Judul
yang kami gunakan untuk rubrik bahasa pada kesempatan ini sama sekali tidak
bermaksud menuduh kelompok remaja yang melakukan tindakan tidak terpuji nakal
dan berbohong. Kita semua yakin bahwa sifat nakal dan berbohong itu melekat
pada siapa saja tanpa pembedaan umur. Apalagi, menjelang pemilu 2004 ini jumlah
manusia yang nakal dan manusia yang senang berbohong kemungkinan bertambah.
Kalau para remaja itu nakal atau melakukan segala hal yang berkategori nakal
maka kita menyebutnya kenakalan remaja. Artinya para remajalah yang berperan
sebagai agen atau subjek yang melakukan tindakan tidak terpuji itu. Kenakalan
remaja artinya kenakalan yang dilakukan, didemonstrasikan, dipertontontkan para
remaja. Kenakalan milik remaja.
Paralel
dengan itu, manakala kita mengatakan
kebohongan remaja, berarti kebohongan yang dilakukan oleh para remaja dengan
sasarannya siapa saja. Akankah kenakalan dan kebohongan remaja seperti ini
hilang tergeser oleh kebohongan jenis baru; kebohongan publik?
Pertanyaan ini jelas sulit dijawab karena hal itu sangat mengandaikan adanya
kajian terhadap fenomena sosial dan proses
analisis sosial yang utuh dan lengkap. Rubrik bahasa ini tentu saja
bukan tempat yang pas untuk memberi jawaban atas pertanyaan tersebut.
Kita
semua mengetahui, mendengar bahwa ada satu jenis kebohongan yang lahir dari
wacana yang bertautan erat dengan kondisi politik Indonesia saat ini. Proses
gesek menggesek, geser menggeser merebut posisi legislatif untuk sekelompok
orang yang mengobral janji memihak rakyat mulai mewabahi masyarakat kita. Demam
pemilu dengan segala janjinya akan bersaing ketat dengan demam berdarah artinya
perjuangan merebut posisi bukan tidak mungkin akan berdarah-darah. Belum lagi,
tiupan peringatan juri pemilu tidak diacuhkan. Kebohongan bakal menjadi menu
pokok masyarakat pemilih karena banyak janji berseliweran dan bersilang
sengketa merebut kuping kita. Ada janji sekolah gratis, ada janji penghapusan
dosa KKN, ada janji ini, ada janji anu. Janji-janji terus menjadi jajan yang
tidak diminati.
Ungkapan
lama pasti masih melekat dalam ingatan kita bahwa janji itu utang. Utang, kalau
janji tidak ditepati. Ringkas rumusan, kebohongan terjadi. Massa dan rakyat
dipemainkan meski tanpa mereka sadari bahwa mereka memang sedang dipermainkan
oleh pemain yang memang banyak main-mainnya. Main janji, main uang, main kotor,
main suap. Hidup lalu direduksi sebagai sekadar permainan yang enggan
melibatkan nurani dan nalar yang elegan.
Satu
kata dan satu ungkapan terlahir dari kondisi ini yaitu kebohongan publik
(kelik). Dalam konteks sosialisasi Pemilu para juri (KPU) selalu
mengingatkan para kontestan dan para caleg agar tidak melakukan kebohongan
publik. Makna kebohongan publik menurut ‘juri pemilu’
itu paralel dengan pengertian kebohongan yang dilakukan parpol dan caleg
terhadap massa pemilih. Artinya kalau saat berkampanye para caleg berjanji dan
janji itu kelak terbukti tidak ditepati maka itulah yang dimaksudkan dengan
istilah kebohongan publik.
Pengertian
seperti ini akan membingungkan karena kita atau pembaca biasanya memahami
ungkapan seperti ‘kenakalan remaja’ itu sebagai kenakalan yang dilakukan atau
yang diasalkan dari kelompok remaja. Paralel dengan ungkapan kenakalan remaja
ini muncul kata ‘kebohongan publik’. Seharusnya kalau mau sungguh paralel dengan
makna ungkapan ‘kenakalan remaja’, ungkapan kebohongan publik itu tidak bisa
lain selain berarti keohongan yang dilakukan publik, atau kebohongan yang
diasalkan, bersumber pada publik. Padahal dalam konteks wacana di atas ungkapan
‘kebohongan publik’ itu berarti kebohongan yang dilakukan terhadap publik.
Publik bukan sebagai pemilik kebohongan seperti halnya kenakalan sebagai milik
para remaja. Kebohongan publik sebenarnya berarti publik menjadi sasaran
aktivitas berbohong si anu dan si ana. Pelakuknya adalah kontestan, caleg, dan
parpol. Kalau kita tetap memaknai ungkapan ‘kebohongan publik’ itu sebagai
kebohongan terhadap publik maka seharusnya ungkapan ‘kenakalan remaja’ harus
diartikan sebagai kenakalan terhadap para remaja.
Kenakalan
dan kebohongan pada dua ungkapan di atas sama-sama berkategori adjektif (kata
sifat). Proses morfologis dengan konfiks ke-/-an yang menurunkan bentuk
kenakalan dan kebohongan menjadikan dua kata yang semula berkategori adjektif
mengalami transkategori menjadi kata benda (nomina) abstrak. Tampak jelas bagi
kita bahwa nominalisasi (pembendaan kata sifat) dapat dibentuk dengan konfiks ke-/-an.
Setelah
mengikuti penjelasan seperti ini tentu saja pemakaian ungkapan ‘kebohongan
publik’ yang diartikan sebagai
kebohongan terhadap publik jelas salah.
Kalau kita menggunakan bentuk itu dalam pengertian seperti ini, maka itu
artinya kita menerima ungkapan ‘kebodohan masyarakat’ itu bermakna menjadikan
masyarakat bodoh. Padahal, dalam proses morfologis, makna proses membuat
sesuatu mejadi…paralel dengan konfiks me-/-i atau konfiks pe-/-an. Proses
membuat masyarakat menjadi bodoh itu paralel dengan ungkapan membodohi masyarakat atau pembodohan
masyarakat.
Jadi,
‘kebohongan publik’ yang dimaknai seperti di atas jelas merupakan bentuk pembodohan dari aspek
berbahasa karena makna ‘publik yang menjadi sasaran’ aktivitas berbohong itu
tidak dapat dikatakan sebagai kebohongan publik. Makna seperti itu, hanya pas
kalau diganti dengan kata membohongi publik atau pembohongan
publik. Dalam konteks pemilu wacana ‘kebohongan publik’ memang terasa menyakitkan karena publik
justru dituduh sebagai pemilik tunggal kebohongan. Padahal, kalau kita jujur
mungkin yang terjadi justru sebaliknya kebohongan itu milik mereka yang
berambisi dan mencari kuasa, jabatan, harta…Itulah nasib rakyat**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar