Kemelut
terkait perebutan jabatan, kuasa, harta,
uang, prestise terjadi di mana-mana. Dalam konteks lokal perebutan serupa
termanisfestasi misalnya, dalam sikap ketua partai Golkar Manggarai yang
melakukan pemecatan terhadap anggotanya karena mereka dinilai mengangkangi
kesepakatan yang telah dibuat dan ditandatangani (tidak soal itu dibuat dalam
kondisi sadar, setengah sadar atau dalam kondisi hilang kesadaran). Sebagai
masyarakat yang menyerahkan mandat kita pantas bertanya bahkan berhak bertanya
perihal kualitas kepribadian wakil kita yang sudah berhasil dalam permainan
merebut kursi yang bakal meraup rezeki berjuta-juta rupiah setiap bulannya.
Kita tentu berharap agar para anggota dewan terpilih (terpilih artinya sudah
dipilih dan mungkin bukan kategori kualitas dalam arti karena keunggulan) tidak
mengangkangi rakyatnya.
Berita
tentang caleg di Manggarai memang tergolong berita yang sungguh fenomenal dan
unik. Betapa tidak. Sejak pemilihan
anggota legislatif hingga pascapelantikan halaman media kita masih disarati
dengan berita tentang ‘permainan bola’ untuk suatu jabatan, kuasa, dan harta
para anggota legislatif. Berita seperti ini menarik sekaligus membosankan,
menyenangkan sekaligus memalukan. Mengapa? Karena di sana terjadi proses pendidikan politik pincang
dengan segala kejujuran di dalam kebohongan dan dustanya. Koran kita telah
berubah menjadi ‘etalase’ pemajangan manusia-manusia yang dusta dalam kejujuran, jujur dalam
kedustaan. Rakyat yang buta politik hanya mampu menggeliat dan bergumam dengan
konsep lamanya: politik itu memang dusta dan dusta itu menu politik. Lihat
saja, Undang-undang boleh dan harus diakali dan kesepakatan pun boleh dan harus
dikangkangi atau didustai. Hasil akhir rakyat bingung dan tak percaya tetapi
yang pasti pelantikan dinantikan dan diamini.
Bola
politik di Manggarai tampaknya terus menggelinding tanpa titik bidik yang
pasti. Kelompok tujuh kembali terpajang di etalase penawaran jabatan dan
jaminan hidup. Pertahanan mereka yang dinilai mengangkangi kesepakatan kembali
digempur. Mereka dinilai tidak representatif mewakili rakyat. Kasarnya mereka
dinilai wakil rakyat pilihan Undang-Undang bukan pilihan rakyat. Itu tidak
tanggung-tanggung karena bola keberuntungan diletakkan pada titik penalti.
Ringkas kisah, kelompok tujuh
terancam ditilang
sang sesepuh karena dinilai melanggar tata kerama dan kaidah sopan santun kepartaian.
Selanjutnya, muncul konsep dan rencana agar kelompok tujuh di-PAW-kan
sekadar menganulir kelayakan mereka menduduki kursi legislatif. Tendangan penalti yang membahayakan karena
PAW identik dengan membagi atau merebut
jabatan,status dan jaminan hidup yang tumbuh dari kursi legislatif.
Terkait masalah ini, muncul masalah kebahasaan di
samping masalah politik, kekuasaan, jabatan, dan jaminan hidup. Di sini kita
temukan dua kata ‘ditilang’ dan ‘di-PAW-kan. Sepintas dua bentuk itu dapat diterima tetapi
kalau dicermati, dua bentuk itu perlu
dipersoalkan. Kata ‘ditilang’ secara morfologis
terbentuk oleh imbuhan di- (bentuk pasif) yang dilekatkan pada
bentuk dasar yang merupakan akronim. Kata ‘tilang’ merupakan akronim
dari ‘bukti pelanggaran’. Jika kita mengembalikan bentuk ringkas itu ke dalam
bentuk panjangnya dengan imbuhan di-, maka kita akan dapati kata ‘dibuktipelanggaran’.
Hal
yang sama juga terjadi pada kata ‘di-PAW-kan yang dibentuk karena konfiks di-/-kan yang
dilekatkan pada bentuk ringkas atau singkatan PAW. Bentuk PAW secara lengkap ditulis menjadi
Pergantian Antara Waktu. Jika konfiks ke-/-an dilekatkan pada bentuk
panjang seperti ini, maka kita seharusnya kita mendapatkan bentuk dipergantianantarawaktukan.
Sebelum
pemilihan presiden baik putaran pertama
maupun putaran kedua, pada berita surat kabar kita juga sering menemukan bentuk seperti pencapresan
dan pencawapresan. Pada dua bentuk terakhir ini kita jumpai pemakaian
konfiks peN-/-an dengan bentuk ringkas capres (calon presiden) dan
cawapres (calon wakil presiden). Jika kaidah afiksisasi kita terapkan pada dua
bentuk panjang seperti ini, maka kita akan menurunkan bentuk pencalonpresidenan
dan pencalonwakilpresidenan.
Keempat
contoh yang kami turunkan pada rubrik ini membuktikan kepada kita bahwa proses
imbuhan atau afiksisasi terhadap bentuk ringkas dan akronim menyisakan
sederetan masalah kebahasaan yang sulit dijelaskan. Justru di sinilah letak
tuntutan akan adanya tanggung jawab media dalam membina cara berbahasa
masyarakat pembaca. Jalan pintas untuk menghemat dan menyingkat pewacanaan
sebuah teks berita tentunya menjadi bahan pertimbangan media. Bukan sekadar
menghemat tetapi tetap mengabdi pada kaidah yang normatif.
Kejanggalan
atau ketidakberterimaan bentuk yang kami jadikan sebagai contoh ini tampak
jelas ketika bentuk ringkas yang berimbuhan itu dikembalikan pada bentuk
lengkap atau bentuk panjangnya. Perlu kami informasikan bahwa bentuk-bentuk di
atas dalam dunia bahasa dikenal sebagai bentuk hibrida karena terjadi
pengimbuhan pada unsur bukan kata atau bentuk dasar tetapi pada bentuk ringkas
dan akronim.
Pers pada
umumnya menerima kata bercorak hibrida seperti ini karena dinilai cocok dengan corak
wacana berita yang singkat padat karena keterbatasan ruang atau kolom. Kriteria
singkat dan padat belumlah cukup sebelum ditambahkan dengan kriteria
kejelasan. Jelas, artinya tidak membingungkan
pembaca dengan sederetan bentuk hibrida yang kian membanjiri halaman surat
kabar kita. Mari kita pertimbangkan lagi
pemakaian setiap bentuk hibrida dalam tindak berbahasa kita demi menjaga
martabat dan kewibawaan bahasa kita. Kita ingat pesan Sapir ini: “Bahasa
menunjukkan bangsa”.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar