Jumat, 03 Agustus 2012

Abreviasi dan Dosa Media




Kolom Asal Omong, SKM DIAN, Minggu, 27 Juli 2003 memuat Tulisan Pak Frans Anggal (orang penting di DIAN) dengan judul “KMB dan Dosa Pers”. Kolom ‘Asal Omong’ ini tampaknya tidak asal omong karena pada kolom itu penulis sebenarnya ingin menyampaikan hal penting berkaitan dengan bahasa sebuah media. Kolom bernada “Pengakuan Dosa” itu disertai dengan argumentasi yang serba teknis dalam titik pandang seorang pengasuh media. Kami harus mengucapkan terima kasih kepada Pak Frans karena masih memiliki apresiasi yang tinggi terhadap bahasa kita. Ulasan “Asal Omong” seperti ini seharusnya dan semestinya menjadi bahan refleksi buat para pengasuh media. Inilah salah satu bentuk keprihatinan terhadap kegamangan dalam berbahasa, bertutur, dan berkomunikasi.
Ulasannya, bagi siapa saja pasti akan menerimanya sebagai bentuk keterbukaan dan kejujuran seorang yang sedang menghadapi dilema. Pada satu sisi Pak Frans yang memiliki kepekaaan berbahasa tetap menaruh apresiasi yang tinggi terhadap penggunaaan bahasa yang taat asas (sesuai pedoman EYD) tetapi pada sisi lain ia harus taat pada karakteristik bahasa media yang cenderung singkat dan pendek. Karakteristik singkat, pendek karena keterbatasan ruang memberi peluang penciptaan bentuk ringkas atau bentuk pendek baik berupa singkatan maupun berupa akronim.
Hal pokok yang tersirat dalam ulasan Pak Frans berpautan dengan masalah pemakaian bentuk ringkas untuk menjawabi karakteristik bahasa media. Inti ulasannya adalah ‘pemakaian bentuk ringkas yang tumpang tindih sehingga membingungkan masyarakat pemakai dan pemaham bahasa. Bentuk ringkas KMB, misalnya terasa membingungkan karena bentuk itu dapat mengacu pada bentuk panjang seperti Konferensi Meja Bundar; Kabupaten Manggarai Barat; Kelompok Manusia Berbakat; Kelas Menengah Bawah; Kelompok Manusia Bujang; Kelompok Manusia Binggung; dll.
Pertanyaannya: mengapa satu bentuk ringkas KMB dapat menghasilkan bentuk panjang yang sekian banyak? Pak Frans sekali lagi, saya yakin demikian, akan menjawab dari perspektifnya sebagai orang yang terlibat dalam dunia media. Penggunaan bentuk ringkas hanyalah pertimbangan praktis dan demi ketaatasasan pada prinsip ‘ekonomi kata’. Jawaban seperti ini terasa lebih dari cukup. Persoalannya justru ketika media menggunakan prinsip ekonomi kata ini melebihi ambang batas toleransi kepatutan jika ditempatkan pada perspektif  kaidah kebahasaan. Hal ini juga diakui Pak Frans bahwa pers cenderung memilih untuk terbiasa bergampang-gampang  dalam membahasakan berita. Apalah artinya sikap bergampang-gampang kalau pada akhirnya membingungkan pembaca?
Kami sangat sependapat dengan penulis bahwa takaran kewajaran, ketepatan, dan pertimbangan pemerkayaan bahasa harus menjadi landasan pelahiran sebuah bentuk ringkas. Apalah artinya sebuah media berbangga setelah menciptakan suatu bentuk ringkas kalau bentuk ringkas itu sudah ada. Kasus penciptaan bentuk KMB untuk Kabupaten Manggarai Barat, mungkin wajar, mungkin dinilai sudah pas tetapi apakah bentuk seperti itu memang bentuk ringkas baru? Bukankah kita sudah mengenal bentuk itu ketika kita belajar sejarah? Pelahiran bentuk ringkas yang mengada-ada memang jelas-jelas merusakkan bahasa atau dalam ungkapan Pak Frans adalah dosa karena mengotori khazanah bahasa.
Kami sebagai pengasuh Rubrik Bahasa tidak hanya terganggu tetapi lebih dari itu terdorong untuk menjelaskan beberapa hal yang kiranya membantu para pembaca dan terutama pencinta bahasa Indonesia termasuk pengasuh media. Tentu saja dengan catatan bahwa apa yang kami uraikan bukanlah hasil sikap bergampang-gampang. Ulasan ini sengaja tidak diperuntukkan pada kolom “Asal Omong” agar tidak menimbulkan kesan tidak sungguh-sungguh menjelaskan. Maaf saja untuk Pak Frans karena kami tidak mau kalau ulasan ini dijuduli dengan kelompok kata ‘asal tulis’ pada kolom ‘Asal Omong’ seperti yang diharapkan.
Prinsip praktis, singkat, gampang-gampang sebagai prinsip, tentu saja tidak berlaku mutlak. Seorang jurnalis  boleh saja bebas mencipta, memilih bentuk ringkas tetapi perlu diingat karya jurnalistik tidak akan melepaskan dirinya dari bahasa. Aturan, norma, kaidah kebahasaan harus dipatuhi ketika seorang jurnalis ingin menginformasikan sesuatu kepada khalayak pembaca. Diakui atau tidak, bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa yang paling kreatif di samping empat ragam kreatif lain yaitu ragam bisnis, ragam akademik, ragam filosofis, ragam literer. Kreatif di sini tidak dimaksudkan memberikan kebebasan tanpa batas. Kebebasan selalu terbatas karena konteks situasi dan tempat. Ibarat ikan boleh bebas di dalam air tetapi begitu dilepaskan di darat ikan tidak akan merasakan lagi kebebasan itu. Ketika jurnalis terlibat dalam karya jurnalistik, sebagai dunia pengguna dan pengolah bahasa, kebebasannya menjadi dibatasi oleh kaidah kebahasaan.
Kembali pada masalah pokok yang dipersoalkan pada kolom ‘Asal Omong’ tadi kiranya perlu dijelaskan di sini tentang kaidah pembentukan, penciptaan bentuk ringkas dan akronim dalam bahasa Indonesia. Pada rubrik yang sama kita temukan bentuk ringkas lain untuk Kabupaten Manggarai Barat hasil mainan Om Toki dalam wacana “Senggol’nya. Bagi Om Toki Manggarai Barat bisa diringkas menjadi Mabar dengan konsekuensi harus ada bentuk ringkas Mate untuk Manggarai Tengah, lalu Mati untuk Manggarai Timur. Satu lagi kami usulkan Maut kalau nanti ada isu pembentukan Kabupaten Manggarai Utara.
Baik KMB maupun Mabar, Mate, Mati, dan Maut sama-sama dikategorikan sebagai bentuk ringkas. Hanya saja, ada yang termasuk bentuk ringkas berupa singkatan (KMB) dan ada bentuk ringkas berupa akronim (Mabar, Mate, Mati, dan Maut). Bentuk-bentuk ringkas seperti ini dalam dunia bahasa dikenal dengan sebutan Abreviasi. Istilahan Abreviasi adalah, proses  morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata.  Istilah lain untuk abreviasi ialah pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kepen­dekan. Abreviasi menyangkut penyingkatan, pemenggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf (Kridalaksana, 1993:1).
Pemakaian bentuk Kependekan, sejauh mengikuti kaidah morfologis atau kaidah peroses pembentukan kata tidak akan membawa kesulitan.  Hal ini akan menjadi masalah ketika terjadi kasus seperti yang dipersoalkan dalam kolom ‘Asal Omong’ yang diangkat Pak Frans. Kita mengetahui bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk-bentuk kepen­dekan seperti ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indone­sia), Polri (Polisi republik Indonesia), dsb. (dan sebagainya), dng. (dengan), Deppen (Departe­men Penerangan), rudal (peluru kendali). Kependekan-­kependekan itu tidak menimbulkan kesukaran pada diri pemakai bahasa. Kesulitan barulah timbul ketika pemakai bahasa mengha­dapi kependekan yang jarang dipakai atau dipakai dalam bidang yang amat khusus. Pemakai bahasa Indonesia menyimpan dan menggunakan ribuan bentuk kependekan tanpa memperhatikan sistem dan proses pembentukannya atau pun melihat hubungan antara bentuk kependekan dan kepanjangannya.
Harimurti Kridalaksana, dalam buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (1992:160-161), memberi contoh penggunaan bentuk kependekan ini. Bentuk kependekan sering berasosiasi dengan kata atau frase penuh lain karena pemakai bahasa ingin membentuk kependekan yang mirip dalam bunyi, dengan bentuk lain, supaya maknanya pun mirip.  Bentuk ringkas Gestapu (Gerakan September Tiga puluh) misalnya, dihubungkan dengan Gestapo; atau Wasalam  (Wawasan Almamater), Patok (4 Oktober), dan benci (benar-benar cinta) yang ”enak” didengar. 
Melihat contoh tersebut tidak sulit menca­ri alasan mengapa Gerakan 30 September (istilah kaum komunis tahun 1965), dipendek­kan menjadi Gestapu oleh golongan antikomunis. Sebab­nya tentulah terletak pada keinginan golongan antikomunis untuk mengungkapkan kekejaman gerakan itu, sama kejam­nya dengan Gestapo (Geheime Staatspolizei) di Jerman pada tahun 1930-an hingga 1940-an.  Kita tidak perlu heran kalau golongan komunis tidak menyukai akronim ini, sehingga diciptakan akronim lain, yaitu Gestok (Gerakan Satu Oktober), atau singkatan lain, yaitu G-30-S.
Jadi, penghindaran asosiasi dengan kependekan lain atau dengan leksem lain juga sering menjadi pertimbangan dalam penciptaan suatu kependekan.  Contoh lain: untuk pembantu rektor diciptakan akronim Purek dan dihindari singkatan PR, karena singkatan ini dipergunakan pula untuk Pemuda Rakyat, sebuah organisasi komunis.
Dalam praktiknya, asosiasi itu-atau lebih tepat faktor pragmatis-lebih menentukan wujud kependekan daripada kaidah atau sistematik fonotaktis atau fonologis yang oleh para puris (yang mempertahankan kemurnian) dituntut agar diikuti dalam pembentukan kepen­dekan apa pun.
Kebalikan dari penggunaan kependekan, yaitu menafsir­kan leksem tertentu sebagai kependekan dan memberinya kepanjangan, tentulah dikenal oleh pembaca.  Contoh: lek­sem benci yang ditafsirkan sebagai 'benar-benar cinta', sebel sebagai 'seneng betul', P4 sebagai 'pergi pagi pulang petang' sekali-sekali kita dengar.  Namun itu semua harus kita anggap sebagai lelucon yang menyegarkan.
Berdasarkan contoh bentuk ringkas yang diuraikan di atas kita dapat mengelompokkan jenis kependekan itu. Perlu disadari bahwa bentuk kependekan dalam bahasa Indonesia muncul karena terdesak oleh kebutuhan untuk berbahasa secara praktis dan cepat seperti argumen yang dikedepankan dalam kolom ‘Asal Omong’.  Kebutuhan ini paling terasa di bidang teknis, seperti cabang-cabang ilmu, kepanduan, angkatan bersenjata, dan kemudian menjalar ke bahasa sehari-hari. Bentuk-bentuk kependekan itu adalah
(1)   singkatan, yaitu salah satu hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf, seperti: FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia); DKI (Daerah Khusus Ibukota), dan KKN (Kuliah Kerja Nyata); maupun yang tidak dieja huruf demi huruf, seperti: dll. (dan lain-lain), dng (dengan), dst. (dan seterusnya).
(2)   akronim, yaitu proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik Indonesia, seperti: FKIP /efkip/ dan bukan /ef/, /ka/, /i/, /pe/;  ABRI         /abri/ dan bukan /a/, /be/,/er/,/i/;  AMPI /ampi/ dan bukan /a/, /em/, /pe/,/i/
(3)   penggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian - dari -leksem, seperti: Prof.(Profesor), Bu (Ibu), Pak    (Bapak)
(4)   kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkas­kan leksem dasar atau gabungan leksem, seperti: tak  dari tidak; takkan  dari tidak akan; sendratari dari seni drama dan tari ; berdikari dari berdiri di atas kaki sendiri; rudal dari peluru kendali
(5)   lambang huruf, yaitu proses pemendekan yang meng­hasilkan satu huruf atau lebih yang menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan atau unsur, seperti: g (gram); cm (sentimeter); Au (Aurum). Bentuk ini disebut lambang karena dalam perkembangannya tidak dirasakan lagi asosiasi linguistik antara bentuk itu dengan kepanjangannya.
(1) Kependekan berupa Singkatan
Mengklasifikasi bentuk-bentuk kependekan dalam bahasa Indonesia bukanlah hal yang mudah. Vries melalui artikelnya   berjudul “Indonesian Abbreviations and Acronyms” (1970) secara eksplisit menegaskan bahwa singkatan di dalam bahasa Indonesia tidak bersistem. Pernyataan Vries ini perlu diragukan kebenarannya karena  dalam kenyataannya hanya sebagian kecil bentuk pendek dalam bahasa Indonesia yang tidak bersistem atau berpola. Dengan kata lain sebenarnya hanya sebagian kecil kependekan yang sukar diklasifikasikan. Hal ini merupakan ciri morfologis suatu bahasa: ada proses yang teratur, dan ada tambahan dan kekecualian.
Pada berbagai bentuk kependekan sering tum­pang tindih, baik pada bentuk kependekan berupa lambang huruf maupun pada singkatan atau akronim, misalnya lambang huruf F dapat dipakai untuk Fahrenheit, Fiat, Fokker, Florin; singkatan BB dapat dipakai untuk Balai Bahasa, Balai Banjar, Balai Besar, balanced budget, Bea Beban, Bujur Barat, dan Bukit Barisan; akronim KAMI dapat dipakai untuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan Kesatuan Artis Muda Indonesia. Hal yang samalah yang terjadi berkaitan dengan bentuk singkat KMB.
Argumentasi yang dapat dipakai untuk menolak hipotesis Vries di atas adalah dengan mengklasifikasi pembentukan singkatan yang berpola dan bersistem dalam bahasa Indonesia. Bentuk singkatan terjadi karena proses-proses berikut.
·         Pembentukan dengan huruf pertama tiap komponen, misalnya: P untuk Perempuan; A untuk agama; B untuk barat, F untuk  Fokker; KTI  untuk Kawasan Timur Indonesia, JI untuk Jemaah Islamiah, FPI untuk Forum Pembela Islam, DAU untuk Dana Alokasi Umum dll.  untuk  dan lain-lain.
·         Pembentukan dengan huruf pertama dengan pelesapan konjungsi, preposisi, reduplikasi dan reposisi, artikulasi dan kata, misalnya: ABKJ untuk  Akademi Bahasa dan Kebudayaan Jepang; BASUKI untuk Badan Asuhan Sekolah dan Usaha Kebudayaan Indonesia; RTF untuk Radio, Televisi dan Film (konjungsi dan dilesapkan)
·         Pembentukan dengan huruf pertama dengan bilangan, bila berulang, misalnya: P3K untuk Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan; D3 untuk Dinas Dermawan Darah; 4K untuk Kecerdasan, Kerajinan, Kesetiaan, dan Kesehatan; BBNA3 untuk Bea Balik Nama Alat Angkutan Air; P3AB untuk Proyek Percepatan Pengadaan Air Bersih
·         Pembentukan dengan dua huruf pertama dari kata: Tn untuk Tuan; Aj untuk  ajudan; As. untuk  asisten; Ay. untuk  ayat; Ny  untuk  nyonya
·         Pembentukan dengan tiga huruf pertama dari sebuah kata:   Acc untuk accord; Ant untuk  antara; Ins untuk instruksi, insurance, inspektur; Int untuk  intendans; Obl untuk  obligasi; Okt untuk Oktober
·         Pembentukan dengan empat huruf pertama dari suatu kata, misalnya: Purn untuk  purnawirawan; Sekr untuk sekretaris; Sept untuk September
·         Pembentukan dengan huruf pertama dan huruf terakhir kata: BA untuk bintara; DI untuk  divisi; Fa untuk  firma; Ir untuk insinyur; jo untuk juncto
·         Pembentukan dengan huruf pertama dan huruf ketiga:Bd untuk  badan; Gn untuk  genting
·         Pembentukan dengan huruf pertama dan terakhir dari suku kata pertama deengan huruf pertama dari suku kata kedua, misalnya:Kpt untuk kapten; Ltn untuk letnan; Gub untuk gubernur; Kab untuk kabinet; Kav untuk kavaleri; Kel untuk keluarga; kep untuk keputusan; kes untuk kesatuan, kesehatan, kesebelasan; Kol untuk kolonel; kom untuk komandan, komando, komisariat, komisaris, komunis, komunikasi; Kop untuk koperasi, kopral; lab untuk laboratorium; let untuk  letnan; log untuk logistik; May untuk  mayor; Med untuk  Medan, medis; Nov untuk  November; Pav untuk paviliun; Pel untuk  pelabuhan; Red untuk redaksi; Sek untuk  sekretariat; Top untuk  topografi;Ter untuk teritorium.
·         Pembentukan dengan huruf pertama kata pertama dan huruf pertama kata kedua dari gabungan kata: a.d. untuk  antedium; VW untuk  Volkswagen
·         Pembentukan dengan huruf pertama dan diftong terakhir dari kata: Sai untuk  Sungai
·         Pembentukan dengan dua huruf pertama dari kata pertama dan huruf pertama kata kedua dalam suatu gabungan kata: swt untuk swatantra
·         Pembentukan dengan huruf pertama suku kata pertama dan huruf pertama dan terakhir suku kata kedua dari suatu kata:Bdg untuk  Bandung; tgl untuk  tanggal; dgn untuk  dengan; ttg untuk  tentang
·         Pembentukan dengan huruf pertama dari tiap suku kata: hlm  untuk  halaman ttg  untuk  tertanggal
·         Pembentukan dengan huruf pertama dan huruf keempat dari suatu kata: DO untuk  depot
·         Pembentukan dengan huruf yang tidak beraturan: Mgr untuk monseigneur; Ops untuk  operasi; KMD untuk  komandan; Pt untuk platinum; Kam  untuk keamanan;  Dtt untuk ditandatangani; Hat untuk  kejahatan;

(2) Kependekan berupa Akronim dan Kontraksi
Subklasifikasi kontraksi lebih sukar ditentukan dari­pada subklasifikasi singkatan, penggalan, atau lambang huruf karena kaidahnya sukar diramalkan.  Dengan akronim juga sulit dibedakan.  Sebagai pegangan dapat ditentukan bahwa bila seluruh kependekan itu dilafal­kan sebagai kata wajar, kependekan itu merupakan akronim, Di sinilah letak tumpang tindih kontraksi dan akronim.  Secara garis besar kontraksi mempunyai sub­klasifikasi sebagai berikut:
·         Pembentukan dengan suku pertama dari tiap Komponen: Orba untuk  orde baru; Orla untuk Orde lama; Latker untuk Latihan kerja; Penjas untuk pendidikan jasmani; Komdis untuk  Komando Distrik.
·         Pembentukan dengan suku pertama komponen pertama dan pengekalan kata seutuhnya: banstir untuk  banting stir; angair  untuk  angkutan air
·         Pembentukan dengan suku kata terakhir dari tiap komponen: Gatrik untuk tenaga listrik; Lisin untuk  ahli mesin; Girlan untuk pinggir jalan; Menwa untuk resimen mahasiswa;Purrat  untuk tempur darat; Rogasar untuk Biro Harga Pasar.
·         Pembentukan dengan suku pertama dari komponen pertama dan kedua serta huruf pertama dari komponen selanjutnya: Gapani  untuk  Gabungan Pengusaha Apotik Nasional Indo­nesia; Himpa  untuk  Himpunan Peternak Ayam; Markoak  untuk  Markas Komando Angkatan Kepolisian
·         Pembentukan dengan suku pertama tiap komponen dengan pelesapan konjungsi: Anpuda  untuk  Andalan Pusat dan Daerah;
·         Pembentukan dengan huruf pertama tiap komponen: KONI untuk  Komite Olahraga Nasional Indonesia; LEN untuk  Lembaga Elektronika Nasional; LIK untuk  Lembaga Inventarisasi Kehutanan
·         Pembentukan dengan huruf pertama tiap komponen frase dan pengekalan dua huruf pertama komponen terakhir: Aika  untuk  Arsitek Insinyur Karya; Aipda  untuk  Ajun Inspektur Polisi Dua
·         Pembentukan dengan dua huruf pertama tiap komponen:Unud untuk  Universitas Udayana; Bapefi untuk  Badan Penyalur Film.
·         Pembentukan dengan tiga huruf pertama tiap komponen: Komrad untuk  komunikasi radio; Korwil untuk  koordinator wilayah; Puslat untuk  pusat latihan; Banser untuk  bantuan serbaguna; Buser untuk buru sergap.
·         Pembentukan dengan dua huruf pertama komponen perta­ma dan tiga huruf pertama komponen kedua disertai pelesapan konjungsi: abnon untuk   abang dan none (Jkt)
·         Pembentukan dengan dua huruf pertama komponen perta­ma dan komponen ketiga serta pengekalan tiga huruf perta­ma komponen kedua: Nekolim untuk  Neokolonialis, Kolonialis, Imperialis; Odmilti untuk  Oditur Militer Tinggi
·         Pembentukan dengan tiga huruf pertama komponen perta­ma dan ketiga serta pengekalan huruf pertama komponen kedua: Nasakom untuk  Nasionalis, Agama, Komunis; Nasasos untuk  Nasionalisme, Agama, Sosialisme
·         Pembentukan dengan tiga huruf pertama tiap komponen serta pelesapan konjungsi:Falsos untuk  Falsafah dan Sosial
·         Pembentukan dengan dua huruf pertama komponen perta­ma dan tiga huruf pertama komponen kedua: Fahuk  untuk  fakultas hukum; Jabar untuk Jawa Barat; Jatim untuk  Jawa Timur; Aftim untuk  Afrika Timur
·         Pembentukan dengan empat huruf pertama tiap komponen disertai pelesapan konjungsi: Agitprop  untuk  Agitasi dan propaganda
·         Pembentukan dengan berbagai huruf dan suku kata yang sukar dirumuskan: Akaba untuk  Akademi Perbankan; Agipoleksos untuk Agama, Ideologi, Politik, Ekonomi, dan Sosial;

(3) Kependekan berupa Penggalan
Penggalan mempunyai beberapa subklasifikasi sebagai berikut.
·         Pembentukan dengan penggalan suku kata pertama dari suatu kata: Dok  untuk  dokter; Sus untuk    suster (aslinya: Zuster)
·         Pembentukan dengan suku terakhir suatu kata: Pak  untuk Bapak (kata sapaan); Bu untuk  Ibu (kata sapaan); Dik untuk Adik (kata sapaan); Ti untuk Tuti (nama diri); Nak untuk Anak (kata sapaan); kum untuk hukum
·         Pembentukan dengan tiga huruf pertama dari suatu kata: Bag untuk bagian; Dep untuk  departemen; Des untuk Desember; Dir untuk Dirman; dir untuk direktur; dis untuk  distrik; div untuk divisi; fak untuk fakultas
·         Pembentukan dengan empat huruf pertama dari suatu kata:Brig untuk brigade; Kapt untuk kapten; Prof untuk profesor; Sept untuk September;Viet untuk Vietnam
·         Pembentukan dengan kata terakhir dari suatu frase:ekspres untuk kereta api ekspres harian untuk  surat kabar harian; kawat untuk surat kawat
·         Pelesapan sebagian kata: apabila untuk pabila; kena apa untuk kenapa; tidak akan untuk takkan; bahwa sesungguhnya untuk bahwasanya

(4) Kependekan berupa Lambang Huruf
Lambang huruf dapat disubklasifikasikan menjadi:
(a)   lambang huruf yang menandai bahan kimia atau bahan lain,
(b)   lambang huruf yang menandai ukuran,
(c)    lambang huruf yang menyatakan bilangan,
(d)   lambang huruf yang menandai kota/negara/alat angkut­an,
(e)    lambang huruf yang menyatakan mata uang, dan
(f)     lambang huruf yang dipakai dalam berita kawat.

(a) Lambang huruf yang menandai bahan kimia atau bahan lainnya:
·      Pembentukan dengan huruf pertama dari kata: N untuk  nitrogen; O untuk  oksigen, p untuk  fosfor; S untuk  sulfur
·      Pembentukan dengan dua huruf pertama dari kata:Ar untuk argon; Au untuk  aurum,  Ca untuk  kalsium; Ir untuk iridium; Na untuk natrium; Ne untuk neon; Ni untuk  nicolum; Ra untuk radium; Ti untuk titan
·      Pembentukan dengan huruf dan bilangan yang menyatakan rumus bahan kimia: H2O  untuk  hidrogen dioksida; H2SO4  untuk  asam sulfat; N2O  untuk  natrium oksida
·      Pembentukan dengan huruf pertama dan huruf ketiga: Cl untuk  klorida; Br untuk  barium; Mg untuk  magnesium
·      Pembentukan dengan gabungan lambang huruf. ­Na Cl  untuk  natrium klorida; KOH  untuk  kalium hidroksida; KCN  untuk  kalium sianida

(b). Lambang huruf yang menandai ukuran
·      Pembentukan dengan huruf pertama:g untuk  garam;1 untuk  liter; m untuk meter; A untuk ampere;  v untuk volt; w untuk watt; C untuk Celsius; F untuk Fahrenheit
·      Pembentukan dengan huruf pertama dari komponen gabungan:km untuk kilometer hm untuk hektometer; ml untuk mililiter; kw untuk kilowatt
·      Pembentukan dengan huruf pertama dan terakhir dari komponen pertama dan huruf pertama komponen kedua: dam untuk dekameter; dal untuk  dekaliter dag untuk dekagram
·      Pembentukan dengan huruf pertama, ketiga dan keempat: yrd untuk  yard
(c) Lambang huruf yang menyatakan bilangan:I untuk 1; V untuk 5; X untuk 10; L untuk 50; C untuk 100; D untuk 500; M untuk 1000; CXC untuk 190; LM untuk 950; MCM untuk 1900; MCMLXXXIV  untuk  1984
(d) Lambang huruf yang menandai kota/negara/alat angkutan
·         Pembentukan dengan dua huruf pertama + satu huruf pembeda:AMI untuk Ampenan; AMQ untuk  Ambon; BIK untuk Biak; DJB untuk Jambi; DJJ untuk Jayapura; MES untuk Medan; SIN untuk Singapore
·         Pembentukan dengan tiga huruf konsonan: JKT untuk Jakarta; PDG untuk Padang PGK untuk  Pangkalpinang; PLM untuk Palembang; TRK  untuk Tarakan; BKK untuk Bangkok
·         Lambang huruf yang menandai nomor mobil: A:Banten; B:Jakarta; D:Bandung; E:Cirebon; F:Bogor; AB:Yogyakarta; AD:Surakarta; DB:Minahasa; DR:Lombok; EB:Flores
(e) Lambang huruf yang menandai mata uang:Rp untuk rupiah; $ untuk dollar; R untuk  rupee; DM  untuk  Deutsche Mark; Fr untuk franc
(f) Lambang huruf yang digunakan dalam berita kawat: HRP  untuk  harap; DTG  untuk datang; SGR  untuk  segera.
Setelah mengikuti uraian panjang di atas kiranya kita dapat mengelompokkan pelbagai bentuk kependekan yang kini bertebaran memenuhi dan menghiasi berita pada pelbagai media kita. Lebih dari itu kiranya dengan penjelasan seperti ini para praktisi media yang merasa diri sebagai orang pertama yang menciptakan bentuk kependekan dapat menciptakan kependekan yang bukan saja karena alasan praktis dan mencari gampang tetapi lebih dari itu hendaknya mempertimbangkan pelbagai harapan dalam kaitannya dengan pemerkayaan kosa kata dalam bahasa Indonesia. Mungkin perlu kita menghindari sikap mencari jalan pintas dalam aneka bentuk ringkas yang pelahirannya tanpa gagasan penyangga yang kukuh.  Marilah kita memperkaya kosa kata bahasa kita dengan cara yang pantas dalam takaran norma kebahasaan.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar