Pada
teks upacara pemberkatan gedung Gereja Katedral Ruteng kami temukan kelompok
kata: Lagu Pembuka, Kata Pembuka, Doa Pembuka. Seorang rekan imam yang
hadir dalam perayaan agung itu bertanya kepada kami: “Manakah yang benar Lagu
Pembuka, Kata Pembuka, Doa Pembuka atau Lagu Pembukaan, Kata Pembukaan,
Doa Pembukaan? Pertanyaan itu belum dapat kami jawab karena disampaikan
saat perayaan berlangsung dan kami berpikir rekan imam itu hanya sekadar
berkelakar. Kami justru menganjurkan
agar penanya mencari jawabannya pada seksi liturgi atau pihak yang
menyiapkan teks upacara.
Jawaban
yang diperoleh, tampaknya membenarkan bahwa bentuk Lagu Pembuka, Kata
Pembuka, Doa Pembuka sebagai bentuk
yang benar. Dasar argumentasinya sangat
sederhana. Bentuk ini dikatakan bentuk yang benar karena ada bentuk lain
sebagai pasangannya yaitu Lagu Penutup, Kata Penutup, Doa Penutup. Argumentasi
dan penjelasan seperti ini tentu saja patut diragukan. Mengapa? Karena tidak
semua kata harus ada pasangan sebagai lawannya. Apakah dapat dibenarkan kalau
ada bentuk mengemukakan pendapat dengan
sendirinya harus ada mengebelakangkan pendapat? Atau kalau pada
sebuah buku kita temukan Kata Pengantar haruskah bentuk ini diperlawankan dengan kata
penjemput? Dalam buku kita temukan kata pengantar pada bagian awalnya
tetapi kita tidak akan temukan kata penjemput pada bagian akhirnya.
Bentuk-bentuk
analogi yang dipertanyakan ini sengaja dikedepankan untuk menguji validitas
argumentasi munculnya bentuk lagu pembuka hanya karena ada bentuk lagu
penutup dan bukan lagu pembukaan hanya karena tidak ada bentuk lagu
pentupan. Tidak terduga, saat
merayakan misa untuk mengakhiri sidang pastoral di Ruteng, seorang imam yang
berperan sebagai komentator mengajak peserta sidang katanya: “Marilah kita
bangkit berdiri sambil menyanyikan lagu pembuka”. Kami kembali digugat
seorang imam tua yang mempersoalkan pemakaian bentuk ‘lagu pembuka’ yang
harus dibandingkan dengan bentuk ‘lagu pembukaan’.
Untuk
menjawab persoalan perihal bentuk yang benar, kami mengajak pembaca untuk
menelusuri proses morfologis (perubahan dan bentuk kata) dan proses semantik
(makna sepatah kata). Baik kata Pembuka maupun Pembukaan, secara
morfologis terbentuk dari kata dasar (morfem bebas) buka yang mengalami
pengimbuhan dengan prefiks pe- (morfem terikat) untuk kata pembuka.
Sementara, bentuk pembukaan secara morfologis terbentuk dari kata dasar buka
dengan morfem terikat berupa konfiks pe-/-an.
Bentuk
dasar ‘buka’ menurut penjenisan kata
berkategori verba (kata kerja) tetapi berpotensi mengalami pemindahan atau
transkategori menjadi nomina (kata benda) konkret dan abstrak. Perhatikanlah
contoh (a) s.d. (d) berikut:
(a)
Peminum
bir membutuhkan pembuka botol
sebelum meminum bir.
(b)
Satpam
biasanya berperan sebagai pembuka gerbang kawasan perkantoran.
(c)
Acara
pembukaan pameran lukisan
itu berlangsung meriah.
(d)
Ibu
guru membacakan teks Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Kata
‘pembuka’ pada kalimat (a) dan (b) masing-masing berkategori benda (nomina)
yang menyatakan alat dan (pro)nomina yang menyatakan pelaku. Kata ‘pembukaan’
pada contoh (c) dan (d) berkategori nomina abstrak. Makna atau nosi konfiks pe-/-an
pada contoh itu menyatakan ‘proses me- atau menyatakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan me-. Pembukaan berarti proses
membuka atau segala hal yang berkaitan dengan aktivitas membuka.
Secara implisit maknanya mau menyatakan bahwa suatu aktivitas masih
berkelanjutan atau bersifat kontinyu.
Pembukaan
berarti awal suatu aktivitas dan masih ada aktivitas lanjutannya. Tetapi, kalau
dalam perayaan: lagu, doa yang paling akhir dinyanyikan atau dibacakan
tidak bisa dikatakan sebagai lagu atau
doa penutupan. Lebih tepat dikatakan lagu atau doa penutup. Lalu, bagimana
caranya menjelaskan kata ‘penutupan’ pada kalimat yang ada pada teks
upacara misalnya :”Buku panduan acara penutupan sidang?” Dalam contoh
ini kata penutupan masih tepat karena dalam teks itu termuat serangkaian
acara yang masih harus dilaksanakan. Sidang masih akan ditutup dengan melewati
serangkaian acara yang termuat dalam buku panduan itu.
Sampai
di sini jelaslah bagi kita bahwa bentuk lagu pembuka, doa pembuka,
kata pembuka itu tidak tepat. Hal yang sama berlaku untuk bentuk lagu
penutupan, doa penutupan, kata penutupan. Yang tepat adalah: lagu pembukaan,
doa pembukaan, kata pembukaan dan lagu penutup, doa penutup, kata penutup.
Untuk
memudahkan kita memahami masalah ini baiklah kita melihat logika berbahasa
kita. Jika suatu tindakan, kegiatan, akativitas yang hendak dimulai dan
diteruskan atau dilanjutkan, maka itu artinya kita masih berada dalam proses.
Oleh karena itu, makna proses melakukan aktivitas itu dalam tindak berbahasa
dapat dinyatakan dengan menggunakan konfiks pe-/-an. Proses atau segala
sesuatu yang berhububngan dengan hal membuka dapat dikatakan secara paralel
dengan kata pembukaan. Segala hal yang berkaitan dengan kegiatan
membajak, mencuri, menindas tentu tidak dapat kita katakan pembajak, pencuri,
penindas melainkan pembajakan, pencurian, dan penindasan.
Ketika kami berusaha untuk menjelaskan masalah ‘Lagu Pembuka dan Doa
Penutupan’ ini, kami sebenarnya memberikan sesuatu yang disebut sebagai ‘Penjelasan’
dan bukan penjelas. Yang Anda baca sekarang adalah ‘penjelasan’ bukan ‘penjelas’.
Kami sendiri boleh disebut sebagai penjelas, sebagai pelaku**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar