Kolom
Asal Omong, SKM DIAN, Minggu, 27 Juli 2003 memuat Tulisan Pak Frans
Anggal (orang penting di DIAN) dengan judul “KMB dan Dosa Pers”. Kolom
‘Asal Omong’ ini tampaknya tidak asal omong karena pada kolom itu penulis
sebenarnya ingin menyampaikan hal penting berkaitan dengan bahasa sebuah media.
Kolom bernada “Pengakuan Dosa” itu disertai dengan argumentasi yang serba
teknis dalam titik pandang seorang pengasuh media. Kami harus mengucapkan
terima kasih kepada Pak Frans karena masih memiliki apresiasi yang tinggi
terhadap bahasa kita. Ulasan “Asal Omong” seperti ini seharusnya dan semestinya
menjadi bahan refleksi buat para pengasuh media. Inilah salah satu bentuk
keprihatinan terhadap kegamangan dalam berbahasa, bertutur, dan berkomunikasi.
Ulasannya,
bagi siapa saja pasti akan menerimanya sebagai bentuk keterbukaan dan kejujuran
seorang yang sedang menghadapi dilema. Pada satu sisi Pak Frans yang memiliki
kepekaaan berbahasa tetap menaruh apresiasi yang tinggi terhadap penggunaaan
bahasa yang taat asas (sesuai pedoman EYD) tetapi pada sisi lain ia harus taat
pada karakteristik bahasa media yang cenderung singkat dan pendek. Karakteristik
singkat, pendek karena keterbatasan ruang memberi peluang penciptaan bentuk
ringkas atau bentuk pendek baik berupa singkatan maupun berupa akronim.
Hal pokok yang tersirat
dalam ulasan Pak Frans berpautan dengan masalah pemakaian bentuk ringkas untuk
menjawabi karakteristik bahasa media. Inti ulasannya adalah ‘pemakaian bentuk
ringkas yang tumpang tindih sehingga membingungkan masyarakat pemakai dan
pemaham bahasa. Bentuk ringkas KMB, misalnya terasa membingungkan karena bentuk
itu dapat mengacu pada bentuk panjang seperti Konferensi Meja Bundar; Kabupaten
Manggarai Barat; Kelompok Manusia Berbakat; Kelas Menengah Bawah; Kelompok
Manusia Bujang; Kelompok Manusia Binggung; dll.
Pertanyaannya: mengapa
satu bentuk ringkas KMB dapat menghasilkan bentuk panjang yang sekian banyak?
Pak Frans sekali lagi, saya yakin demikian, akan menjawab dari perspektifnya
sebagai orang yang terlibat dalam dunia media. Penggunaan bentuk ringkas
hanyalah pertimbangan praktis dan demi ketaatasasan pada prinsip ‘ekonomi
kata’. Jawaban seperti ini terasa lebih dari cukup. Persoalannya justru ketika
media menggunakan prinsip ekonomi kata ini melebihi ambang batas toleransi
kepatutan jika ditempatkan pada perspektif
kaidah kebahasaan. Hal ini juga diakui Pak Frans bahwa pers cenderung
memilih untuk terbiasa bergampang-gampang
dalam membahasakan berita. Apalah artinya sikap bergampang-gampang kalau
pada akhirnya membingungkan pembaca?
Kami sangat sependapat
dengan penulis bahwa takaran kewajaran, ketepatan, dan pertimbangan pemerkayaan
bahasa harus menjadi landasan pelahiran sebuah bentuk ringkas. Apalah artinya
sebuah media berbangga setelah menciptakan suatu bentuk ringkas kalau bentuk
ringkas itu sudah ada. Kasus penciptaan bentuk KMB untuk Kabupaten Manggarai
Barat, mungkin wajar, mungkin dinilai sudah pas tetapi apakah bentuk seperti
itu memang bentuk ringkas baru? Bukankah kita sudah mengenal bentuk itu ketika
kita belajar sejarah? Pelahiran bentuk ringkas yang mengada-ada memang
jelas-jelas merusakkan bahasa atau dalam ungkapan Pak Frans adalah dosa karena
mengotori khazanah bahasa.
Kami sebagai pengasuh Rubrik
Bahasa tidak hanya terganggu tetapi lebih dari itu terdorong untuk
menjelaskan beberapa hal yang kiranya membantu para pembaca dan terutama
pencinta bahasa Indonesia termasuk pengasuh media. Tentu saja dengan catatan
bahwa apa yang kami uraikan bukanlah hasil sikap bergampang-gampang. Ulasan ini
sengaja tidak diperuntukkan pada kolom “Asal Omong” agar tidak menimbulkan
kesan tidak sungguh-sungguh menjelaskan. Maaf saja untuk Pak Frans karena kami
tidak mau kalau ulasan ini dijuduli dengan kelompok kata ‘asal tulis’ pada
kolom ‘Asal Omong’ seperti yang diharapkan.
Prinsip praktis, singkat,
gampang-gampang sebagai prinsip, tentu saja tidak berlaku mutlak. Seorang
jurnalis boleh saja bebas mencipta,
memilih bentuk ringkas tetapi perlu diingat karya jurnalistik tidak akan
melepaskan dirinya dari bahasa. Aturan, norma, kaidah kebahasaan harus dipatuhi
ketika seorang jurnalis ingin menginformasikan sesuatu kepada khalayak pembaca.
Diakui atau tidak, bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa yang
paling kreatif di samping empat ragam kreatif lain yaitu ragam bisnis, ragam
akademik, ragam filosofis, ragam literer. Kreatif di sini tidak dimaksudkan
memberikan kebebasan tanpa batas. Kebebasan selalu terbatas karena konteks
situasi dan tempat. Ibarat ikan boleh bebas di dalam air tetapi begitu
dilepaskan di darat ikan tidak akan merasakan lagi kebebasan itu. Ketika
jurnalis terlibat dalam karya jurnalistik, sebagai dunia pengguna dan pengolah
bahasa, kebebasannya menjadi dibatasi oleh kaidah kebahasaan.
Kembali pada masalah pokok
yang dipersoalkan pada kolom ‘Asal Omong’ tadi kiranya perlu dijelaskan di sini
tentang kaidah pembentukan, penciptaan bentuk ringkas dan akronim dalam bahasa
Indonesia. Pada rubrik yang sama kita temukan bentuk ringkas lain untuk
Kabupaten Manggarai Barat hasil mainan Om Toki dalam wacana “Senggol’nya. Bagi
Om Toki Manggarai Barat bisa diringkas menjadi Mabar dengan konsekuensi
harus ada bentuk ringkas Mate untuk Manggarai Tengah, lalu Mati
untuk Manggarai Timur. Satu lagi kami usulkan Maut kalau nanti ada isu
pembentukan Kabupaten Manggarai Utara.
Baik KMB maupun Mabar,
Mate, Mati, dan Maut sama-sama dikategorikan sebagai bentuk ringkas. Hanya
saja, ada yang termasuk bentuk ringkas berupa singkatan (KMB) dan ada bentuk
ringkas berupa akronim (Mabar, Mate, Mati, dan Maut). Bentuk-bentuk ringkas
seperti ini dalam dunia bahasa dikenal dengan sebutan Abreviasi.
Istilahan Abreviasi adalah, proses
morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau
kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk abreviasi ialah
pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kependekan. Abreviasi menyangkut
penyingkatan, pemenggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf (Kridalaksana,
1993:1).
Pemakaian bentuk
Kependekan, sejauh mengikuti kaidah morfologis atau kaidah peroses pembentukan
kata tidak akan membawa kesulitan. Hal
ini akan menjadi masalah ketika terjadi kasus seperti yang dipersoalkan dalam
kolom ‘Asal Omong’ yang diangkat Pak Frans. Kita mengetahui bahwa dalam bahasa
Indonesia terdapat bentuk-bentuk kependekan seperti ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia), Polri (Polisi republik Indonesia), dsb. (dan sebagainya),
dng. (dengan), Deppen (Departemen Penerangan), rudal (peluru kendali).
Kependekan-kependekan itu tidak menimbulkan kesukaran pada diri pemakai
bahasa. Kesulitan barulah timbul ketika pemakai bahasa menghadapi kependekan
yang jarang dipakai atau dipakai dalam bidang yang amat khusus. Pemakai bahasa
Indonesia menyimpan dan menggunakan ribuan bentuk kependekan tanpa
memperhatikan sistem dan proses pembentukannya atau pun melihat hubungan antara
bentuk kependekan dan kepanjangannya.
Harimurti
Kridalaksana, dalam buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia
(1992:160-161), memberi contoh penggunaan bentuk kependekan ini. Bentuk
kependekan sering berasosiasi dengan kata atau frase penuh lain karena pemakai
bahasa ingin membentuk kependekan yang mirip dalam bunyi, dengan bentuk lain,
supaya maknanya pun mirip. Bentuk
ringkas Gestapu (Gerakan September Tiga puluh) misalnya, dihubungkan dengan
Gestapo; atau Wasalam (Wawasan Almamater),
Patok (4 Oktober), dan benci (benar-benar cinta) yang ”enak” didengar.
Melihat contoh tersebut
tidak sulit mencari alasan mengapa Gerakan 30 September (istilah kaum komunis
tahun 1965), dipendekkan menjadi Gestapu oleh golongan antikomunis. Sebabnya
tentulah terletak pada keinginan golongan antikomunis untuk mengungkapkan
kekejaman gerakan itu, sama kejamnya dengan Gestapo (Geheime Staatspolizei)
di Jerman pada tahun 1930-an hingga 1940-an.
Kita tidak perlu heran kalau golongan komunis tidak menyukai akronim
ini, sehingga diciptakan akronim lain, yaitu Gestok (Gerakan Satu Oktober),
atau singkatan lain, yaitu G-30-S.
Jadi, penghindaran
asosiasi dengan kependekan lain atau dengan leksem lain juga sering menjadi
pertimbangan dalam penciptaan suatu kependekan.
Contoh lain: untuk pembantu rektor diciptakan akronim Purek dan
dihindari singkatan PR, karena singkatan ini dipergunakan pula untuk Pemuda
Rakyat, sebuah organisasi komunis.
Dalam praktiknya, asosiasi
itu-atau lebih tepat faktor pragmatis-lebih menentukan wujud kependekan
daripada kaidah atau sistematik fonotaktis atau fonologis yang oleh para puris
(yang mempertahankan kemurnian) dituntut agar diikuti dalam pembentukan kependekan
apa pun.
Kebalikan dari penggunaan
kependekan, yaitu menafsirkan leksem tertentu sebagai kependekan dan
memberinya kepanjangan, tentulah dikenal oleh pembaca. Contoh: leksem benci yang ditafsirkan
sebagai 'benar-benar cinta', sebel sebagai 'seneng betul', P4 sebagai 'pergi
pagi pulang petang' sekali-sekali kita dengar.
Namun itu semua harus kita anggap sebagai lelucon yang menyegarkan.
Berdasarkan contoh bentuk
ringkas yang diuraikan di atas kita dapat mengelompokkan jenis kependekan itu.
Perlu disadari bahwa bentuk kependekan dalam bahasa Indonesia muncul karena
terdesak oleh kebutuhan untuk berbahasa secara praktis dan cepat seperti argumen
yang dikedepankan dalam kolom ‘Asal Omong’.
Kebutuhan ini paling terasa di bidang teknis, seperti cabang-cabang
ilmu, kepanduan, angkatan bersenjata, dan kemudian menjalar ke bahasa
sehari-hari. Bentuk-bentuk kependekan itu adalah
(1) singkatan, yaitu salah satu hasil
proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf
demi huruf, seperti: FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia); DKI (Daerah
Khusus Ibukota), dan KKN (Kuliah Kerja Nyata); maupun yang tidak dieja huruf demi
huruf, seperti: dll. (dan lain-lain), dng (dengan), dst. (dan seterusnya).
(2) akronim, yaitu proses pemendekan
yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan
dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik
Indonesia, seperti: FKIP /efkip/ dan bukan /ef/, /ka/, /i/, /pe/; ABRI /abri/
dan bukan /a/, /be/,/er/,/i/; AMPI
/ampi/ dan bukan /a/, /em/, /pe/,/i/
(3) penggalan, yaitu proses pemendekan
yang mengekalkan salah satu bagian - dari -leksem, seperti: Prof.(Profesor), Bu
(Ibu), Pak (Bapak)
(4) kontraksi, yaitu proses pemendekan
yang meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem, seperti: tak dari tidak; takkan dari tidak akan; sendratari dari seni drama
dan tari ; berdikari dari berdiri di atas kaki sendiri; rudal dari peluru
kendali
(5) lambang huruf, yaitu proses
pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih yang menggambarkan konsep
dasar kuantitas, satuan atau unsur, seperti: g (gram); cm (sentimeter); Au
(Aurum). Bentuk ini disebut lambang karena dalam perkembangannya tidak
dirasakan lagi asosiasi linguistik antara bentuk itu dengan kepanjangannya.
(1) Kependekan berupa
Singkatan
Mengklasifikasi
bentuk-bentuk kependekan dalam bahasa Indonesia bukanlah hal yang mudah. Vries
melalui artikelnya berjudul “Indonesian
Abbreviations and Acronyms” (1970) secara eksplisit menegaskan bahwa singkatan
di dalam bahasa Indonesia tidak bersistem. Pernyataan Vries ini perlu diragukan
kebenarannya karena dalam kenyataannya
hanya sebagian kecil bentuk pendek dalam bahasa Indonesia yang tidak bersistem
atau berpola. Dengan kata lain sebenarnya hanya sebagian kecil kependekan yang
sukar diklasifikasikan. Hal ini merupakan ciri morfologis suatu bahasa: ada
proses yang teratur, dan ada tambahan dan kekecualian.
Pada berbagai bentuk
kependekan sering tumpang tindih, baik pada bentuk kependekan berupa lambang
huruf maupun pada singkatan atau akronim, misalnya lambang huruf F dapat
dipakai untuk Fahrenheit, Fiat, Fokker, Florin; singkatan BB dapat dipakai
untuk Balai Bahasa, Balai Banjar, Balai Besar, balanced budget, Bea Beban,
Bujur Barat, dan Bukit Barisan; akronim KAMI dapat dipakai untuk Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia dan Kesatuan Artis Muda Indonesia. Hal yang samalah yang
terjadi berkaitan dengan bentuk singkat KMB.
Argumentasi yang dapat
dipakai untuk menolak hipotesis Vries di atas adalah dengan mengklasifikasi
pembentukan singkatan yang berpola dan bersistem dalam bahasa Indonesia. Bentuk
singkatan terjadi karena proses-proses berikut.
·
Pembentukan dengan huruf pertama tiap
komponen, misalnya: P untuk Perempuan; A untuk agama; B untuk barat, F
untuk Fokker; KTI untuk Kawasan Timur Indonesia, JI untuk
Jemaah Islamiah, FPI untuk Forum Pembela Islam, DAU untuk Dana Alokasi Umum
dll. untuk dan lain-lain.
·
Pembentukan dengan huruf pertama dengan
pelesapan konjungsi, preposisi, reduplikasi dan reposisi, artikulasi dan kata,
misalnya: ABKJ untuk Akademi Bahasa dan
Kebudayaan Jepang; BASUKI untuk Badan Asuhan Sekolah dan Usaha
Kebudayaan Indonesia; RTF untuk Radio, Televisi dan Film (konjungsi dan
dilesapkan)
·
Pembentukan dengan huruf pertama dengan
bilangan, bila berulang, misalnya: P3K untuk Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan; D3 untuk Dinas Dermawan Darah; 4K untuk Kecerdasan, Kerajinan,
Kesetiaan, dan Kesehatan; BBNA3 untuk Bea Balik Nama Alat Angkutan Air; P3AB
untuk Proyek Percepatan Pengadaan Air Bersih
·
Pembentukan dengan dua huruf pertama dari
kata: Tn untuk Tuan; Aj untuk ajudan;
As. untuk asisten; Ay. untuk ayat; Ny
untuk nyonya
·
Pembentukan dengan tiga huruf pertama dari
sebuah kata: Acc untuk accord; Ant
untuk antara; Ins untuk instruksi,
insurance, inspektur; Int untuk
intendans; Obl untuk obligasi;
Okt untuk Oktober
·
Pembentukan dengan empat huruf pertama dari
suatu kata, misalnya: Purn untuk
purnawirawan; Sekr untuk sekretaris; Sept untuk September
·
Pembentukan dengan huruf pertama dan huruf
terakhir kata: BA untuk bintara; DI untuk
divisi; Fa untuk firma; Ir untuk
insinyur; jo untuk juncto
·
Pembentukan dengan huruf pertama dan huruf
ketiga:Bd untuk badan; Gn untuk genting
·
Pembentukan dengan huruf pertama dan
terakhir dari suku kata pertama deengan huruf pertama dari suku kata kedua,
misalnya:Kpt untuk kapten; Ltn untuk letnan; Gub untuk gubernur; Kab untuk
kabinet; Kav untuk kavaleri; Kel untuk keluarga; kep untuk keputusan; kes untuk
kesatuan, kesehatan, kesebelasan; Kol untuk kolonel; kom untuk komandan,
komando, komisariat, komisaris, komunis, komunikasi; Kop untuk koperasi,
kopral; lab untuk laboratorium; let untuk
letnan; log untuk logistik; May untuk mayor; Med untuk Medan, medis; Nov untuk November; Pav untuk paviliun; Pel untuk pelabuhan; Red untuk redaksi; Sek untuk sekretariat; Top untuk topografi;Ter untuk teritorium.
·
Pembentukan dengan huruf pertama kata
pertama dan huruf pertama kata kedua dari gabungan kata: a.d. untuk antedium; VW untuk Volkswagen
·
Pembentukan dengan huruf pertama dan
diftong terakhir dari kata: Sai untuk
Sungai
·
Pembentukan dengan dua huruf pertama dari
kata pertama dan huruf pertama kata kedua dalam suatu gabungan kata: swt untuk
swatantra
·
Pembentukan dengan huruf pertama suku kata
pertama dan huruf pertama dan terakhir suku kata kedua dari suatu kata:Bdg
untuk Bandung; tgl untuk tanggal; dgn untuk dengan; ttg untuk tentang
·
Pembentukan dengan huruf pertama dari tiap
suku kata: hlm untuk halaman ttg
untuk tertanggal
·
Pembentukan dengan huruf pertama dan huruf
keempat dari suatu kata: DO untuk depot
·
Pembentukan dengan huruf yang tidak
beraturan: Mgr untuk monseigneur; Ops untuk
operasi; KMD untuk komandan; Pt
untuk platinum; Kam untuk keamanan; Dtt untuk ditandatangani; Hat untuk kejahatan;
(2) Kependekan berupa Akronim dan Kontraksi
Subklasifikasi
kontraksi lebih sukar ditentukan daripada subklasifikasi singkatan, penggalan,
atau lambang huruf karena kaidahnya sukar diramalkan. Dengan akronim juga sulit dibedakan. Sebagai pegangan dapat ditentukan bahwa bila
seluruh kependekan itu dilafalkan sebagai kata wajar, kependekan itu merupakan
akronim, Di sinilah letak tumpang tindih kontraksi dan akronim. Secara garis besar kontraksi mempunyai subklasifikasi
sebagai berikut:
·
Pembentukan dengan suku pertama dari tiap
Komponen: Orba untuk orde baru; Orla
untuk Orde lama; Latker untuk Latihan kerja; Penjas untuk pendidikan jasmani;
Komdis untuk Komando Distrik.
·
Pembentukan dengan suku pertama komponen
pertama dan pengekalan kata seutuhnya: banstir untuk banting stir; angair untuk
angkutan air
·
Pembentukan dengan suku kata terakhir dari
tiap komponen: Gatrik untuk tenaga listrik; Lisin untuk ahli mesin; Girlan untuk pinggir jalan; Menwa
untuk resimen mahasiswa;Purrat untuk
tempur darat; Rogasar untuk Biro Harga Pasar.
·
Pembentukan dengan suku pertama dari
komponen pertama dan kedua serta huruf pertama dari komponen selanjutnya:
Gapani untuk Gabungan Pengusaha Apotik Nasional Indonesia;
Himpa untuk Himpunan Peternak Ayam; Markoak untuk
Markas Komando Angkatan Kepolisian
·
Pembentukan dengan suku pertama tiap
komponen dengan pelesapan konjungsi: Anpuda
untuk Andalan Pusat dan Daerah;
·
Pembentukan dengan huruf pertama tiap
komponen: KONI untuk Komite Olahraga
Nasional Indonesia; LEN untuk Lembaga
Elektronika Nasional; LIK untuk Lembaga
Inventarisasi Kehutanan
·
Pembentukan dengan huruf pertama tiap
komponen frase dan pengekalan dua huruf pertama komponen terakhir: Aika untuk
Arsitek Insinyur Karya; Aipda
untuk Ajun Inspektur Polisi Dua
·
Pembentukan dengan dua huruf pertama tiap
komponen:Unud untuk Universitas Udayana;
Bapefi untuk Badan Penyalur Film.
·
Pembentukan dengan tiga huruf pertama tiap
komponen: Komrad untuk komunikasi radio;
Korwil untuk koordinator wilayah; Puslat
untuk pusat latihan; Banser untuk bantuan serbaguna; Buser untuk buru sergap.
·
Pembentukan dengan dua huruf pertama
komponen pertama dan tiga huruf pertama komponen kedua disertai pelesapan
konjungsi: abnon untuk abang dan none
(Jkt)
·
Pembentukan dengan dua huruf pertama
komponen pertama dan komponen ketiga serta pengekalan tiga huruf pertama
komponen kedua: Nekolim untuk Neokolonialis,
Kolonialis, Imperialis; Odmilti untuk Oditur Militer Tinggi
·
Pembentukan dengan tiga huruf pertama
komponen pertama dan ketiga serta pengekalan huruf pertama komponen kedua:
Nasakom untuk Nasionalis, Agama,
Komunis; Nasasos untuk
Nasionalisme, Agama, Sosialisme
·
Pembentukan dengan tiga huruf pertama tiap
komponen serta pelesapan konjungsi:Falsos untuk
Falsafah dan Sosial
·
Pembentukan dengan dua huruf pertama
komponen pertama dan tiga huruf pertama komponen kedua: Fahuk untuk
fakultas hukum; Jabar untuk Jawa Barat; Jatim untuk Jawa Timur; Aftim untuk Afrika Timur
·
Pembentukan dengan empat huruf pertama tiap
komponen disertai pelesapan konjungsi: Agitprop
untuk Agitasi dan propaganda
·
Pembentukan dengan berbagai huruf dan suku
kata yang sukar dirumuskan: Akaba untuk
Akademi Perbankan; Agipoleksos untuk Agama, Ideologi, Politik, Ekonomi,
dan Sosial;
(3) Kependekan berupa Penggalan
Penggalan mempunyai
beberapa subklasifikasi sebagai berikut.
·
Pembentukan dengan penggalan suku kata
pertama dari suatu kata: Dok untuk dokter; Sus untuk suster (aslinya: Zuster)
·
Pembentukan dengan suku terakhir suatu
kata: Pak untuk Bapak (kata sapaan); Bu
untuk Ibu (kata sapaan); Dik untuk Adik
(kata sapaan); Ti untuk Tuti (nama diri); Nak untuk Anak (kata sapaan); kum
untuk hukum
·
Pembentukan dengan tiga huruf pertama dari
suatu kata: Bag untuk bagian; Dep untuk
departemen; Des untuk Desember; Dir untuk Dirman; dir untuk direktur;
dis untuk distrik; div untuk divisi; fak
untuk fakultas
·
Pembentukan dengan empat huruf pertama dari
suatu kata:Brig untuk brigade; Kapt untuk kapten; Prof untuk profesor; Sept
untuk September;Viet untuk Vietnam
·
Pembentukan dengan kata terakhir dari suatu
frase:ekspres untuk kereta api ekspres harian untuk surat kabar harian; kawat untuk surat kawat
·
Pelesapan sebagian kata: apabila untuk
pabila; kena apa untuk kenapa; tidak akan untuk takkan; bahwa sesungguhnya
untuk bahwasanya
(4) Kependekan berupa Lambang Huruf
Lambang huruf dapat
disubklasifikasikan menjadi:
(a)
lambang huruf yang menandai bahan kimia
atau bahan lain,
(b)
lambang huruf yang menandai ukuran,
(c)
lambang huruf yang menyatakan bilangan,
(d)
lambang huruf yang menandai
kota/negara/alat angkutan,
(e)
lambang huruf yang menyatakan mata uang,
dan
(f)
lambang huruf yang dipakai dalam berita
kawat.
(a) Lambang huruf yang
menandai bahan kimia atau bahan lainnya:
· Pembentukan
dengan huruf pertama dari kata: N untuk
nitrogen; O untuk oksigen, p
untuk fosfor; S untuk sulfur
· Pembentukan
dengan dua huruf pertama dari kata:Ar untuk argon; Au untuk aurum,
Ca untuk kalsium; Ir untuk
iridium; Na untuk natrium; Ne untuk neon; Ni untuk nicolum; Ra untuk radium; Ti untuk titan
· Pembentukan
dengan huruf dan bilangan yang menyatakan rumus bahan kimia: H2O untuk
hidrogen dioksida; H2SO4 untuk
asam sulfat; N2O
untuk natrium oksida
· Pembentukan
dengan huruf pertama dan huruf ketiga: Cl untuk
klorida; Br untuk barium; Mg
untuk magnesium
· Pembentukan
dengan gabungan lambang huruf. Na Cl
untuk natrium klorida; KOH untuk
kalium hidroksida; KCN untuk kalium sianida
(b). Lambang huruf yang
menandai ukuran
· Pembentukan
dengan huruf pertama:g untuk garam;1
untuk liter; m untuk meter; A untuk
ampere; v untuk volt; w untuk watt; C
untuk Celsius; F untuk Fahrenheit
· Pembentukan
dengan huruf pertama dari komponen gabungan:km untuk kilometer hm untuk hektometer;
ml untuk mililiter; kw untuk kilowatt
· Pembentukan
dengan huruf pertama dan terakhir dari komponen pertama dan huruf pertama
komponen kedua: dam untuk dekameter; dal untuk
dekaliter dag untuk dekagram
· Pembentukan
dengan huruf pertama, ketiga dan keempat: yrd untuk yard
(c)
Lambang huruf yang menyatakan bilangan:I untuk 1; V untuk 5; X untuk 10; L
untuk 50; C untuk 100; D untuk 500; M untuk 1000; CXC untuk 190; LM untuk 950;
MCM untuk 1900; MCMLXXXIV untuk 1984
(d) Lambang huruf yang menandai kota/negara/alat
angkutan
·
Pembentukan dengan dua huruf pertama + satu
huruf pembeda:AMI untuk Ampenan; AMQ untuk
Ambon; BIK untuk Biak; DJB untuk Jambi; DJJ untuk Jayapura; MES untuk
Medan; SIN untuk Singapore
·
Pembentukan dengan tiga huruf konsonan: JKT
untuk Jakarta; PDG untuk Padang PGK untuk
Pangkalpinang; PLM untuk Palembang; TRK
untuk Tarakan; BKK untuk Bangkok
·
Lambang huruf yang menandai nomor mobil:
A:Banten; B:Jakarta; D:Bandung; E:Cirebon; F:Bogor; AB:Yogyakarta;
AD:Surakarta; DB:Minahasa; DR:Lombok; EB:Flores
(e)
Lambang huruf yang menandai mata uang:Rp untuk rupiah; $ untuk dollar; R
untuk rupee; DM untuk
Deutsche Mark; Fr untuk franc
(f) Lambang huruf yang digunakan dalam berita kawat:
HRP untuk harap; DTG
untuk datang; SGR untuk segera.
Setelah mengikuti
uraian panjang di atas kiranya kita dapat mengelompokkan pelbagai bentuk
kependekan yang kini bertebaran memenuhi dan menghiasi berita pada pelbagai
media kita. Lebih dari itu kiranya dengan penjelasan seperti ini para praktisi
media yang merasa diri sebagai orang pertama yang menciptakan bentuk kependekan
dapat menciptakan kependekan yang bukan saja karena alasan praktis dan mencari
gampang tetapi lebih dari itu hendaknya mempertimbangkan pelbagai harapan dalam
kaitannya dengan pemerkayaan kosa kata dalam bahasa Indonesia. Mungkin perlu
kita menghindari sikap mencari jalan pintas dalam aneka bentuk ringkas yang
pelahirannya tanpa gagasan penyangga yang kukuh. Marilah kita memperkaya kosa kata bahasa kita
dengan cara yang pantas dalam takaran norma kebahasaan.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar