Jumat, 03 Agustus 2012

Balon Gubernur untuk Bacagub


Kolom Bentara harian Umum Flores Pos edisi Senin, 19 Mei 2003 tampil dengan judul “Mempertimbangkan Balon Gubernur NTT Periode 2003-2008”  Kolom dengan enam paragraf ini, memuat delapan balon seperti yang kami kutip berikut ini: (NB: huruf miring dan tebal dari kami)
(1)    Beberapa balon gubernur NTT periode 2003-2008 , baik yang mantan pejabat maupun balon baru sudah memaparkan pokok-pokok pikiran pemerintahannya bila berhasil dipilih.
(2)    Untuk balon gubernur yang adalah mantan pejabat lama tentulah lebih mudah menilai apakah balon tersebut layak atau tidak dicalonkan kembali.
(3)    Tetapi kedua jenis balon gubernur harus dinilai berdasarkan kriteria yang ada.
(4)    Kita berharap agar tekad ini bukan saja milik bacagub Arif Rahman, melainkan menjadi program balon siapa pun yang terpilih menjadi gubernur/wagub.
(5)    Agenda demokratisasi dicanangkan oleh balon wagub Drs. Frans Lebu Raya.
(6)    Sayang, dalam pemaparan itu tidak terungkap adanya balon yang mengangkat agenda penegakan supremasi hukum sebagai salah satu program.
(7)    Anggota DPR RI yang juga salah seorang bakal calon Gubernur (Bacagub) NTT, Yulius Bobo
(8)    Bakal calon Gubernur (Bacagub) NTT, Usman M.Tokan mempunyai visi yang sangat kuat.
Kalimat (1) s.d. (8) di atas semuanya mengandung kata singkatan berupa akronim masing-masing  balon (sebagai akronim dari bakal calon); bacagub (sebagai akronim untuk  bakal calon gubernur); balon wagub (sebagai akronim untuk bakal calon wakil gubernur). Akronim-akronim tersebut perlu dipersoalkan penggunaannya dalam kalimat itu.
Berdasarkan contoh kutipan di atas kita dapati inkonsistensi (kesemberawutan) penggunaan singkatan berupa akronim. Bakal calon dijadikan balon dan bakal calon gubernur dijadikan bacagub. Seharusnya, kalau mau konsisten bentuk akronim balon itu tetap dipertahankan sehingga bentuk bacagub seharusnya balongub seperti bentuk balonwagub untuk bakal calon wakil gubernur seperti terlihat pada kalimat (5). Inkonsistensi pemakaian akronim balon seperti contoh itu juga menimbulkan anomali dalam berbahasa. Artinya wacana yang dihasilkan dapat membingungkan pembaca atau pendengar karena adanya kalimat yang tidak berterima. Mangapa? Karena bentuk kata ‘balon’ oleh pembaca sudah memiliki arti leksikal yaitu benda yang terbuat dari karet dan dapat diisi dengan udara atau gas.
Di samping adanya inkonsistensi penggunaan akronim dan anomali karena beban makna baru pada kata ‘balon’ seperti diuraikan di atas. Pemakaian akronim balon untuk bakal calon tampaknya tidak mempertimbangkan aspek pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Penggunaan akronim itu hanya mempertimbangkan aspek ekonomi kata (hemat kata) tanpa adanya usaha pemerkayaan kosa kata. Padahal, pemerkayaan kosa kata dalam suatu bahasa dapat dibentuk melalui beberapa  proses morfologis.
Harimurti Kridalaksana dalam buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia terbitan Gramedia (1992) mencatat beberapa proses morfologis yang memungkinkan terbentuknya kata baru yang memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Paling kurang ada enam proses morfologis yaitu (a) derivasi zero, (b) afiksasi, (c) reduplikasi, (d) abreviasi (pemendekan), (e) komposisi (perpaduan), dan (f) derivasi balik. Proses morfologis yang relevan untuk diuraikan secara lebih panjang lebar  dalam kaitan dengan topik rubrik ini adalah proses abreviasi (pemendekan). Istilah abreviasi (pemendekan) itu diartikan sebagai proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga muncullah bentuk baru yang berstatus kata (morfem dasar atau morfem bebas). Istilah lain untuk abreviasi ini adalah pemendekkan dan hasilnya disebut kependekan (Kridalaksana, 1992: 149).
Pemendekan kata dapat menghasilkan aneka jenis kependekan kata atau bentuk kata yang pendek. Bentuk-bentuk kependekan muncul karena pemakai bahasa terdesak untuk  berbahasa secara praktis dan cepat dalam pelbagai bidang kehidupan. Abreviasi atau pemendekan dapat menghasilkan bentuk baru berupa (a) singkatan, (b) penggalan, (c) akronim, (d) kontraksi, dan yang hanya berupa lambang huruf.  Singkatan adalah hasil pemendekan berupa huruf atau gabungan huruf yang dieja huruf demi huruf seperti DPR, SMS, PNS, TNI, dll., dst. Penggalan  adalah pemendekan dengan cara mengekalkan salah satu bagian dari leksem seperti bentuk pendek Prof., Dik., dari leksem profesor dan leksem adik.
Akronim adalah proses pemendekan yang terjadi karena menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain dari leksem-leksem yang ditulis serta dilafalkan sebagai sebuah kata yang umumnya  memenuhi kaidah fonotaktik bahasa Indonesia seperti ABRI, Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi), Bides (Bidan Desa). Kontraksi adalah pemendekan yang terjadi karena meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem seperti bentuk tak, tiada, begini, takkan merupakan kontraksi dari bentuk leksem tidak, tidak ada, bagai ini, tidak akan. Lambang huruf adalah pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih untuk mewakili konsep dasar kuantitas, satuan, unsur seperti m (meter), l (liter), Au (Aurum = emas).
Jika kita mencermati pemakaian bentuk balon, bacagub, balon wagub  pada contoh kalimat (1) s.d. (8) di atas maka kita dapat mengelompokkaan bentuk itu sebagai pemendekan berupa akronim. Kalau bacagub itu menjadi kependekan bentuk bakal calon gubernur maka bentuk panjang untuk bakal calon wakil gubernur seharusnya bacawagub dan bukan balon wagub. Atau kalau mau memilih bentuk akronim yang sebaliknya maka  bentuk pendek balon wagub untuk bakal calon wakil gubernur  harus disejajarkan dengan bentuk pendek balongub untuk bakal calon gubernur. Jika tidak, itu artinya bakal calon memiliki dua bentuk akronim atau memiliki varian akronim balon dan baca. Mengapa  bentuk  baca  (bacagub) untuk bakal calon gubernur sedangkan bentuk balon (balon wagub)  untuk wakil gubernur? Hal yang harus dijawab  berkaitan dengan pertanyaan ini adalah soal ketaatasasan dalam pembentukan dan penggunaan akronim agar tidak menimbulkan ketidaklaziman dalam berbahasa.
Pembaca dapat membandingkan ulasan ini dengan ulasan dalam rubrik bahasa ini sebelumnya di bawah judul ‘Bides’ suka ‘Dansa; ‘Tomas’ suka ‘Tomat’. Baik Bides maupun Dansa merupakan akronim untuk Bidan Desa. Baik Tomas maupun Tomat  merupakan akronim untuk Tokoh Masyarakat.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar