturunkan dari bentuk lengkap Memorandum of Understanding
(dua kata utama dan satu kata bantu penghubung ‘of’.
Kaidah abreviasi mempersyaratkan bahwa untuk menghasilkan
bentuk ringkas huruf pada kata utama dikekalkan sedangkan kata bantu tidak
diperhitungkan. Dengan demikian bentuk PMP dan DPR itu benar sedangkan bentuk PPKn, LPj, dan MoU tidak benar, tidak
tepat. Seharusnya bentuk PPKn itu harus menjadi PPK saja, LPj cukup diganti
menjadi LP, dan MoU diubah menjadi MU. Pertanyaan kita, mengapa aksara n dikekalkan
dalam bentuk ringkas PPKn sedangkan bentuk ‘Kewarganegaraan’ itu hanyalah satu
kata. Hal yang sama untuk bentuk LPj.
Bukankah konstruksi pertanggungjawaban itu hanya satu kata? Mengapa aksara ‘o’
harus muncul dalam bentuk ringkas MoU? Bukankan of itu kata bantu saja dalam
bahasa Inggris.
Dengan mengikuti penjelasan di atas tentu kita harus menentukan
sikap yang jelas sebagai pembela dan pengguna bahasa yang tertib. Apakah kita
mempertahankan bentuk itu karena terlanjur salah, salah kaprah? Kami berpikir
kita perlu mencari jalan sendiri bukan kerena mau tampil beda tetapi
semata-mata untuk membenahi cara berbahasa kita. Kita harus mencari dan
menentukan bentuk ringkas yang tepat. Tugas praktisi media tentu tidak boleh
disepelekan dalam mencari bentuk yang tepat untuk disosialisasikan kepada massa
pembaca.
Kami menawarkan alternatif untuk bentuk salah kaprah PPKn
menjadi PPK, LPj menjadi akronim Lapja, MoU menjadi Moding.
Bentuk-bentuk ini hanyalah tawaran dengan harapan sekaligus dapat menjadi
wacana untuk didiskusikan lebih lanjut di antara kita yang menaruh minat dan
mencintai bahasa kita. Kita harus yakin
bahwa jika Menteri Pendidikan saja dengan mudah menggantikan SMU menjadi SMA,
SLTP menjadi SMP maka pencinta bahasa tentu dapat menawarkan agar aksara ‘n’
pada PPKn dan aksara ‘o’ pada MoU
dihapuskan dan diganti dengan kemungkinan lain.
Kita dapat menggunakan bentuk yang ditawarkan itu seperti pada
kalimat (a) Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPK) tidak diujikan secara nasional (b) Anggota
legislatif menerima Laporan Pertanggungjawaban (Lapja) Bupati Manggarai,
Antony Bagul (c) Pihak LSM dan pihak pemerintah menandatangani konsep Momorandum
of Understanding (Moding).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar