Rabu,
10 Maret 2004 bagi masyarakat Manggarai merupakan hari kelabu karena pada hari
itu seorang imam putra Manggarai, Pater Bernard Jebabun, SVD dimakamkan.
Upacara pemakaman itu didahului dengan perayaan Misa Kudus di Paroki Ka Redong.
Kurban misa itu dipimpin Uskup Ruteng, Mgr. Eduardus Sangsun, SVD. Lebih dari itu, pada hari yang sama terjadi
penyerangan (paling kurang begitu yang dapat kita baca dalam surat kabar) ke
gedung bekas Mapolres Ruteng oleh sekelompok warga dari kampung Colol. Insiden
itu menewaskan lima orang sekaligus dan kemudian bertambah seorang. Keenam
orang itulah yang kemudian dikenal sebagai korban tragedi Rabu kelabu. Pihak
kepolisian tampaknya tidak jatuh korban.
Dalam
berita tentang pemakaman Pater Bernard Jebabun, SVD kita temukan konstruksi ‘kurban
misa’ dan dalam berita tentang penyerangan oleh masyarakat Colol kita
temukan konstruksi ‘korban tragedi’ dan ‘jatuh korban’. Kita
berhadapan dengan bentuk kembar yang sekilas dianggap memiliki makna yang
sama. Dalam tindak berbahasa yang biasa,
kadang-kadang kita tidak menyadari bahwa dua bentuk itu bermakna sangat
berbeda. Perhatikanlah contoh (a) s.d. (e) berikut:
(a) Setiap
anak harus menghormati ibu yang banyak berkurban.
(b) Pengurbanan
orang tua harus dihargai dengan belajar giat.
(c) Abraham
mengorbankan Ishak karena kesetiaannya kepada Yahwe.
(d) Babi
dipakai dalam ritus korban sebelum mengevakuasi jenazah di Danau Kelimutu.
Informasi
yang terkandung dalam contoh-contoh di atas dipahami secara baik dan pasti oleh
pembaca atau pendengar. Bagi pembaca
atau pendengar yang kurang mendalami masalah bahasa, kata korban dan kurban itu
sama saja. Entah huruf o atau huruf u, tidak perlu dipersoalkan. Bagi mereka
yang bergelut dan bergulat dengan pelbagai masalah bahasa, penggunaan kata
korban dan kurban itu justru harus dipersoalkan. Penggunaan dua huruf itu
justru mempunyai pengaruh besar dalam menentukan nuansa makna yang diemban kata
itu. Ibarat orang tidak mempersoalkan huruf c dan d pada kata cari dan lari,
meskipun kedua kata itu bermakna sangat berbeda.
Lalu,
apa sebenarnya yang membedakan kata korban dari kata kurban itu? Pertanyaan ini
dapat dijawab dengan melihat penggunaan kata itu dalam konteksnya. Pemakaian dua kata itu dapat dikatakan benar
jika cocok dengan konteksnya. Konteks
yang dimaksudkan berkaitan dengan situasi tutur yang menyertai pembentukan
kalimat yang mengandung kata kurban atau korban itu. Jika konteksnya
dipastikan, maka orang tidak akan menggunakan kata-kata itu secara serampangan.
Ada
dua konteks yang menjadi bahan pertimbangan dalam memilih kata korban atau
kurban ketika seseorang berwacana atau menyusun kalimat. Konteks pertama adalah
konteks profan, bercorak duniawi, urusan jasmani yang kadang-kadang dicoraki
kekerasan. Untuk kontkes profan seperti ini, penggunaan kata yang tepat adalah
kata ‘korban’ bukan kata kurban. Konteks yang kedua berpautan dengan segala hal
rohani yang mempertautkan manusia dengan Tuhan atau realitas rohani lainnya
(dalam kaitannya dengan kepercayaan tertentu). Untuk konteks seperti ini, kata
kurban menjadi pilihan yang tepat dan bukan korban.
Berdasarkan
dua kategori konteks seperti ini, kita
dapat menilai ketepatan penggunaan kata korban dan kurban serta
bentuk turunan dua kata tersebut seperti yang terlihat dalam contoh-contoh di
atas. Contoh (a) dan (b) berkonteks profan sehingga bentuk yang dipilih secara
tepat adalah korban. Sementara itu, contoh (c) dan (d) berkonteks rohani,
religius sehingga bentuk yang tepat untuk digunakan adalah kata kurban. Dengan
demikian kita dapat membetulkan keempat contoh itu seperti terlihat pada
kalimat (e) s.d. kalimat (h) berikut:
(e) Setiap anak harus menghormati ibu yang banyak berkorban.
(f) Pengorbanan
orang tua harus dihargai dengan belajar giat.
(g) Abraham
mengurbankan Ishak karena kesetiaannya kepada Yahwe.
(h) Babi
dipakai dalam ritus kurban sebelum mengevakuasi jenazah di Danau
Kelimutu.
Untuk memudahkan
kita membedakan sekaligus memastikan ketepatan penggunaan dua kata ini, baiklah
kita melihat apa yang tertulis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998:461,
479). Di sana kita temukan batasan leksikal kata korban dan kurban. Korban
berarti (1) pemberian sebagai pernyataan kebaktian, kesetiaan (2) orang atau
binatang yang menderita akibat suatu kejadian, perbuatan jahat dan kata kurban
berarti (1) persembahan kepada Tuhan (2) pujian atau persembahan kepada
dewa-dewa. Jadi, kalau seekor babi disembelih masyarakat untuk meminta bantuan
para dewa (penunggu) di Danau Kelimutu agar tindakan evakuasi jenazah seseorang
yang jatuh ke dalam danau dapat berjalan tanpa rintangan, maka dapat dikatakan
bahwa masyarakat membuat ritus kurban dan babilah yang dijadikan sebagai
korbannya karena disembelih.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar