Jumat, 03 Agustus 2012

Masalah Alih Waris dan Ahli Waris


63. Masalah Alih waris dan Ahli waris

Pada satu kesempatan makan siang bersama di kamar makan Patres Seminari Kisol, Romo Praeses menanyakan sesuatu berkaitan dengan salah satu kalimat yang tertulis pada buku doa sesudah makan. Kalimat itu tertulis: Engkau telah mengangkat kami menjadi  ahli waris kerajaan-Mu. Pada kalimat itu terdapat kata ahli waris Pertanyaan Romo Praeses: “Mana yang benar ahli waris atau alih waris?” Pada saat itu muncul jawaban bervariasi. Ada yang mengatakan yang benar adalah ahli waris, ada pula yang mengatakan alih waris, ada pula yang mengatakan kedua bentuk itu sama saja. Pilihan-pilihan seperti ini dalam konteks wacana kamar makan tentu sah-sah saja tetapi sebagai pemakai bahasa yang baik dan benar kita harus menentukan sikap yang pasti dan tepat disertai dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanyaan yang disampaikan Romo Praeses Seminari Kisol ini, kemungkinan besar tidak saja membingungkan warga kamar makan patres di Kisol tetapi juga mungkin membingungkan banyak orang ketika secara sadar mencermati bentuk alih waris dan ahli waris seperti itu. Untuk mengatasi kebingungan seperti itu, sekaligus untuk mendapatkan kepastian dalam tindak berbahasa, melalui rubrik ini kami mencoba menjelaskan masalah ketepatan penggunaan dua bentuk tersebut. Untuk itu kita perlu melihat contoh penggunaan dua bentuk itu seperti yang terdapat pada kalimat  (a) s.d. (d) berikut ini:
(a)   Lamber Bijok adalah alih waris yang sah atas semua tanah sengketa itu.
(b)   Kedua alih waris terlibat perang tanding merebut warisan orangtua mereka.
(c)    Putra sulung sering merasa diri sebagai ahli waris harta kekayaan orangtua.
(d)   Kekayaan orangtua sering menjadi sumber perselisihan para ahli waris.
Pada kalimat (a) dan (b) kita temukan bentuk alih waris dan pada kalimat (c) dan (d) kita temukan bentuk ahli waris. Dari dua bentuk yang berbeda ini, kita temukan perbedaan pada bentuk alih dan ahli. Secara leksikal dua kata itu memiliki makna yang berbeda. Dari aspek bentuk, dua kata itu dapat saja orang “menduga” bahwa kedua bentuk itu merupakan variasi dari satu bentuk yang mengalami proses metatesis (proses pergantian letak huruf seperti pada kata rontal-lontar; jalur-lajur; krikil-kelikir; padma-padam). Dugaan seperti itu, tentu saja dapat ditolak karena kata ahli dan alih memiliki makna leksikal yang berbeda, tidak memiliki makna dasar yang sama seperti pada kata rontal-lontar; jalur-lajur; krikil-kelikir. Bentuk ahli dan alih merujuk pada hal yang berbeda sebagai refrennya sedangkan bentuk rontal-lontar; jalur-lajur; krikil-kelikir masing-masing mengacu pada refren yang sama. Kelikir dan kerikil misalnya mengacu pada benda yang sama yaitu bongkahan batu dengan ukuran kecil.
Dua bentuk itu menjadi masalah justru ketika kedua bentuk itu dipadukan dengan bentuk waris sehingga menghasilkan dua bentuk yaitu alih waris dan ahli waris. Untuk menjelaskan masalah seperti ini kita harus melihat makna leksikal bentuk alih dan ahli itu. Penulis Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:22-23) mencatat bahwa kata alih berkategori verba yang berarti pindah, ganti, tukar. Kita akan dapati bentuk seperti alih aksara artinya perubahan suatu tulisan dari satu aksara yang satu ke aksara yang lain (transliterasi); alih bentuk artinya perubahan bentuk atau struktur; alih generasi berarti pergantian generasi (regenerasi). Sementara itu, pada bagian lain kita akan temukan bentuk ahli. Kata ahli  dalam KBBI (1989:11) dikategorikan sebagai nomina (kata benda) yang diartikan sebagai orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu (kepandaian); orang yang mahir benar. Dari situ akan muncul bentuk-bentuk seperti: ahli agama artinya orang yang mendalami agama dan ketuhanan; ahli bahasa artinya orang yang mahir dalam pengetahuan bahasa; ahli hukum artinya orang mahir dalam bidang hukum.
Di samping makna-makna seperti diuraikan di atas bentuk dan kata ahli itu juga mempunyai makna lain yaitu kaum, keluarga, sanak saudara, orang-orang yang termasuk dalam suatu golongan. Dari bentuk itu muncul bentuk paduan ahli famili yang berarti sanak saudara; ahli kitab artinya orang-orang yang berpegang pada ajaran kitab suci selain Alquran; ahli kubur artinya orang yang telah meninggal; penjaga kubur; ahli sunah adalah kaum muslimin yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad, saw. Bentuk  paduan ahli waris baru tertulis pada bentuk ahli dalam pengertian kedua ini. Ahli waris itu diartikan sebagai orang-orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka).
Setelah mengikuti uraian ini, kita kembali pada masalah pokok di atas perihal bentuk yang benar dari kemungkinan alih waris atau ahli waris. Kalau orang menganggap bahwa bentuk alih waris itu  sebagai bentuk yang benar maka kita dapat menduga argumentasi yang mendasarinya. Boleh jadi, orang seperti itu memilih bentuk itu karena mengira bahwa bentuk ahli dan alih itu merupakan gejala metatesis dengan rujukan benda atau hal yang sama. Penjelasan di atas menegasikan atau menolak hipotesis seperti ini. Kemungkinan kedua karena orang menempatkan makna semantik kata alih (sebagai verba atau kata kerja) pada paduan alih waris sebagai aktivitas berpindahnya warisan dari seseorang kepada orang lain. Hipotesis kedua ini pun tidak dapat diterima karena bentuk waris tidak dijumpai pada bentuk dasar (lema) alih. Kata waris baru diemukan sebagai bentuk yang berpaduan dengan kata ahli dalam pengertian yang kedua seperti telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian kesimpulan kita jelas bahwa bentuk yang benar adalah Ahli waris karena berkaitan dengan konsep kekerabatan, kekauman dan bukan alih waris. Contoh kalimat (a) dan (b) di atas harus diubah menjadi  (a)  Lamber Bijok adalah ahli waris yang sah atas semua tanah sengketa itu (b) Kedua ahli waris terlibat perang tanding merebut warisan orangtua mereka. Marilah kita menjadikan diri kita sebagai Ahli waris dari para ahli bahasa biar bahasa kita baik dan benar!**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar