Seorang
pastor misionaris pernah melontarkan pertanyaan kepada kami perihal istilah
‘Raskin’. Sang pastor tidak mempersoalkan Kepala Desa atau Lurah yang
berperkara dengan rakyatnya karena penyelewengan dalam membagikan beras untuk
warga desa yang tergolong miskin. Sulitlah rasanya bagi sang misionaris untuk
memahami makna kata ‘Raskin’ sebagai bentuk ringkas untuk ‘beras miskin’ itu.
Hal serupa ternyata juga membingungkan seorang teman kami yang nota bene lahir
dan dibesarkan di Indonesia dan mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa
resminya. Kami terdorong untuk memberi penjelasan sekaligus jawaban terhadap
pertanyaan sang misionaris dan teman itu dalam rubrik bahasa edisi ini.
Jenis
penyelewengan yang dirasakan sungguh merambah pemerintahan tingkat Desa atau
Kelurahan terpaut masalah pembagian
materi yang dikenal dengan
sebutan “Beras Miskin” atau Raskin sebagai akronim ciptaan media massa kita.
Penggunaan bentuk ‘Raskin’ ini sudah jamak terbaca dan terdengar dalam aneka
wacana yang bersentuhan dengan urusan dunia perut. Pemunculan istilah ‘Raskin’
ini bukan saja memperkaya kosa kata bahasa tetapi justru membingungkan serta
menurunkan citra berbahasa kita. Lebih dari itu, dalam nada sarkastis kami
dapat mengatakan bahwa penciptaan dan penggunaan bentuk ‘Raskin’ itu berpotensi
menurunkan derajat kemanusiaan kita. Mengapa? Karena manusia disejajarkan
dengan beras.
Untuk
menjawab pertanyaan seperti ini, kami mengambil contoh wacana berita pada Flores
Pos (Sabtu, 18/5) yang berjudul “RSUD Ruteng Berikan Pelayanan Gakin”.
Semula kami menduga bahwa bentuk ‘Gakin’ merupakan bentuk ringkas atau sinonim
untuk “Garam miskin, mentega miskin”. Dugaan kami semata-mata didasarkan pada
analogi bentuk ‘Raskin’ untuk ‘beras miskin’. Ternyata, setelah merunut lebih
jauh terhadap berita itu, bentuk ‘Gakin’ itu menjadi akronim untuk Keluarga
Miskin. Apakah bentuk ‘Gakin’ ini muncul karena bernalogi pada bentuk
‘Raskin?’. Dengan kata lain apakah pemunculan bentuk ‘Gakin’ ini paralel dengan
bentuk ‘Raskin?’ Pihak yang dapat menjawab secara pasti, jelas si pencipta
bentuk itu.
Kami
menduga bahwa bentuk ‘gakin’ yang muncul 12 kali dalam berita yang relatif
singkat itu ditawarkan sebagai bentuk yang analog atau paralel dengan bentuk
‘raskin’. Hal yang dipersoalkan dalam
ulasan ini sebenarnya bukan soal frekuensi kemunculan akronim ‘raskin’ dan
‘gakin’ itu. Persoalan yang paling pokok sebenarnya bersentuhan dengan logika
berbahasa kita. Miskin atau kaya adalah kata sifat yang memberikan keterangan
tentang benda yang khusus. Tidak semua benda dapat diperluas dengan keterangan
miskin atau kaya. Baju, kerbau, kelapa, roti misalnya, termasuk kata benda
tetapi tidak dapat berketerangan miskin atau kaya. Semua kata yang disebutkan
di sini berkategori benda nonhuman. Kategori nonhuman inilah yang menafikkan
penempatan kata miskin atau kaya sebagai keterangan untuk kata-kata tersebut.
Miskin
atau kaya hanya tepat dijadikan keterangan untuk kata benda human (manusia).
Keluarga yang disebutkan dalam berita yang kami kutip dalam ulasan ini mengacu
atau berefrensi manusia. Kata miskin yang memberi keterangan pada keluarga,
penduduk, manusia adalah tepat. Sebaliknya, kalau kita menerima bentuk beras
diperluas dengan keterangan miskin, maka mau tidak mau kita juga menerima
bentuk baju miskin, kerbau miskin,
kelapa miskin, roti miskin. Sebagai orang yang sadar dalam berbahasa, tentu
saja kita menolak bentuk-bentuk seperti ini.
Menghadapi
kasus ‘raskin’ ini, kita disadarkan bahwa prinsip ekonomi kata sebagai hukum
dunia media massa tidak dapat berlaku mutlak. Penghilangan atau pelesapan unsur
tertentu untuk menghasilkan bentuk ringkas tidak selamanya tanpa risiko. Kasus
‘raskin’ ini berisiko terhadap tataran semantik atau makna kata. Bentuk ‘baju
miskin’ kalau mau disingkat menjadi ‘jukin’ tampaknya membingungkan. Konstruksi
seperti ini dapat ditafsir menjadi ‘baju untuk orang miskin’ atau ‘baju milik
orang miskin’. Sejajar dengan contoh ini, konstruksi ‘raskin’ hanya dapat
dimaknai ‘beras untuk orang miskin’.
Risiko
pergeseran makna pada tataran semantik ini lebih jauh akan berpengaruh pula
pada tataran sintaksis. Kita akan berhadapan dengan kalimat-kalimat yang tidak
lazim (anomali) seperti kalimat (a) Beras miskin (raskin) dibagi untuk keluarga
miskin (gakin); (b) Keluarga miskin (gakin) kehabisan beras miskin (raskin).
Kalimat (a) secara lengkap berdasarkan maknanya dapat direkonstruksi menjadi
‘Beras untuk orang miskin dibagi untuk keluarga (yang) miskin’. Kalimat ini secara sintaksis bukanlah kalimat
yang baik dan efektif. Kalimat efektifnya: ‘Beras dibagikan kepada keluarga
yang miskin’. Kalimat (b) jika direkonstruksi berdasarkan maknanya menjadi
‘Keluarga (yang) miskin kehabisan beras untuk orang miskin’. Kalimat ini juga
tidak efektif. Kalimat efektifnya: Keluarga miskin kehabisan beras.
Ulasan ini sama sekali tidak bermaksud melarang media untuk mencari
bentuk ringkas untuk menghemat kata. Ibarat kita mencari jalan singkat untuk
mencapai tujuan secara cepat, tepat demikian pula kita menciptakan bentuk ringkas dengan tetap
mengabdi kepada pembaca. Artinya, pembaca tidak dibingungkan. Kita semua senang
mencari jalan singkat, tetapi jelas kita mencari jalan singkat dengan risiko
yang kecil bahkan harus bebas dari risiko. Raskin adalah bentuk ringkas yang
lebih berisiko daripada Gakin. Marilah kita mencari jalan singkat yang aman
untuk kita dan juga aman untuk pembaca. Kalau mau, kami menawarkan bentuk
ringkas baru menggantikan Raskin dengan Rasukin (Beras untuk
orang miskin).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar