61. Dasarnya Rinci
atau Perinci?
Dalam surat-surat
kabar sering kita jumpai kalimat-kalimat yang memuat kata seperti merinci,
dirinci, perincian, terperinci, memerinci, diperinci seperti pada contoh (a)
s.d. (g) berikut ini.
(a) Kepala dinas
kehutanan enggan “merinci” kasus pembabatan kopi milik rakyat.
(b) Kebijakan bupati
perlu “dirinci” lebih lanjut oleh jajaran di bawahnya.
(c) Bendahara membuat “perincian” tentang
laporan keuangan pada akhir tahun.
(d) Gambaran tentang
tokoh cerita yang amat “terinci” disebut deskripsi tokoh.
(e) DPR menolak laporan
pertanggungjawaban bupati karena tidak “terperinci”.
(f) Kepala proyek “memerinci”
jenis kebutuhan pembangunan kepada tim Banwas
(g) Laporan lengkap
tentang penggunaan uang “diperinci” di dalam teks lampiran.
Jika kita
mencermati semua kalimat di atas dan memperhatikan kata yang dicetak dalam
tanda petik maka kita dapat bertanya tentang bentuk dasar kata-kata yang bertanda petik itu. Pertanyaannya sederhana saja. Apakah bentuk
dasar kata yang bertanda petik itu ‘rinci”
atau ‘perinci”? Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah. Kita
perlu melihat proses morfologis kata tersebut dalam penggunaannya seperti pada contoh di atas.
Ditinjau dari
proses morfologis penggunaan bentuk dasar pada contoh di atas memperlihatkan
dua bentuk dasar yaitu bentuk dasar “rinci” dan bentuk dasar “perinci”.
Bentuk dasar “rinci” terdapat pada contoh (a) s.d. (d). Pada contoh (a)
terjadi proses morfologis karena bentuk dasar “rinci” mendapat afiks
(prefiks) me- sehingga menghasilkan kata kerja aktif transitif
(merinci). Pada contoh (b) bentuk dasar “rinci” mendapat afiks (prefiks)
di- sehingga menurunkan bentuk
kata kerja pasif (dirinci). Pada kalimat (c) bentuk dasar “rinci”
mendapat afiks (konfiks) per-/-an sehingga menurunkan kata benda abstrak “perincian”. Contoh (d)
memperlihatkan bentuk dasar “rinci” yang mendapat afiks (prefiks) ter- yang menurunkan kata kerja pasif “terinci”.
Contoh kalimat (e),
(f), dan (g) menunjukkan proses morfologis bentuk dasar “perinci”. Kalimat (e) yang memuat kata “terperinci”
menunjukkan bentuk dasarnya “perinci”
dan mendapat afiks (prefiks) ter-. Kalimat (f) tersebut
menunjukkan bentuk dasar “perinci” dan mendapat afiks (prefiks) me-,
dan kalimat (g) menunjukkan bentuk dasar “perinci” itu mendapat afiks
(konfiks) per-/-an.
Penjelasan yang
betolak dari konsep morfologis seperti ini meyakinkan kita bahwa bentuk dasar
yang mungkin adalah “rinci” dan “perinci”. Benarkah dua bentuk
dasar ini hanya sebagai kemungkinan? Jika benar maka kita tetap bertanya
manakah dari dua bentuk itu yang paling mungkin sebagai bentuk dasar?
Untuk memberikan
jawaban yang pasti dan meyakinkan, sebaiknya kita membuka Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). KBBI mencantumkan kata perinci (1989:672) dan kata rinci
(1989:744). Kedua kata tersebut
berkategori kata kerja (verba) sehingga dalam struktur kalimat akan
menduduki fungsi predikat atau bercorak predikatif. Pada bentuk dasar (leksem)
perinci kita temukan entri memerinci, terperinci, perincian dan pada bentuk
dasar (leksem) rinci kita temukan entri merinci (memerinci), rincian
(perincian), perincian (pemerincian), terinci (terperinci).
Betolak dari
catatan leksikon seperti ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa penentuan kata
dasar “rinci” tampaknya didasarkan atas kata perincian. Bentuk perincian
dianalisis sebagai kata dasar rinci yang mendapat konfiks pe-/-an. Karena kata dasarnya rinci, maka bentukan
yang benar ialah merinci, dirinci, dan terinci.
Lalu mengapa ada
bentuk memerinci dan diperinci dan terperinci? Untuk menjawab masalah ini kita
perlu merunut asal usul kata memerinci itu sendiri. Kata memerinci dipungut atau diserap dari
bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa ditemukan
bentukan-bentukan: mrinci, diprinci, kaprinci, dan peprincen. Dengan membandingkan atau menganalogikan
bentuk-bentuk seperti ini, dapatlah diketahui bahwa dalam bahasa Jawa bentuk
dasarnya ialah “princi” bukan “rinci”.
Bentuk dasar kata
Jawa “princi” ini kemudian diadopsi atau diserap menjadi kata bahasa
Indonesia. Proses mengadopsi kata bahasa daerah atau bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia harus mempertimbangkan banyak hal (kaidah tersendiri). Salah
satu kaidah penulisan unsur serapan itu berkaitan dengan masalah penyesuaian
ejaan atau adaptasi. Artinya, kata, istilah bahasa asing atau bahasa daerah
yang diadopsi itu harus mematuhi kaidah-kaidah seperti yang termuat di dalam
Buku Pedoman Pembentukan Istilah (Bdk. Pedoman Pembentukan Istilah terbitan
Grasindo 1993 hlm.25-48).
Bentuk dasar “princi”
(Jawa) ketika diserap ke dalam bahasa
Indonesia perlu penyesuaian atau adaptasi berkaitan pengucapan bahasa
Indonesia. Bentuk dasar “princi” dalam pengucapannya tampaknya sulit bagi
penutur bahasa Indonesia pada umumnya sehingga bentuk dasar itu harus diubah
agar memenuhi syarat pelafalan Indonesia. Di sini, diperlukan satu peristiwa
bahasa yang dikenal dengan sebutan
anaptiksis dan epentetis.
Anaptiksis adalah
peristiwa penyisipan vokal pendek di antara dua konsonan untuk menyederhanakan
struktur suku kata. Epentetis adalah
penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata terutama kata pinjaman untuk
disesuaikan dengan pola fonologis bahasa peminjam. Contoh penyisipan /e/ pada
kata klas menjadi kelas (Kridalaksana, 1993: 14, 51). Dengan demikian, bentuk
dasar “princi” diadaptasikan dengan menyisipkan /e/ pada bentuk dasar itu
sehingga menurunkan bentuk dasar “perinci” dalam bahasa Indonesia.
Adanya bentuk
perincian dapat dijelaskan dengan dua macam asumsi atau perkiraan. Pertama, bentuk perincian bukan kata dasar
yang mendapat konfiks per-/-an, melainkan kata dasar perinci mendapat
akhiran -an. Kedua, kata dasar
perinci mendapat konfiks per-/-an menjadi perperincian, tetapi karena
dalam bentukan tersebut terdapat dua bentuk per- maka pernya dikurangi
satu menjadi perincian. Terlepas dari perkiraan mana yang betul, yang jelas
kata dasarnya bukan rinci melainkan perinci.
Jadi, karena kata
dasarnya perinci, maka yang betul ialah memerinci, diperinci, dan terperinci,
bukannya merinci, dirinci dan terinci. Dengan demikian contoh kalimat (e), (f) dan (g) di atas itu benar sedangkan
kalimat (a) s.d. (e) dinyatakan salah dan harus dibenahi menjadi seperti
kalimat (1) s.d. (4) berikut:
(1) Kepala dinas
kehutanan enggan “memerinci” kasus pembabatan kopi milik rakyat.
(2) Kebijakan bupati
perlu “diperinci” lebih lanjut oleh jajaran di bawahnya.
(3) Bendahara membuat “pemerincian” tentang
laporan keuangan pada akhir tahun.
Gambaran tentang
tokoh cerita yang amat “teperinci” disebut deskripsi tokoh.**
Informasi yang bagus..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus