68. Bilangan Tak Terbilang
Kalau
dalam wacana lisan kita mendengar kata ‘bilangan’ atau dalam wacana tulis kita membaca kata ‘bilangan’ maka pikiran kita secara
intuitif dan bahkan otomatis
membayangkan sederetan angka yang berkaitan dengan perhitungan matematis dan
ekonomis. Bilangan dalam pengertian yang biasa dan paling sederhana sama dengan
angka-angka. Dalam dunia hitung menghitung (matematika) dan dalam usaha mencari
keuntungan (disiplin ekonomi) kita berhadapan dengan angka-angka.
Suatu
hal mengejutkan kita (paling kurang pemakai dan pemerhati bahasa) adalah
munculnya kecenderungan dalam diri masyarakat pemakai bahasa (pebahasa) untuk
memperluas penggunaan kata bilangan itu pada konteks kehidupan yang lain. Kata
bilangan tampaknya mengalami perluasan konteks penggunaannya oleh pemakai
bahasa. Frekuensi atau tingkat keseringan penggunaan kata ‘bilangan’ bercorak ‘out
of context’ ini sudah sampai pada
tingkat tidak terbilang. Kenyataan ini akan menjadi jelas bagi kita kalau kita
tergolong orang yang cukup rajin membaca laporan dan berita yang dipublikasikan
media massa lokal kita.
Kita
bisa saja akan menjumpai atau menemukan penggunaan kata ‘bilangan’ itu seperti
yang kami kutip dari surat-surat kabar yang memiliki segmen pembaca dalam
kawasan Nusa Tenggara Timur misalnya
Harian Umum Pos Kupang, Flores
Pos, dan Surya Flores. Perhatikan dan cermatilah kalimat (a)
s.d. (d) berikut ini:
(a) Pelaku
tindak kejahatan itu bersembunyi di bilangan hutan pinggir kota.
(b) Kajahatan
KKN sudah melanda semua unsur di bilangan birokrat.
(c) Mereka
yang merambah bilangan hutan lindung dijerat hukum pidana.
(d) Kelompok
masyarakat di bilangan pantai sering mengebom ikan dengan potasium.
Semua
pembaca umumnya memahami (kami menduga demikian) apa yang menjadi pesan atau
makna pokok kalimat (a) s.d. (d) di atas. Penggunaan kata ‘bilangan’
pada contoh-contoh di atas dalam konteks komunikasi biasa, dan terlebih lagi
dalam konteks karakteristik bahasa media,
tampaknya tidak perlu dipersoalkan. Pembaca yang memiliki kompetensi
komunikasi akan menilai contoh pewacanaan seperti itu berkategori ‘berterima’.
Artinya, orang mengerti maksudnya. Dengan kata lain, bahasanya baik.
Bagi
mereka (pembaca) yang memiliki kompetensi linguistik (pengetahuan kebahasaan
yang bercorak formal), semua contoh di atas perlu dipersoalkan terutama masalah
penggunaan kata ‘bilangan’. Inti persoalannya, apakah penggunaan,
penempatan kata ‘bilangan’ pada contoh-contoh itu tepat jika dikaitkan
dengan kaidah kebahasaan yang bukan saja berterima tetapi berterima karena
memang dilandasi kaidah kebahasaan yang benar.
Untuk
menjernihkan permasalahan seperti ini kita perlu melihat kembali pengertian
dasar kata ‘bilangan’ itu. Secara leksikal bentuk kata ‘bilangan’
itu muncul sebagai kata bentukan (setelah proses morfologis) bentuk dasar
‘bilang’. Bentuk ‘bilangan’ sendiri memiliki arti (1) banyaknya benda (jumlah benda), (2) satuan
jumlah, (3) satuan dalam sistem matematis yang abstrak dapat diunitkan,
ditambah, dikalikan (4) golongan dan lingkungan (5) lingkungan, daerah (catatan
arti dalam konteks ragam percakapan), (6) ramalan tentang baik buruk, (7)
takdir, (8) ideal yang bercorak abstrak (Bdk. KBBI, 1989: 116).
Berdasarkan
uraian atau deskripsi leksikal tentang makna kata ‘bilangan’ ini, kita
dapat melihat bahwa makna (5) diikuti
dengan satu catatan penting yang menunjukkan bahwa bentuk ’bilangan’
yang menunjukkan lingkungan, tempat, daerah, kawasan hanyalah dalam konteks
bahasa percakapan. Itu artinya bentuk tersebut hanya akan menghasilkan bahasa
yang baik atau pas untuk mereka yang berkomptensi komunikatif. Makna utama kata
‘bilangan’ itu merujuk pada makna (1) s.d. (4).
Kembali
pada contoh wacana (a) s.d. (d) di atas kita melihat bahwa penggunaan kata ‘bilangan’
itu mengacu pada makna tempat, lingkungan, daerah, kawasan. Mengingat makna itu
diterima hanya dalam konteks bahasa percakapan, kita mau tidak mau harus
membenahi penggunaan bentuk ‘bilangan’ pada semua contoh tersebut.
Alternatif apa yang dapat kita gunakan? Apakah harus secara eksplisit
menggantikan kata ‘bilangan’ dengan
‘daerah’, ‘kawasan’, ‘lingkungan’. Jika kemungkinan ini kita pilih maka kita
akan temukan bentuk kalimat (e) s.d. (h) berikut:
(e) Pelaku
tindak kejahatan itu bersembunyi di kawasan hutan pinggir kota.
(f) Kajahatan
KKN sudah melanda semua unsur di lingkungan birokrat.
(g) Mereka
yang merambah kawasan hutan lindung dijerat hukum pidana.
(h) Kelompok
masyarakat di daerah pantai sering mengebom ikan dengan potasium.
Pilihan
dengan cara menggantikan seperti ini masih menyisakan persoalan karena makna
wacana (e) s.d. (h) tetap berkategori makna untuk bahasa percakapan. Bukan
makna bahasa dalam pengertian yang formal. Tambahan pula penggantian atau
proses substitusi seperti itu menghasilkan bentuk wacana yang tidak efektif
karena penggunaan kata yang menggantikan kata ‘bilangan’ terkesan
mubazir. Mengapa? Karena, semua orang tahu bahwa : hutan, birokrat, pantai adalah kata yang
bermakna/merujuk pada tempat.
Dengan
demikian langkah terakhir, kita harus membenahi kembali bentuk-bentuk yang
sudah diubah dengan proses substitusi kata ‘bilangan’ pada wacana (e)
s.d. (h) dengan menghilangakan kata yang mubazir. Kita akan dapati kalimat
efektif seperti (i) s.d. (l) berikut ini:
(i) Pelaku
tindak kejahatan itu bersembunyi di hutan pinggir kota.
(j) Kajahatan
KKN sudah melanda semua unsur di birokrat.
(k) Mereka
yang merambah hutan lindung dijerat hukum pidana.
(l) Kelompok
masyarakat di pantai sering mengebom ikan dengan potasium.
Ya…kita
harus berani menghilangkan ‘bilangan’ biar bilangan tetap terbilang…..**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar