Selasa, 07 Agustus 2012

Tidak Sewenang-wenang; Tidak Bergeming


Frekuensi penggunaan frasa “Tidak Sewenang-wenang” dan “Tidak  Bergeming”dalam tindakan berbahasa relatif tinggi. Dua ungkapan tersebut dapat kita temukan dalam pelbagai wacana berbentuk tulisan dan juga dapat kita dengar dalam wacana lisan atau percakapan yang biasa. Keseringan pemakai bahasa menggunakan dua bentuk itu, justru menjerumuskan mereka ke dalam ketidaksadaran akan adanya keanehan pada  dua bentuk itu. Masyarakat pemakai bahasa (pebahasa) terbawa ke dalam arus kesalahan massa yang semakin hari semakin bertambah banyaknya.
Kita barangkali pernah membaca, mendengar wacana seperti yang kami sertakan berikut ini:
(a)   Pada masa Orde Baru militer cenderung bertindak tidak sewenang-wenang.
(b)   Pejabat yang serakah biasanya berlaku tidak sewenang-wenang terhadap rakyat.
(c)    Karena diperlakukan secara tidak sewenang-wenang, gadis itu mengadu ke polisi.
(d)   Dalam suasana kalut, gadis bermasalah itu tidak bergeming meskipun diganggu.
(e)    Hati nurani yang tidak peka membuat para caleg  tidak bergeming saat dikritik.
Pada kalimat (a), (b), dan (c) kita temukan  bagian kalimat “tidak sewenang-wenang” dan pada kalimat (d) dan (d) kita dapati bagian kalimat “tidak bergeming”.  Dalam praktik berbahasa yang biasa, kita memahami makna bagian-bagain kalimat itu secara pasti. Dalam konteks seperti inilah kita terjebak dalam perangkap yang lebih dikenal sebagai bentuk yang salah kaprah (terlanjur, sengaja dianggap benar hanya karena mayoritas orang menganggapnya benar). Di sini, kebenaran (bahasa) menjadi sesuatu yang relatif. Artinya, ditentukan oleh banyak tidaknya pendukung, pemakai bentuk itu.
Cara pikir dan mentalitas yang mempertaruhkan mayoritas seperti ini jelas melecehkan  hakikat kebenaran yang sama sekali tidak ditentukan oleh kriteria kuantitas mayoritas atau minoritas. Kebenaran adalah sesuatu yang ada tanpa aksesoris. Kebenaran, berseberangan dengan konsep yang biasanya diterapkan pada dunia politik pemilihan caleg. Di sana, suara terbanyak menentukan (ini logika demokrasi seperti yang terjadi pada caleg Partai Golkar Manggarai versi kesepakatan). Kebenaran juga tidak ditentukan oleh rumusan undang-undang dan aturan (ini logika caleg pemuja produk legislatif yang  banyak lubang dan boroknya).
Ulasan ini sama sekali bukan ulasan bernuansa politis. Oleh karena itu, kita kembali pada inti persoalan terkait penggunaan bentuk “tidak sewenang-wenang” dan bentuk “tidak bergeming” di atas. Persoalan kita, apakah dua bentuk itu  tergolong tepat dan benar? Untuk itu, kita harus merunut asal usul kemunculan dua kata wenang dan geming sebagai bentuk (leksem) dasar yang dinegasikan, disangkal dengan kata “tidak”.
Kata sewenang-wenang  dan  kata bergeming dapat kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bentuk sewenang-wenang bukanlah bentuk dasar karena bentuk dasar kata itu adalah “wenang”. Wenang, berwenang saja berarti: orang yang mempunyai hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Bentuk wenang ini memungkinkan adanya bentuk lain seperti (i) kesewenang-wenangan berarti perbuatan sewenang-wenang; kelaliman (ii) sewenang-wenang berarti tidak mengindahkan hak orang lain; bertindak dengan semau-maunya (KBBI, 1989: 1010). Makna kata sewenang-wenang itu harus disadari sebagai bentuk yang sudah bercorak negatif.
Bentuk bergeming menurut kamus yang sama dibentuk dari leksem dasar geming. Bentuk dasar atau leksem geming sendiri yang berarti: diam saja, tidak bergerak sedikit  pun. Bentuk geming atau bergeming secara leksikal sudah bermakna negatif seperti halnya bentuk sewenang-wenang.
Hasil runutan seperti ini membawa kita pada kesimpulan sekaligus sebagai jawaban terhadap pertanyaan di atas. Bentuk tidak sewenang-wenang dan tidak begergeming dipastikan sebagai bentuk yang salah karena didahului kata ingkar (dinegatifkan) dengan kata ‘tidak’. Jika kita menganggap dua bentuk itu sebagai bentuk yang benar berarti makna untuk dua bentuk tersebut  didahului dengan dua bentuk ingkar (dua kata tidak) secara berurutan. Ini jelas tidak berterima dalam konteks kebenaran berbahasa.
Dengan demikian contoh-contoh yang tertulis pada  (a) s.d. (e) di atas harus dibenahi menjadi seperti kalimat  (f) s.d. (j) berikut ini:
(f)     Pada masa Orde Baru militer cenderung bertindak sewenang-wenang.
(g)    Pejabat yang serakah biasanya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat.
(h)   Karena diperlakukan secara sewenang-wenang, gadis itu mengadu ke polisi.
(i)     Dalam suasana kalut, gadis bermasalah itu bergeming meskipun diganggu.
(j)     Hati nurani yang tidak peka membuat para caleg  bergeming saat dikritik.
Kalimat (f) s.d. (j) ini, untuk orang yang terbiasa menggunakan bentuk yang salah karena mayoritas orang menggunakan bentuk yang bercorak salah kaprah, akan menilai kalimat yang telah diperbaiki itu akan kedengaran aneh terutama kalimat (i) dan (j). Dua kalimat itu masing-masing paralel dengan kalimat Dalam suasana kalut, gadis bermasalah itu tidak bergerak meskipun diganggu dan Hati nurani yang tidak peka membuat para caleg  tidak bergerak, tidak bergerak saat dikritik.
Kalau kita terbiasa mengikuti cara berbahasa yang salah, mengapa kita tidak mau belajar untuk mengikuti cara berbahasa yang benar? Kita memang perlu terus belajar dan belajar terus cara kita berbahasa.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar