63. Masalah Alih waris dan Ahli
waris
Pada satu
kesempatan makan siang bersama di kamar makan Patres Seminari Kisol, Romo
Praeses menanyakan sesuatu berkaitan dengan salah satu kalimat yang tertulis
pada buku doa sesudah makan. Kalimat itu tertulis: Engkau telah mengangkat
kami menjadi ahli waris kerajaan-Mu.
Pada kalimat itu terdapat kata ahli waris Pertanyaan Romo Praeses: “Mana
yang benar ahli waris atau alih waris?” Pada saat itu muncul
jawaban bervariasi. Ada yang mengatakan yang benar adalah ahli waris,
ada pula yang mengatakan alih waris, ada pula yang mengatakan kedua
bentuk itu sama saja. Pilihan-pilihan seperti ini dalam konteks wacana kamar
makan tentu sah-sah saja tetapi sebagai pemakai bahasa yang baik dan benar kita
harus menentukan sikap yang pasti dan tepat disertai dengan argumentasi yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanyaan yang
disampaikan Romo Praeses Seminari Kisol ini, kemungkinan besar tidak saja
membingungkan warga kamar makan patres di Kisol tetapi juga mungkin
membingungkan banyak orang ketika secara sadar mencermati bentuk alih waris
dan ahli waris seperti itu. Untuk mengatasi kebingungan seperti itu,
sekaligus untuk mendapatkan kepastian dalam tindak berbahasa, melalui rubrik
ini kami mencoba menjelaskan masalah ketepatan penggunaan dua bentuk tersebut.
Untuk itu kita perlu melihat contoh penggunaan dua bentuk itu seperti yang
terdapat pada kalimat (a) s.d. (d)
berikut ini:
(a)
Lamber
Bijok adalah alih waris yang sah atas semua tanah sengketa itu.
(b)
Kedua alih
waris terlibat perang tanding merebut warisan orangtua mereka.
(c)
Putra
sulung sering merasa diri sebagai ahli waris harta kekayaan
orangtua.
(d)
Kekayaan
orangtua sering menjadi sumber perselisihan para ahli waris.
Pada kalimat (a)
dan (b) kita temukan bentuk alih waris dan pada kalimat (c) dan
(d) kita temukan bentuk ahli waris. Dari dua bentuk yang berbeda
ini, kita temukan perbedaan pada bentuk alih dan ahli. Secara
leksikal dua kata itu memiliki makna yang berbeda. Dari aspek bentuk, dua kata
itu dapat saja orang “menduga” bahwa kedua bentuk itu merupakan variasi
dari satu bentuk yang mengalami proses metatesis (proses pergantian letak huruf
seperti pada kata rontal-lontar; jalur-lajur; krikil-kelikir; padma-padam).
Dugaan seperti itu, tentu saja dapat ditolak karena kata ahli dan alih
memiliki makna leksikal yang berbeda, tidak memiliki makna dasar yang sama
seperti pada kata rontal-lontar; jalur-lajur; krikil-kelikir. Bentuk ahli
dan alih merujuk pada hal yang berbeda sebagai refrennya sedangkan
bentuk rontal-lontar; jalur-lajur; krikil-kelikir masing-masing mengacu
pada refren yang sama. Kelikir dan kerikil misalnya mengacu pada
benda yang sama yaitu bongkahan batu dengan ukuran kecil.
Dua bentuk itu
menjadi masalah justru ketika kedua bentuk itu dipadukan dengan bentuk waris
sehingga menghasilkan dua bentuk yaitu alih waris dan ahli waris.
Untuk menjelaskan masalah seperti ini kita harus melihat makna leksikal bentuk alih
dan ahli itu. Penulis Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:22-23)
mencatat bahwa kata alih berkategori verba yang berarti pindah, ganti,
tukar. Kita akan dapati bentuk seperti alih aksara artinya perubahan
suatu tulisan dari satu aksara yang satu ke aksara yang lain (transliterasi); alih
bentuk artinya perubahan bentuk atau struktur; alih generasi berarti
pergantian generasi (regenerasi). Sementara itu, pada bagian lain kita akan
temukan bentuk ahli. Kata ahli
dalam KBBI (1989:11) dikategorikan sebagai nomina (kata benda)
yang diartikan sebagai orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu
(kepandaian); orang yang mahir benar. Dari situ akan muncul bentuk-bentuk
seperti: ahli agama artinya orang yang mendalami agama dan ketuhanan; ahli
bahasa artinya orang yang mahir dalam pengetahuan bahasa; ahli hukum
artinya orang mahir dalam bidang hukum.
Di samping
makna-makna seperti diuraikan di atas bentuk dan kata ahli itu juga mempunyai
makna lain yaitu kaum, keluarga, sanak saudara, orang-orang yang termasuk dalam
suatu golongan. Dari bentuk itu muncul bentuk paduan ahli famili yang
berarti sanak saudara; ahli kitab artinya orang-orang yang berpegang
pada ajaran kitab suci selain Alquran; ahli kubur artinya orang yang
telah meninggal; penjaga kubur; ahli sunah adalah kaum muslimin yang
mengikuti ajaran Nabi Muhammad, saw. Bentuk
paduan ahli waris baru tertulis pada bentuk ahli dalam
pengertian kedua ini. Ahli waris itu diartikan sebagai
orang-orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka).
Setelah mengikuti
uraian ini, kita kembali pada masalah pokok di atas perihal bentuk yang benar
dari kemungkinan alih waris atau ahli waris. Kalau orang
menganggap bahwa bentuk alih waris itu
sebagai bentuk yang benar maka kita dapat menduga argumentasi yang
mendasarinya. Boleh jadi, orang seperti itu memilih bentuk itu karena mengira
bahwa bentuk ahli dan alih itu merupakan gejala metatesis dengan rujukan benda
atau hal yang sama. Penjelasan di atas menegasikan atau menolak hipotesis
seperti ini. Kemungkinan kedua karena orang menempatkan makna semantik kata
alih (sebagai verba atau kata kerja) pada paduan alih waris sebagai aktivitas
berpindahnya warisan dari seseorang kepada orang lain. Hipotesis kedua ini pun
tidak dapat diterima karena bentuk waris tidak dijumpai pada bentuk dasar
(lema) alih. Kata waris baru diemukan sebagai bentuk yang berpaduan
dengan kata ahli dalam pengertian yang kedua seperti telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian
kesimpulan kita jelas bahwa bentuk yang benar adalah Ahli waris
karena berkaitan dengan konsep kekerabatan, kekauman dan bukan alih
waris. Contoh kalimat (a) dan (b) di atas harus diubah menjadi (a)
Lamber Bijok adalah ahli waris yang sah atas semua tanah sengketa
itu (b) Kedua ahli waris terlibat perang tanding merebut warisan
orangtua mereka. Marilah kita menjadikan diri kita sebagai Ahli waris
dari para ahli bahasa biar bahasa kita baik dan benar!**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar