Selasa, 07 Agustus 2012

Kenakalan Remaja : Kebohongan Publik



Judul yang kami gunakan untuk rubrik bahasa pada kesempatan ini sama sekali tidak bermaksud menuduh kelompok remaja yang melakukan tindakan tidak terpuji nakal dan berbohong. Kita semua yakin bahwa sifat nakal dan berbohong itu melekat pada siapa saja tanpa pembedaan umur. Apalagi, menjelang pemilu 2004 ini jumlah manusia yang nakal dan manusia yang senang berbohong kemungkinan bertambah. Kalau para remaja itu nakal atau melakukan segala hal yang berkategori nakal maka kita menyebutnya kenakalan remaja. Artinya para remajalah yang berperan sebagai agen atau subjek yang melakukan tindakan tidak terpuji itu. Kenakalan remaja artinya kenakalan yang dilakukan, didemonstrasikan, dipertontontkan para remaja. Kenakalan milik remaja.
Paralel dengan itu, manakala  kita mengatakan kebohongan remaja, berarti kebohongan yang dilakukan oleh para remaja dengan sasarannya siapa saja. Akankah kenakalan dan kebohongan remaja seperti ini hilang tergeser oleh kebohongan jenis baru; kebohongan publik? Pertanyaan ini jelas sulit dijawab karena hal itu sangat mengandaikan adanya kajian terhadap fenomena sosial dan proses  analisis sosial yang utuh dan lengkap. Rubrik bahasa ini tentu saja bukan tempat yang pas untuk memberi jawaban atas pertanyaan tersebut.
Kita semua mengetahui, mendengar bahwa ada satu jenis kebohongan yang lahir dari wacana yang bertautan erat dengan kondisi politik Indonesia saat ini. Proses gesek menggesek, geser menggeser merebut posisi legislatif untuk sekelompok orang yang mengobral janji memihak rakyat mulai mewabahi masyarakat kita. Demam pemilu dengan segala janjinya akan bersaing ketat dengan demam berdarah artinya perjuangan merebut posisi bukan tidak mungkin akan berdarah-darah. Belum lagi, tiupan peringatan juri pemilu tidak diacuhkan. Kebohongan bakal menjadi menu pokok masyarakat pemilih karena banyak janji berseliweran dan bersilang sengketa merebut kuping kita. Ada janji sekolah gratis, ada janji penghapusan dosa KKN, ada janji ini, ada janji anu. Janji-janji terus menjadi jajan yang tidak diminati.
Ungkapan lama pasti masih melekat dalam ingatan kita bahwa janji itu utang. Utang, kalau janji tidak ditepati. Ringkas rumusan, kebohongan terjadi. Massa dan rakyat dipemainkan meski tanpa mereka sadari bahwa mereka memang sedang dipermainkan oleh pemain yang memang banyak main-mainnya. Main janji, main uang, main kotor, main suap. Hidup lalu direduksi sebagai sekadar permainan yang enggan melibatkan nurani dan nalar yang elegan.
Satu kata dan satu ungkapan terlahir dari kondisi ini yaitu kebohongan publik (kelik). Dalam konteks sosialisasi Pemilu para juri (KPU) selalu mengingatkan para kontestan dan para caleg agar tidak melakukan kebohongan publik. Makna kebohongan publik menurut  ‘juri pemilu’  itu paralel dengan pengertian kebohongan yang dilakukan parpol dan caleg terhadap massa pemilih. Artinya kalau saat berkampanye para caleg berjanji dan janji itu kelak terbukti tidak ditepati maka itulah yang dimaksudkan dengan istilah kebohongan publik.
Pengertian seperti ini akan membingungkan karena kita atau pembaca biasanya memahami ungkapan seperti ‘kenakalan remaja’ itu sebagai kenakalan yang dilakukan atau yang diasalkan dari kelompok remaja. Paralel dengan ungkapan kenakalan remaja ini muncul kata ‘kebohongan publik’. Seharusnya kalau mau sungguh paralel dengan makna ungkapan ‘kenakalan remaja’, ungkapan kebohongan publik itu tidak bisa lain selain berarti keohongan yang dilakukan publik, atau kebohongan yang diasalkan, bersumber pada publik. Padahal dalam konteks wacana di atas ungkapan ‘kebohongan publik’ itu berarti kebohongan yang dilakukan terhadap publik. Publik bukan sebagai pemilik kebohongan seperti halnya kenakalan sebagai milik para remaja. Kebohongan publik sebenarnya berarti publik menjadi sasaran aktivitas berbohong si anu dan si ana. Pelakuknya adalah kontestan, caleg, dan parpol. Kalau kita tetap memaknai ungkapan ‘kebohongan publik’ itu sebagai kebohongan terhadap publik maka seharusnya ungkapan ‘kenakalan remaja’ harus diartikan sebagai kenakalan terhadap para remaja.
Kenakalan dan kebohongan pada dua ungkapan di atas sama-sama berkategori adjektif (kata sifat). Proses morfologis dengan konfiks ke-/-an yang menurunkan bentuk kenakalan dan kebohongan menjadikan dua kata yang semula berkategori adjektif mengalami transkategori menjadi kata benda (nomina) abstrak. Tampak jelas bagi kita bahwa nominalisasi (pembendaan kata sifat) dapat dibentuk dengan konfiks ke-/-an.
Setelah mengikuti penjelasan seperti ini tentu saja pemakaian ungkapan ‘kebohongan publik’  yang diartikan sebagai kebohongan terhadap publik  jelas salah. Kalau kita menggunakan bentuk itu dalam pengertian seperti ini, maka itu artinya kita menerima ungkapan ‘kebodohan masyarakat’ itu bermakna menjadikan masyarakat bodoh. Padahal, dalam proses morfologis, makna proses membuat sesuatu mejadi…paralel dengan konfiks me-/-i atau konfiks pe-/-an. Proses membuat masyarakat menjadi bodoh itu paralel dengan  ungkapan membodohi masyarakat atau pembodohan masyarakat.
Jadi, ‘kebohongan publik’ yang dimaknai seperti di atas  jelas merupakan bentuk pembodohan dari aspek berbahasa karena makna ‘publik yang menjadi sasaran’ aktivitas berbohong itu tidak dapat dikatakan sebagai kebohongan publik. Makna seperti itu, hanya pas kalau diganti dengan kata membohongi publik atau pembohongan publik. Dalam konteks pemilu wacana ‘kebohongan publik’  memang terasa menyakitkan karena publik justru dituduh sebagai pemilik tunggal kebohongan. Padahal, kalau kita jujur mungkin yang terjadi justru sebaliknya kebohongan itu milik mereka yang berambisi dan mencari kuasa, jabatan, harta…Itulah nasib rakyat**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar