Kolom Bentara harian Umum Flores
Pos edisi Senin, 19 Mei 2003 tampil dengan judul “Mempertimbangkan Balon
Gubernur NTT Periode 2003-2008” Kolom
dengan enam paragraf ini, memuat delapan balon seperti yang kami kutip berikut
ini: (NB: huruf miring dan tebal dari kami)
(1) Beberapa balon gubernur NTT
periode 2003-2008 , baik yang mantan pejabat maupun balon baru sudah
memaparkan pokok-pokok pikiran pemerintahannya bila berhasil dipilih.
(2) Untuk balon gubernur yang
adalah mantan pejabat lama tentulah lebih mudah menilai apakah balon
tersebut layak atau tidak dicalonkan kembali.
(3) Tetapi kedua jenis balon
gubernur harus dinilai berdasarkan kriteria yang ada.
(4) Kita berharap agar tekad ini bukan
saja milik bacagub Arif Rahman, melainkan menjadi program balon siapa
pun yang terpilih menjadi gubernur/wagub.
(5) Agenda demokratisasi dicanangkan oleh
balon wagub Drs. Frans Lebu Raya.
(6) Sayang, dalam pemaparan itu tidak
terungkap adanya balon yang mengangkat agenda penegakan supremasi hukum
sebagai salah satu program.
(7) Anggota DPR RI yang juga salah
seorang bakal calon Gubernur (Bacagub) NTT, Yulius Bobo
(8) Bakal calon Gubernur (Bacagub) NTT,
Usman M.Tokan mempunyai visi yang sangat kuat.
Kalimat (1) s.d. (8) di atas
semuanya mengandung kata singkatan berupa akronim masing-masing balon (sebagai akronim dari bakal
calon); bacagub (sebagai akronim untuk
bakal calon gubernur); balon wagub (sebagai akronim untuk bakal calon
wakil gubernur). Akronim-akronim tersebut perlu dipersoalkan penggunaannya
dalam kalimat itu.
Berdasarkan contoh kutipan di atas
kita dapati inkonsistensi (kesemberawutan) penggunaan singkatan berupa akronim.
Bakal calon dijadikan balon dan bakal calon gubernur dijadikan bacagub.
Seharusnya, kalau mau konsisten bentuk akronim balon itu tetap dipertahankan
sehingga bentuk bacagub seharusnya balongub seperti bentuk balonwagub
untuk bakal calon wakil gubernur seperti terlihat pada kalimat (5).
Inkonsistensi pemakaian akronim balon seperti contoh itu juga
menimbulkan anomali dalam berbahasa. Artinya wacana yang dihasilkan dapat
membingungkan pembaca atau pendengar karena adanya kalimat yang tidak berterima.
Mangapa? Karena bentuk kata ‘balon’ oleh pembaca sudah memiliki arti leksikal
yaitu benda yang terbuat dari karet dan dapat diisi dengan udara atau gas.
Di samping adanya inkonsistensi
penggunaan akronim dan anomali karena beban makna baru pada kata ‘balon’
seperti diuraikan di atas. Pemakaian akronim balon untuk bakal calon
tampaknya tidak mempertimbangkan aspek pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia. Penggunaan akronim itu hanya mempertimbangkan aspek ekonomi kata
(hemat kata) tanpa adanya usaha pemerkayaan kosa kata. Padahal, pemerkayaan
kosa kata dalam suatu bahasa dapat dibentuk melalui beberapa proses morfologis.
Harimurti Kridalaksana dalam buku Pembentukan
Kata dalam Bahasa Indonesia terbitan Gramedia (1992) mencatat beberapa
proses morfologis yang memungkinkan terbentuknya kata baru yang memperkaya kosa
kata bahasa Indonesia. Paling kurang ada enam proses morfologis yaitu (a)
derivasi zero, (b) afiksasi, (c) reduplikasi, (d) abreviasi (pemendekan), (e)
komposisi (perpaduan), dan (f) derivasi balik. Proses morfologis yang relevan
untuk diuraikan secara lebih panjang lebar
dalam kaitan dengan topik rubrik ini adalah proses abreviasi
(pemendekan). Istilah abreviasi (pemendekan) itu diartikan sebagai proses
penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga
muncullah bentuk baru yang berstatus kata (morfem dasar atau morfem bebas).
Istilah lain untuk abreviasi ini adalah pemendekkan dan hasilnya disebut
kependekan (Kridalaksana, 1992: 149).
Pemendekan kata dapat menghasilkan
aneka jenis kependekan kata atau bentuk kata yang pendek. Bentuk-bentuk
kependekan muncul karena pemakai bahasa terdesak untuk berbahasa secara praktis dan cepat dalam
pelbagai bidang kehidupan. Abreviasi atau pemendekan dapat menghasilkan bentuk
baru berupa (a) singkatan, (b) penggalan, (c) akronim, (d) kontraksi, dan yang
hanya berupa lambang huruf. Singkatan
adalah hasil pemendekan berupa huruf atau gabungan huruf yang dieja huruf demi
huruf seperti DPR, SMS, PNS, TNI, dll., dst. Penggalan adalah pemendekan dengan cara mengekalkan
salah satu bagian dari leksem seperti bentuk pendek Prof., Dik., dari
leksem profesor dan leksem adik.
Akronim adalah proses pemendekan
yang terjadi karena menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain dari
leksem-leksem yang ditulis serta dilafalkan sebagai sebuah kata yang
umumnya memenuhi kaidah fonotaktik
bahasa Indonesia seperti ABRI, Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi),
Bides (Bidan Desa). Kontraksi adalah pemendekan yang terjadi
karena meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem seperti bentuk tak,
tiada, begini, takkan merupakan kontraksi dari bentuk leksem tidak, tidak
ada, bagai ini, tidak akan. Lambang huruf adalah pemendekan yang menghasilkan
satu huruf atau lebih untuk mewakili konsep dasar kuantitas, satuan, unsur
seperti m (meter), l (liter), Au (Aurum = emas).
Jika kita mencermati pemakaian bentuk balon, bacagub,
balon wagub pada contoh kalimat
(1) s.d. (8) di atas maka kita dapat mengelompokkaan bentuk itu sebagai
pemendekan berupa akronim. Kalau bacagub itu menjadi kependekan bentuk
bakal calon gubernur maka bentuk panjang untuk bakal calon wakil gubernur
seharusnya bacawagub dan bukan balon wagub. Atau kalau mau memilih bentuk
akronim yang sebaliknya maka bentuk pendek
balon wagub untuk bakal calon wakil gubernur harus disejajarkan dengan bentuk pendek balongub
untuk bakal calon gubernur. Jika tidak, itu artinya bakal calon memiliki
dua bentuk akronim atau memiliki varian akronim balon dan baca.
Mengapa bentuk baca
(bacagub) untuk bakal calon gubernur sedangkan bentuk balon
(balon wagub) untuk wakil gubernur? Hal
yang harus dijawab berkaitan dengan
pertanyaan ini adalah soal ketaatasasan dalam pembentukan dan penggunaan
akronim agar tidak menimbulkan ketidaklaziman dalam berbahasa.
Pembaca dapat membandingkan ulasan ini dengan ulasan
dalam rubrik bahasa ini sebelumnya di bawah judul ‘Bides’ suka ‘Dansa;
‘Tomas’ suka ‘Tomat’. Baik Bides maupun Dansa merupakan
akronim untuk Bidan Desa. Baik Tomas maupun Tomat merupakan akronim untuk Tokoh Masyarakat.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar