Harian Kompas edisi Sabtu (4/9)
menurunkan berita yang sungguh mengejutkan kami. Keterkejutan kami muncul
karena ada dua alasan. Pertama, Berita yang menjadi headline berjudul Pendidikan
Indonesia Alami Proses Involusi memberikan gambaran betapa dunia pendidikan
kita memang tersungkur ke papan bawah. Sungguh suatu berita duka tentang
pendidikan sebagai institusi paling bergengsi di republik ini. Berita itu
sekaligus memaparkan deretan kesia-siaan atau kemubaziran pelbagai usaha dan
kesibukan nasional pada bidang pendidikan selama ini. Hasil akhirnya, hanyalah Involusi
(istilah yang terkesan mentereng) tetapi
sebenarnya mengguratkan kerapuhan yang mencemaskan karena kata Involusi itu secara hurufiah berarti kemunduran fungsi alat tubuh. Ironis memang, karena dari
tahun ke tahun dan dari menteri pendidikan yang satu ke menteri pendidikan lain
muncul aneka program sekadar membongkar pasang kebijakan dunia pendidikan
tetapi hasil akhirnya hanya kemunduran.
Hal kedua, yang menjadikan berita itu
menarik, berkaitan dengan masalah bahasa yang mendorong kami untuk mengulasnya
dalam rubrik bahasa edisi ini. Ada satu kalimat dalam berita itu yang menarik
untuk diulas. Kita jumpai kalimat yang tertulis demikian: Perluasan
pendidikan tanpa memerhatikan mutu seperti pada masa Orde Baru jika dilanjutkan
hanya akan menabrak batu. Dalam kalimat ini kita jumpai satu bentuk kata
yang telah mengalami proses morfologis yaitu kata memerhatikan.
Munculnya bentuk memerhatikan ini pada Harian Kompas,
dapat menuai pertanyaan dan persoalan berkaitan dengan masalah kebahasaan.
Orang, pembaca, pemerhati bahasa
kemungkinan besar mempertanyakan penggunaan bentuk ‘memerhatikan’ ini.
Satu hal yang kami tahu dan juga menjadi
keyakinan kami bahwa untuk sementara Harian Kompas tergolong harian yang
memiliki komitmen yang luar biasa dan
yang paling taat pada kaidah penggunaan bahasa yang standar. Konsekuensinya,
tentu ada tuntutan yang mengharuskan harian ini untuk berperan sebagai media pembinaan
cara berbahasa yang benar. Sederhananya, bukan mustahil apa yang digunakan Kompas bakal menjadi ‘kompas’ atau referensi
bagi pemakai bahasa dan harian lainnya di tanah air.
Dalam hubungannya dengan penggunaan bentuk memerhatikan
dalam berita yang dijadikan headline di atas, pembaca mempersoalkan atau
mempertanyakan ketepatan pemakaian bentuk memerhatikan itu. Persoalannya muncul
justru manakala pembaca mempertentangkan
bentuk memerhatikan dengan bentuk memperhatikan
yang memang sudah lazim dan jamak kita jumpai. Kriteria kelaziman tentu saja
bukan menjadi argumentasi paling sahih untuk mengatakan bahwa bentuk
memperhatikan adalah bentuk yang tepat dan benar dibandingkan dengan bentuk memerhatikan.
Bagaimana caranya atau argumentasi apa
yang harus digunakan untuk menjelaskan masalah seperti ini? Kami menawarkan dua
cara atau alternatif untuk menjelaskan kemunculan atau penggunaan bentuk memerhatikan
yang mengejutkan sekaligus membingungkan itu.
Cara pertama, yang paling sederhana adalah
menyusun suatu deretan paradigmatik untuk kata dan bentuk kata yang memiliki
pola perilaku morfologis yang sama atau hampir sama. Dari deretan kata dan
bentuk kata yang bercorak paradigmatik itu kita dapat melihat ketepatan kata
dan bentuk yang dipersoalkan. Bentuk memerhatikan diturunkan dari
bentuk dasar hati. Bentuk yang lain
adalah per-hati-an, per-hati-kan, memper-hati-kan.
Pola ini dapat kita bandingkan dengan bentuk dasar tanding yang
menurunkan bentuk per-tanding-an,
per-tanding-kan, memper-tanding-kan atau bentuk dasar temu
yang menurunkan bentuk per-temu-an, per-temu-kan, memper-temu-kan. Jika kita menerima bentuk memerhatikan
sebagai bentuk yang benar maka kita juga harus menerima bentuk memertemukan
untuk bentuk dasar temu dan bentuk memertandingkan untuk bentuk dasar
tanding.
Kehadiran bentuk-bentuk seperti ini dapat
dicurigai sebagai bentuk yang dihasilkan dari proses morfologis yang tidak taat
asas. Bahasa Indonesia mengenal banyak afiksisasi antara lain afiksisasi dengan
pe-, pe-/-an, per, per-/-an me-, me-/-kan, memper-/-kan. Kaidah
afiksisasi dengan konfiks me-/-kan pada kata dasar yang diawali konsonan
/p/ akan mengambil variasi bentuk (alomorf) mem-/-kan (terjadi
pelesapan bunyi konsonan /p/). Bentuk dasar perlu misalnya, jika diimbuhi
konfiks me-/-kan maka akan menjadi me-merlu-kan. Dengan contoh
ini, kita memastikan bahwa kalau ada bentuk memerhatikan, memertemukan,
memertandingkan maka pengandaian kita yang paling benar adalah
menerima bentuk perhatikan, pertemukan, pertandingkan sebagai bentuk dasar.
Ketiga bentuk itu diawali konsonan /p/ dan harus mengikuti kaidah morfologis
seperti pada bentuk dasar perlu. Kenyataannya bentuk dasar untuk ketiga kata
itu justru hati, temu, dan tanding. Di sini kita temukan kesalahan dalam proses
morfologis afiksisasi dengan memper-/-kan.
Cara kedua, kita bertolak dari tataran
sintaksis atau kaidah pembentukan kalimat dalam bahasa Indonesia. Kita mengenal
pelbagai cara mengelompokkan kalimat dalam bahasa Indonesia sehingga kita
mengenal ada kalimat aktif, ada kalimat pasif. Untuk menentukan apakah suatu
konstruksi tergolong kalimat aktif, kita dapat
memperhatikan kata kerja (verba) yang menempati fungsi predikat. Kalau
predikatnya ditempati kata berkategori verba berawalan me-, maka dapat
dipastikan itu tergolong kalimat aktif. Cermatilah contoh kalimat (a) dan (b)
berikut ini:
(a) Pemerintah memerhatikan pendidikan anak.
(b) Pemertintah memperhatikan pendidikan anak.
Bentuk memerhatikan secara sekilas sama dengan bentuk memperhatikan
dan tergolong bentuk aktif karena berawalan me- dan menempati
fungsi predikat dalam kalimat. Namun, apakah keduanya harus diterima sebagai
bentuk yang benar? Ujilah dengan cara mentransformasikan kedua kalimat itu
menjadi kalimat pasif (verbanya berawalan di-) sehingga kita dapati bentuk yang tidak berterima (c) dan bentuk yang berterima (d) berikut ini:
(c) Pendidikan dimerhatikan pemerintah(?)
(d) Pendidikan dieprhatikan pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar