72. Jamak Terjadi dan
Terlihat
Beberapa
hari lalu seorang rekan bertanya kepada kami tentang arti ungkapan jamak
terlihat dan jamak terjadi. Menurut penanya ungkapan itu didapatinya
dalam surat kabar. Lalu kami merunut surat kabar dan berhasil menemukan
ungkapan itu dalam konteks berita yang relatif panjang. Ternyata, Flores Pos
edisi Rabu, (11/2) halaman 14 memuat dua tulisan masing-masing berjudul: “Gara-gara
Dituding Curi Star, Piter Neke Nilai Soi Arogan” dan “ Rakyat Berhak
Pecat Anggota DPR”. Kedua berita tersebut merupakan karya jurnalistik
koresponden Flores Pos berinisial (hil) yang berdomisili di Jakarta.
Berita pertama merupakan wacana perdebatan dua oknum dari
dua partai politik yang berbeda. Sementara itu, berita kedua berisi pandangan
atau komentar seorang kandidat doktor hukum perihal tanggung jawab para anggota
DPR. Dari dua berita itu kita jumpai kalimat (a) dan (b) berikut:
(a)
Hal
serupa jamak terjadi di mana-mana.
(b)
Jamak
terlihat: anggota Dewan telah menjadi subordinat dari pejabat-pejabat
eksekutif.
Bagi
penanya penggunaan kata ‘jamak’ pada dua kalimat itu tidak tepat dan
kedengarannya tidak lazim. Ketidaklaziman itu, akan terasa jelas kalau
menempatkan penggunaan kata jamak itu pada keseluruhan konteks
pewacanaan dua berita di atas. Secara pragmatik pembaca yang bertanya itu
memahami makna kata jamak pada dua kalimat di atas, sebagai substitusi
kata banyak (berkaitan dengan jumlah) atau sering (berkaitan
dengan frekuensi).
Konsep
dan pengertian substitusi kata seperti
ini dalam kajian kebahasaan terpaut erat
pada istilah sinonim kata. Pembaca tentu saja mengetahui pengertian konsep
sinonim itu dengan segala aturan pemakaiannya dalam kalimat atau wacana.
Penggunaan sinonim itu memang sah-sah saja tetapi karena pertimbangan rasa,
citra berbahasa, penggunaan sinonim sebagai unsur substitutif mengharuskan
pemakaiannya secara tepat. Pilihan kata yang tepat turut menentukan cita rasa
sebuah wacana. Pendek kata, kita harus memahami seluk beluk konsep sinonim
dalam tindak berbahasa baik lisan maupun tertulis.
Hal
pokok yang dipersoalkan penanya berkaitan dengan ketepatan penggunaan kata ‘jamak’
pada dua kalimat di atas. Apakah tepat kata ‘jamak’ itu yang harus menempati
sebagian kalimat tersebut? Untuk itulah, kita perlu memahami konsep sinonim itu
dalam berbahasa. Kita mencoba membandingkan kemungkinan kata ‘jamak’ itu
diganti dengan sinonimnya ’banyak’ atau ‘sering’. Pertanyaan tentang ketepatan
pemakaian kata jamak pada dua kalimat di atas dapat diduga karena
pembaca memahami kata jamak itu sebagai lawan kata tunggal atau
satu.
Konsep
Jamak (plural) dan tunggal (singular) dalam tata bahasa biasanya
memberi keterangan pada kata berkategori nomina (benda) dan tidak memberi
keterangan pada kata berkategori verba (kerja). Penggunaan jamak pada
contoh di atas justru memberi keterangan pada verba. Itulah yang menimbulkan
kesan ketidaklaziman dan menuntut kehadiran unsur substitusi dengan mengambil
sinonim kata jamak sesuai konteks wacana. Penanya memberi alternatif substitusi
kata jamak itu dengan kata banyak atau sering.
Penggantian
seperti ini tentu saja dapat diterima dengan mempertimbangkan dasar argumentasi
di balik penggantian itu. Pemahaman penanya akan kata jamak yang sinonim dengan
kata banyak atau sering mengharuskannya mengganti kata jamak itu dengan kata
banyak atau sering. Kami pada dasarnya menerima
argumentasi seperti itu apalagi kalau bertolak dari konsep kesesuaian penempatan
kata (kolokasi) jamak dengan kata berkategori verba. Jamak menuntut penggunaan kata berkategori nomina, bukan
verba. Apakah dengan ini masalahnya sudah terjawab?
Penjelasan
di atas memang kelihatannya cukup memadai tetapi sebenarnya tidak semudah itu
kita mengganti kata jamak itu dengan unsur sinonimnya. Penggunaan kata jamak di
atas dapat dipertahankan tanpa harus merasa tidak lazim. Mengapa? Karena kata
jamak itu bercorak polisemi artinya memiliki banyak arti. Dalam Kamus
Sinonim tercantum dua arti pokok untuk kata jamak yaitu (1) lazim, tidak
aneh, biasa, wajar, umum (2) banyak, majemuk, ganda (Harimurti, 1989:54). Lebih
dari itu, KBBI (1989:348) memuat 4 makna dasar kata jamak yakni (1) lazim,
tidak aneh, lumrah (2) bentuk kata yang menyatakan lebih dari satu atau banyak
(3) wajar (4) berkaitan dengan urusan keagamaan.
Setelah
merunut makna leksikal kata jamak dan melihat keseluruhan konteks penggunaannya
pada kutipan (a) dan (b) di atas, kita dapat memastikan bahwa kata jamak
yang dipakai penulis berita mengacu pada makna yang pertama dan bukan pada
makna kedua. Kita patut bersyukur karena sebenarnya pemakaian kata ‘jamak’
dalam dua berita itu sungguh memberikan kita informasi dan pengetahuan bahwa
kata jamak yang berarti banyak
itu hanyalah pengertian kedua setelah pengertian dasarnya yang pertama. Kalau
sampai ada yang merasa penggunaaan kata ’jamak’ itu tidak lazim itu
samata-mata karena orang hanya membatasi pengertian kata itu pada arti banyak.
Jadi,
pembaca boleh saja mengartikan jamak itu sebagai banyak tetapi
jangan lupa arti dasarnya. Arti dasar itulah yang digunakan dalam contoh di
atas. Jamak artinya biasa, lazim, wajar.
Kita dapat mengubah kalimat di atas menjadi kalimat (c) dan (d) berikut:
(c)
Hal
serupa biasa (lazim, wajar) terjadi di mana-mana.
(d)
Biasa
(lazim, wajar) terlihat: anggota Dewan
telah menjadi subordinat dari pejabat-pejabat eksekutif. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar