Rabu, 08 Agustus 2012

Kelompok Tujuh Di-PAW-kan?


Kemelut terkait perebutan  jabatan, kuasa, harta, uang, prestise terjadi di mana-mana. Dalam konteks lokal perebutan serupa termanisfestasi misalnya, dalam sikap ketua partai Golkar Manggarai yang melakukan pemecatan terhadap anggotanya karena mereka dinilai mengangkangi kesepakatan yang telah dibuat dan ditandatangani (tidak soal itu dibuat dalam kondisi sadar, setengah sadar atau dalam kondisi hilang kesadaran). Sebagai masyarakat  yang menyerahkan mandat  kita pantas bertanya bahkan berhak bertanya perihal kualitas kepribadian wakil kita yang sudah berhasil dalam permainan merebut kursi yang bakal meraup rezeki berjuta-juta rupiah setiap bulannya. Kita tentu berharap agar para anggota dewan terpilih (terpilih artinya sudah dipilih dan mungkin bukan kategori kualitas dalam arti karena keunggulan) tidak mengangkangi rakyatnya.
Berita tentang caleg di Manggarai memang tergolong berita yang sungguh fenomenal dan unik. Betapa tidak. Sejak  pemilihan anggota legislatif hingga pascapelantikan halaman media kita masih disarati dengan berita tentang ‘permainan bola’ untuk suatu jabatan, kuasa, dan harta para anggota legislatif. Berita seperti ini menarik sekaligus membosankan, menyenangkan sekaligus memalukan. Mengapa? Karena di sana  terjadi proses pendidikan politik pincang dengan segala kejujuran di dalam kebohongan dan dustanya. Koran kita telah berubah menjadi ‘etalase’ pemajangan manusia-manusia  yang dusta dalam kejujuran, jujur dalam kedustaan. Rakyat yang buta politik hanya mampu menggeliat dan bergumam dengan konsep lamanya: politik itu memang dusta dan dusta itu menu politik. Lihat saja, Undang-undang boleh dan harus diakali dan kesepakatan pun boleh dan harus dikangkangi atau didustai. Hasil akhir rakyat bingung dan tak percaya tetapi yang pasti pelantikan dinantikan dan diamini.
Bola politik di Manggarai tampaknya terus menggelinding tanpa titik bidik yang pasti. Kelompok tujuh kembali terpajang di etalase penawaran jabatan dan jaminan hidup. Pertahanan mereka yang dinilai mengangkangi kesepakatan kembali digempur. Mereka dinilai tidak representatif mewakili rakyat. Kasarnya mereka dinilai wakil rakyat pilihan Undang-Undang bukan pilihan rakyat. Itu tidak tanggung-tanggung karena bola keberuntungan diletakkan pada titik penalti. Ringkas kisah, kelompok tujuh  terancam  ditilang sang sesepuh karena dinilai melanggar tata kerama dan kaidah sopan santun kepartaian. Selanjutnya, muncul konsep dan rencana agar kelompok tujuh di-PAW-kan sekadar menganulir kelayakan mereka menduduki kursi legislatif.  Tendangan penalti yang membahayakan karena PAW  identik dengan membagi atau merebut jabatan,status dan jaminan hidup yang tumbuh dari kursi legislatif.
Terkait   masalah ini, muncul masalah kebahasaan di samping masalah politik, kekuasaan, jabatan, dan jaminan hidup. Di sini kita temukan  dua kata ‘ditilang’ dan ‘di-PAW-kan.  Sepintas dua bentuk itu dapat diterima tetapi kalau dicermati,  dua bentuk itu perlu dipersoalkan. Kata ‘ditilang’ secara morfologis  terbentuk oleh imbuhan di- (bentuk pasif) yang dilekatkan pada bentuk dasar yang merupakan akronim. Kata ‘tilang’ merupakan akronim dari ‘bukti pelanggaran’. Jika kita mengembalikan bentuk ringkas itu ke dalam bentuk panjangnya dengan imbuhan di-, maka kita akan dapati kata ‘dibuktipelanggaran’.
Hal yang sama juga terjadi pada kata ‘di-PAW-kan yang dibentuk  karena konfiks di-/-kan yang dilekatkan pada bentuk ringkas atau singkatan PAW.  Bentuk PAW secara lengkap ditulis menjadi Pergantian Antara Waktu. Jika konfiks ke-/-an dilekatkan pada bentuk panjang seperti ini, maka kita seharusnya kita mendapatkan bentuk dipergantianantarawaktukan.
Sebelum pemilihan presiden baik  putaran pertama maupun putaran kedua, pada berita surat kabar kita juga sering  menemukan bentuk seperti pencapresan dan pencawapresan. Pada dua bentuk terakhir ini kita jumpai pemakaian konfiks peN-/-an dengan bentuk ringkas capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden). Jika kaidah afiksisasi kita terapkan pada dua bentuk panjang seperti ini, maka kita akan menurunkan bentuk pencalonpresidenan dan pencalonwakilpresidenan.
Keempat contoh yang kami turunkan pada rubrik ini membuktikan kepada kita bahwa proses imbuhan atau afiksisasi terhadap bentuk ringkas dan akronim menyisakan sederetan masalah kebahasaan yang sulit dijelaskan. Justru di sinilah letak tuntutan akan adanya tanggung jawab media dalam membina cara berbahasa masyarakat pembaca. Jalan pintas untuk menghemat dan menyingkat pewacanaan sebuah teks berita tentunya menjadi bahan pertimbangan media. Bukan sekadar menghemat tetapi tetap mengabdi pada kaidah yang normatif.
Kejanggalan atau ketidakberterimaan bentuk yang kami jadikan sebagai contoh ini tampak jelas ketika bentuk ringkas yang berimbuhan itu dikembalikan pada bentuk lengkap atau bentuk panjangnya. Perlu kami informasikan bahwa bentuk-bentuk di atas dalam dunia bahasa dikenal sebagai bentuk hibrida karena terjadi pengimbuhan pada unsur bukan kata atau bentuk dasar tetapi pada bentuk ringkas dan akronim.
Pers pada umumnya  menerima  kata bercorak hibrida  seperti ini karena dinilai cocok dengan corak wacana berita yang singkat padat karena keterbatasan ruang atau kolom. Kriteria singkat dan padat belumlah cukup sebelum ditambahkan dengan kriteria kejelasan.  Jelas, artinya tidak membingungkan pembaca dengan sederetan bentuk hibrida yang kian membanjiri halaman surat kabar kita.  Mari kita pertimbangkan lagi pemakaian setiap bentuk hibrida dalam tindak berbahasa kita demi menjaga martabat dan kewibawaan bahasa kita. Kita ingat pesan Sapir ini: “Bahasa menunjukkan bangsa”.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar