Minggu, 20 Desember 2015

Opini: Kekuasaan dan Demokrasi Superfisial



Kekuasaan dan Demokrasi Superfisial 

Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng


Perhelatan akbar pemilihan serentak telah berakhir. Rakyat yang kebetulan diundang untuk memberi hak demokratisnya telah memberi mandatnya pada orang pilihannya dan rakyat yang betul tidak diundang dilupakan saja. Semuanya seakan-akan tanpa masalah, aman, tertib, dan terkendali.  Pertarungan wacana perihal kekuasaan telah usai. Perebutan kekuasaan untuk sementara berhenti tetapi strategi dan trik mengamankan kekuasaan diam-diam diperkukuh untuk periode selanjutnya agar kata petahana (incumbent) tidak terhapus dari kamus politik, demokrasi, dan kekuasaan di tanah air. 
Pasangan yang terpilih secara demokratis akan berlangkah tegap, wajah terangkat, berbangga karena ia yakin sungguh bahwa rakyat memberinya mandat. Pasangan yang terpilih dalam demokrasi semu tentu saja berlangkah tegap, tetapi mungkin akan agak tertuntuk berwajah sembab mendengarkan apa kata hatinya ketika hak rakyat dikondisikan untuk dimandatkan kepadanya. Liputan seputar pilkada merupakan menu pencerdasan masyarakat dari pihak media untuk mengkritisi pemimpin yang betul-betul dipilih rakyat atau yang betul kebetulan dipilih rakyat. 
Flores Pos Rabu (16/12) menurunkan berita rajutan wawancara wartawan senyornya, Frans Obon, dengan pimpinan STKIP Santo Paulus Ruteng Senin (14/14) seputar  pilkada. Salah satu  kata kunci, sekaligus benang merah yang sepantasnya dicermati dari liputan Flores Pos  yakni pemakaian istilah “superfisial” yang dikorelasikan dengan pilkada sebuah perhelatan yang menghabiskan daya miliaran rupiah. “Pilkada  langsung telah menjadi sesuatu yang superfisial” yang dapat dicermati dari perubahan orientasi pemilihan rakyat yang terkesan  berubah dalam waktu yang cepat. Kesan superfisial atau semu ini didasarkan pada kondisi beberapa hari sebelum pemilihan dan hasil penghitungan suara. Narasi seperti penculikan, pembakaran kotak suara, kasus dugaan kecurangan pembukaan segel kotak suara, dan parade masyarakat menuntut hak demokrasi di jalanan  karena merasa haknya dirampas di beberapa daerah akan tercatat sebagai sejarah kelam demokrasi yang ditengarai sedang mati suri.

Kekuasaan itu Relasi dan Integrasi
Politik dan demokrasi yang dilakoni secara superfisial dalam konteks mendapatkan kekuasaan akan melahirkan  kekuasaan yang rapuh dan keropos dari sisi paling dalam. Kekuasaan yang didapatkan dalam suatu permainan semu cenderung defensif dan otoriter. Tendensi perilaku defensif dan otoriter kekuasaan itu akan bermetamorfosis  ke dalam sandiwara kekuasaan yang memaksakan kepatuhan pada kelompok yang sejalan dan dianggap saja loyal terhadap kekuasaan yang sama. Berbagai kepentingan yang diletakkan pada kekuasaan yang diperebutkan dengan sendirinya menodai hakikat demokrasi.
Kepatuhan yang dikondisikan seperti ini melahirkan dan menghadirkan warga masyarakat yang menjadi boneka di tangan penguasa dan akan mudah dijinakkan. Bentuk terburuk dari kekuasaan yang melahirkan kepatuhan yang dipaksakan seperti ini membawa kita pada gagasan Gramsci (Gramsci’s Political Thought) perihal hegemoni kekuasaan. Semua orang tahu bahwa pemikiran kritis Gramsci semakin kuat dirujuk ketika reformasi ditiupkan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang berakar dalam semangat politik yang korup,  kotor, dan koersif.
Perihal kekuasaan, Gramsci menegaskan bahwa kekuasaan harus dipahami dalam relasi termasuk relasi sosial dengan masyarakat sipil. Hanya dalam pemahaman kekuasaan berperspektif relasi seperti ini kekuasaan itu dapat didistribusikan secara merata kepada masyarakat sipil dan bukan secara total dimandatkan kepada aparat negara yang cenderung koersif. Konsep negara yag integral bagi Gramsci pada dasarnya menegaskan konsep baru tentang watak kekuasaan bahwa perjuangan politik tidak terbatas pada perebutan kekuasaan tetapi terutama dan pertama merujuk pada perluasan kekuasaan itu kepada masyarakat sipil. Perluasan karena kesadaran bukan kesadaran yang diarahkan untuk kemudian dikuasai
Implikasi dari gagasan seperti ini semestinya mendorong semua orang untuk berpartisipasi bebas tanpa tekanan dalam menentukan pilihan politiknya. Warga seharus dan semestinya tidak dijadikan pemain sandiwara yang harus berakting seturut arahan sang sutradara yang akan mempertahankan kekuasaan. Lebih tidak bermartabat lagi jika warga yang akan menentukan pilihannya diimingi berbagai janji finansial dan posisi dalam jabatan basah.
Demokrasi semestinya menjadi tarian massal yang mempertontonkan ekspresi yang spontan tetapi tetap harmonis sehingga menyenangkan untuk dinikmati.  Upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan cara melanggengkan kepatuhan pada sejumlah subjek yang dapat dimanipulasi menafikkan konsep relasi dan integral dalam kehidupan bermasyarakat. Hal seperti inilah yang menjadikan kehidupan warga tidak dinikmati sebagai sebuah tarian massal yang melepaskan beban kehidupan. Hal seperti ini pula yang menjadikan momen pilkada bukan sebuah pesta demokrasi tetapi justru menjadi sandiwara yang semu alias superfisial. Ini jelas menyembunyikan api dalam sekam yang akan memberangus demokrasi yang lagi bertumbuh sebagai salah satu wujud revolusi mental.
Resistensi dan Seni Kebohongan
Kekuasaan superfisial pada gilirannya menimbulkan resistensi. Resistensi terhadap kekuasaan akan hadir ketika kelompok yang merasa haknya disampahkan mengetahui skenario sang sutradara yang menduduki kekuasaan. Menghadapi resistensi sebegini, sang sutradara tentu saja akan menggunakan pelbagai jurus sekadar menyembunyikan semua skenario dan membungkusnya secara apik. Di sinilah kehidupan demokrasi semakin rapuh karena sandiwara dibangun di atas sandiwara dan begitu seterusnya mata rantai sandiwara tidak terpustuskan. Jadi, benarlah adagium lama bahwa dunia ini panggung sandiwara karena di atasnya penguasa membangun suatu kebersamaan di atas dasar yang rapuh, merancang kebohongan untuk kebohongan.
Politik dan demokrasi bukan lagi sebagai seni yang mengeskprsikan kebermartabatan seorang warga melainkan seni merangkai kebohongan untuk kebohongan. Seni, kata Picasso adalah kebohongan untuk menyampaikan kebenaran. Karya-karya sastra boleh dianggap kebohongan (fiksi) tetapi bertendensi menyampaikan kebenaran tetang perilaku manusia yang tentu saja berlawanan arah dengan narasi politik dan demokrasi yang nyata untuk membahasakan kebohongan. Masalah pilkada dan tuntutan akan demokrasi yang jujur, adil, bermartabat,  yang disuarakan di jalan-jalan raya sudah menjadi rujukan betapa politik kita menjadi narasi kebohongan yang menopang masa depan yang lebih rapuh.
Kekuasaan Diberi atau Direbut
Aesop, budak Yunani yang hidup 20 abad silam secara sederhana membahasakan betapa kekuasaan itu akan membentuk perilaku seseorang  seperti nyata dalam sebuah kisah (narasi fiktif ) perjumpaan Srigala dan Domba di pinggir sungai. Srigala secara naluri ingin menerkam domba yang sedang melepas dahaga itu di tepi sungai. Srigala masih pura-pura paham hukum karena itu ia mencari soal sebagai alasan menerkam sang domba. Srigala membentak domba yang katanya membuat air keruh dan srigala tidak bisa meminum air. Domba membela diri, “Itu tidak mungkin,  karena tuan  minum di bagian hulu, aku di bagian hilir dan air mengalir dari hulu ke hilir”. Srigala kembali menuduh, “Tetapi lima tahun lalu kamu mengkritik saya sebagai binatang buas”. “Wah, itu tidak mungkin karena aku baru dilahirkan tiga tahun lalu”, kata domba membela diri. “Kalau kau baru dilahirkan, tetapi ibumu yang lakukan itu”, kata srigala sambil menerkan domba itu.
Ini kisah dongeng (fabel) ada unsur kebohongannya tetapi menunjukkan kebenaran tentang kenyataan kekuasaan yang cenderung otoriter. Orang lemah selalu menjadi korban kekuasaan. Ada ajakan dan kebenaran dalam dongeng ini tidak saja ajakan untuk kekuasaan konteks politik tetapi juga untuk semua jenis kekuasaan. Pemimpin terhadap rakyat, orangtua terhadap anak, pendidik terhadap peserta didik, majikan terhadap buruh, polisi terhadap ojek, pemilik supermarket terhadap pelanggan. Persoalan pokoknya terkait bagaimana kekuasaan itu didapatkan. Diberikan karena orang percaya ataukah  diperebutkan dari orang dengan cara yang tidak bisa dipercaya? Tidak perlu dijawab, tetapi cermatilah yang berkuasa itu selama berkuasa! Hal yang tidak kalah pentingnya untuk rakyat adalah berdoa bagi pemimpin yang jujur agar berbuat baik kepada rakyat dan untuk pemimpin yang belum jujur agar pada waktunya mereka berdamai dengan hati mereka sendiri.*(br)
(Dipublikasikan dalam Flores Pos, Rabu, 23 Desember 2015 hlm.12--13) 

Kamis, 15 Oktober 2015

OPINI: MOBIL DIPUTIHKAN: SIAPA JADI PEMULUNG?



Mobil Diputihkan: Siapa Jadi Pemulung?
Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santo Paulus Ruteng

Terpaksa, kami memulai tulisan ini dengan mengutip dua berita Harian Umum Flores Pos Jumat (9/10) halaman 16. “ Harga Beras di Pasar Inpres Ruteng Naik” dan “Terkesan Pemutihan Mobil Dinas untuk Balas Jasa”. Dua judul karya jurnalistik yang mesti dan harus dimaknai pembaca khususnya masyarakat Manggarai. Mungkin saja ada yang berpendapat dan beranggapan media ini telah membongkar borok-borok rakyat Manggarai yang kelaparan, tetapi sesungguhnya melalui dua judul berita yang disandingkan pada halaman yang sama, membuktikan kepada pembaca bahwa media sungguh berpihak kepada rakyat dan bukan kepada penguasa. Media mendidik masyarakat untuk mengkritisi pelbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Kisah tentang pembeli beras, Klemens Naru, dalam berita pertama boleh jadi merupakan representasi rakyat kecil yang kesulitan mendapatkan beras dengan harga terjangkau.
Klemens, seperti diberitakan,  mendambakan adanya intervensi pemerintah dalam mengatasi masalah kekurangan beras. Berita kedua, menampilkan kelompok “orang besar” yang tidak lagi sibuk mencari beras tetapi sibuk mencari jalan untuk mengincar fasilitas negara yang telah mereka gunakan secara maksimal sehingga menjadi barang rongsokan. Berdalihkan kemaksimalan penggunaaan untuk pelbagai kendaraan itu, dibangunlah sebuah wacana dan argumentasi untuk justifikasi ke arah pemutihan.   Semula berita seperti ini terasa biasa tetapi media yang sama pada dua edisi berikutnya memuat berita dalam versi lain tetapi tetap pada susbtansi yang sama tentang rencana pemutihan 21 kendaraan. Fakta ini sungguh menggelitik kesadaran dan rasa sekadar mencermati apa sesungguhnya yang sedang melanda masyarakat Manggarai karena wacana seperti itu belum muncul di daerah lainnya.
Frekuensi kemunculan berita perihal pemutihan kendaraan berplat merah di Manggarai ini tampaknya menyita cukup banyak ruang pemberitaan Flores Pos. Berita pemutihan kendaraaan sungguh diseriusi media. Ini menjadi indikasi persoalan bukan lagi sesuatu yang sepele tetapi  penting dan serius untuk kehidupan masyarakat Manggarai. Pembaca tentu saja harus berterima kasih kepada Flores Pos yang memediakan persoalan ini. Suatu model penghadiran wacana yang membuka nalar dan daya kritis masyarakat untuk menilai tentang hal yang lebih disibuki para petinggi baik pihak legislatif (katanya wakil rakyat), maupun eksekutif (para pejabat katanya untuk rakyat). Di pasar rakyat merasa tercekik karena harga kebutuhan melonjak, di gedung parlemen para orang penting dengan enteng membentuk panitia dan  menyusun regulasi pemutihan kendaraan berplat merah.
Orang sederhana yang tidak mengenal makna ungkapan pemutihan itu dalam nada heran. “Apakah sulit membeli sekaleng cat putih untuk memutihkan plat merah itu?” Apakah itu sulit,  sampai-sampai menjadi topik utama yang dibahas dalam sidang parlemen? Lebih mengherankan lagi jika pemutihan yang dimaksud merujuk pada memutihkan papan plat kendaraan dinas, maka itu artinya tidak ada lagi tulisan pada plat kendaraan. Itu sama artinya tanpa nomor plat. Mengapa bukan penghitaman mobil kalau arahnya menjadikan kendaraan itu menjadi milik pribadi?  Ya, aneh juga istilah yang satu ini. Apakah nanti semua 21 unit kendaraan tanpa nomor? Jika ungkapan pemutihan itu berarti penghapusan 21 kendaraan itu dari daftar kepemilikan pihak pemerintah, itu berarti kendaraan tersebut tidak layak berada dan digunakan di jalan raya.  Jika merunut logika berpikir tim teknis yang menilai semua kendaraaan yang diputihkan itu tidak layak, maka jauh lebih baik semua kendaraan itu dimuseumkan saja. Dimuseumkan sebagai peninggalan sekadar mengenang mereka yang pernah menduduki jabatan penting di Manggarai. Dimuseumkan seperti kendaraan dinas sederhana milik Bungkarno di Blitar. Spekulasinya sederhana saja,  boleh jadi semua kendaraan itu kelak menjadi lebih mahal karena nilai historisnya daripada menyita kinerja para anggota DPR dan para pejabat terkait. Kalau tim teknis sudah memastikan bahwa setelah lima tahun kendaraaan dinas harus berstatus sebagai sampah, apa pantas para pejabat yang pernah menggunakan fasilitas itu disebut sebagai pemulung? Tentu, kita harus menghargai para bekas pejabat itu, dan sekaligus berharap merasa tidak patut menjadi pemilik besi-besi tua itu.

Mobil Vs Pupuk
Persoalannya, tuntu saja tidak sesederhana itu. Buktinya orang lebih sibuk mengurus nasib 21 mobil dinas daripada harus sibuk urus pupuk untuk ribuan petani agar tidak terancam kelaparan. Para anggota parlemen dan pejabat lebih fokus pada masalah kendaraan daripada membenahi PLN dan PDAM, dan kelangkaan pupuk yang meresahkan masyarakat. Lebih tidak elok lagi jika nasib kendaraan yang diputihkan itu dikaitkan dengan persoalan balas jasa. Pertanyaannya apakah oknum yang nantinya mendapatkan kendaraan-kendaraan itu, selama menduduki jabatan, tidak difasilitasi secara maksimal sehingga dianggap sebagai oknum berjasa? Ini suatu model dan cara berpikir yang jauh dari harapan untuk mendidik masyarakat, yang hanya mengedapankan logika kepentingan diri. Suatu gambaran cara berpikir yang menjauhkan diri dari masyarakat. Wakil rakyat yang dipilih rakyat dan pemimpin yang dipilih rakyat dengan cara seperti ini justru  memunggungi rakyatnya sendiri yang ketiadaan pupuk, beras, air bersih, dll.
Argumen-argumen penopang semangat untuk memutihkan 21 kendaraan yang dilansir media tampaknya sangat tidak memadai dan cenderung legalistis. Permendagri No.17/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan  Barang Milik Daerah satu-satunya rujukan ibarat jalan tol memuluskan langkah pemutihan yang akan dilakukan. Untuk urusan barang-barang rongsokan, perlu pantia khusus sekadar menentukan calon pemulung kendaraan yang diputihkan itu. Logiskah itu? Pihak pengelolaan pendapatan, keuangan dan aset daerah (PPKAD) mencoba menjelaskan setelah wacana pemutihan kendaraan itu menjadi konsumsi media dan melahirkan banyak pertanyaan masyarakat. Ada banyak pertimbangan teknis operasional yang dinilai lebih efektif dan efisien menurut pihak PPKAD. Penjelasan dan alasan seperti ini kontradiksi dengan pernyataan pihak yang sama seperti yang dicatat Flores Pos 10/10 ini, “Umumnya kendaraan-kendaraan itu sudah dalam keadaan rusak. Semua kendaraaan sudah sering keluar masuk bengkel sehingga berdampak pada tinggginya biaya perbaikan dan operasinal”. Pernyataan yang kami kutip ini jelas-jelas membuktikan yang sebaliknya bahwa kendaraan yang dipersoalkan itu masih ada yang baik, dan patut diduga yang masih dianggap baik itu yang diperebutkan dengan harga tawaran yang rendah.
Media tidak mencatat secara jelas bagaimana proses dan mekanisme penjualan 21 kendaraan itu. Tidak dijelaskan apakah mobil-mobil itu akan otomatis dijual (murah?) kepada pejabat yang menggunakan kendaraaan itu karena jabatan yang diduduki sebelumnya ataukah panitia menjualnya secara terbuka sehingga mungkin ada yang menawarnya jauh lebih tinggi sehingga nilai total penjualan tidak hanya 854 juta rupiah tetapi bisa lebih. Para pejabat yang sebelumnya menggunakan kendaraan itu karena jabatannya, semestinya tidak merasa diri berjasa atau mengharapakan orang lain menilai mereka berjasa sehingga pantas meneruskan penguasaan atas kendaraan itu. Jasa mereka sudah dibayar kecuali kalau selama menjabat posisi tertentu mereka tidak digaji. Lebih efisien dan nilai ekonomisnya lebih menguntungkan kalau kendaraan itu dijual terbuka kepada publik.
Pertanyaan Nakal
Pertanyaan nakal tetapi pasti penting bisa saja diarahkan kepada tim teknis yang menilai kelaikan kendaraan dinas  yang dipersoalkan itu. Bisakah tim teknis yang sama melaporkan data perihal kendaraan umum, kendaraan pribadi yang beroperasi di Manggarai yang usia pemakaiannya berkisar nol hingga lima tahun? Jelasnya, apakah kendaraan yang ada di Manggarai saat ini semua laik jalan karena usia kendaraannya masih berada di bawah lima tahun? Seingat kami ada banyak angkot dan kendaraan umum, bahkan kendaraaan pribadi yang sudah beroperasi sejak tahun 1990-an. Apakah ada standar ganda dalam menguji kelaikan kendaraan dinas dengan kendaraaan umum yang semuanya menggunakan jalan yang sama di Manggarai? Apakah kendaraan dinas itu lebih murah harganya dibandingkan dengan kendaraaan umum sehingga masa kadaluwarsanya berbeda? Bukankah harga kendaraaan dinas itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan kendaraaan umum? Kami menduga di Manggarai belum ada kendaraan umum, truk kayu, angkot yang harganya melangit hingga angka miliar seperti mobil-mobil para pejabat.
Politik Bumi Hangus
Berbagai berita media dari tahun ke tahun sudah membuktikan bahwa kendaraan dinas hampir pasti lebih mahal harganya. Sudah menjadi rahasia umum di daerah-darah di NTT, para pejabat karena jabatannya seakan-akan mengharuskannya menggunakan kendaraaan yang harganya fantastis. Budaya hidup hemat dan sederhana  lenyap dan tinggal slogan saat menjadi pejabat. Setelah kuasa dan jabatan diraih,  hal pertama dan utama yang disibuki adalah mendatangkan kendaraan dinas bukan hanya baru tetapi harus mahal atau dimahalkan. Ada semacam prinsip berpikir paralel antara masa jabatan dan usia fasilitas negara. Ganti pejabat, ganti kendaraaan, perjabat pergi, fasilitas juga dibawa pergi mirip-mirip politik bumi hangus.
Persoalan pemutihan kendaraan sesungguhnya lahir dari cara pikir paralel yang tidak cerdas ini. Kalau harga pembelian kendaraaan dinas itu lebih mahal, logiskah kalau kendaraan semahal itu segera menjadi sampah dalam waktu lima tahun sesuai dengan usia pejabat yang menggunakannya lalu diputihkan? Logika sederhana harus mengatakan bahwa hal seperti ini irasional meskipun secara hukum dan aturan yang dirujuk membenarkan praktik irasionalitas seperti ini. Semua orang tahu bahwa prinsipnya hukum dan aturan dibuat untuk melayani kebutuhan hidup manusia yang membuatnya, bukan sebaiknya. Kalau nyatanya kendaraan itu masih bisa digunakan untuk pelayanan publik mengapa harus dialihkan kepada para pemulung?
Kalau logika dan kriteria kelaikan berpatok pada usia pemakaian kendaraaan maka dalam waktu dekat banyak pengusaha jasa transportasi gulung tikar karena banyak yang berusia belasan tahun. Kalau keadaaanya sama saja setelah polemik pemutihan kendaraaan dinas  maka dapat diduga ada sesuatu yang  tidak beres dalam menentukan kriteria kelaikan kendaraaan di Manggarai. Kalau terbukti banyak kendaraaan yang usia operasinya lebih dari lima tahun bahkan sampai belasan tahun, layak dipertanyakan dasar kelayakan semua itu. Pertanyaan dan tugas besar bagi tim teknis dan penilai untuk memberi penjelasan kepada masyarakat. Jika tidak, wacana-wacana bernuansa dugaaan miring bisa saja menyusul menghiasi halaman media dengan judul yang lebih angker. Jika kendaraaan dinas usia di atas lima tahun tidak laik jalan dan diputihkan, argumen apa yang dipakai untuk melaikkan kendaraan umum dan angkot yang usia pemakaiannya sama bahkan lebih tua?
Masyarakat menunggu penjelasan dan jawaban yang jauh dari retorika juridis-legalistis dari pelbagai pihak berkepentingan dengan persoalan pemutihan kendaraan dinas. Hanya dengan itu masyarakat menghargai pejabat yang berpihak kepada rakyat dan itu terbaca dalam perilaku hidup sederhana, yang tahu bagaimana menghidupkan kesederhanaan bukan hanya saat sebelum punya jabatan tetapi justru harus lebih sederhana saat dipercayakan menjadi pejabat. Menjadi warga masyarakat itu suatu kepastian tetapi menjadi pejabat itu hanya kebetulan. Kesadaran ini menjadi pintu menuju perilaku sederhana dan berbela rasa, pantang menjadi pemulung.(br)
(Dimuat di Flores Pos, Edisi Senin, 19 Oktober 2010 hlm. 12--13)

Rabu, 07 Oktober 2015

OPINI: MENAFSIR KEGELISAHAN WACANA PILKADA



Menafsir Kegelisahan Wacana Pilkada

Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng

Fakta ini lumrah dalam kehidupan. Cicak harus memutus ekornya saat menyadari  predator (mangsanya) mendekat  dan mengancamnya. Anjing melolong berkepanjangan saat lonceng berdentang. Tumbuhan putri malu memilih kusus saat tersentuh.  Manusia menangis saat perasaan yang kuat mendorong kelenjar mata memproduksi air mata. Semua kenyataan seperti ini sedemikian biasanya hadir dalam kehidupan sampai-sampai orang tidak menyadari apa sesungguhnya yang ada dan terjadi di balik fenomena yang tampak dan terkesan natural itu. Satu hal yang pasti, fenomena sebegini menggambarkan korelasi dan saling pengaruh antara unsur dalam (kondisi batin, mental) dengan kondisi luar  (fisik, perilaku) makhluk semisal cicak, anjing, rumput, dan terlebih manusia. Satu kebenaran pokok mau dihadirkan di sini bahwa setiap ancaman dan tekanan melahirkan kegelisahan.
Robert Hinsinhelwood (1991: 218) melihat kegelisahan sebagai cikal-bakal lahirnya psikoanalisis. Baginya, psikoanalisis pada hakikatnya merupakan sejarah perihal usaha manusia untuk memahami inti kegelisahan yang terdapat di dalam diri manusia. Kegelisahan itu ada dan datang dari dalam inti diri manusia dan akan mempengaruhi seluruh diri manusia. Kegelisahan, lalu dikorelasikan tidak saja merujuk pada ketakutan irasional. Dalam banyak hal, seseorang akan dikatakan irasional jika dirinya tidak mengalami kegelisahan. Artinya, kegelisahan itu secara potensial ada dalam diri manusia tetapi akan tampak lebih rasional jika ada faktor pelecut dan pemicunya.
Kegelisahan dapat disederhanakan sebagai bentuk tanggapan terhadap berbagai hal yang tidak diketahui baik berkaitan dengan lingkungan maupun terutama berkaitan dengan faktor batin. Di sini, kaitan batin dan fisik mutlak diperhitungkan. Persis, pada titik persinggungan oposisional dimensi batin dan lahir, mental dan fisik inilah diperlukan upaya menafsir perilaku dan tindakan yang mesti ditalitemalikan dengan kondisi batin yang telah dikuasai kegelisahan.
Teori-teori psikoanalisis terkait kegelisahan menurut  Hinsinhelwood, dalam sejarah perkembangannya, telah, sedang, dan akan terus mewarnai percaturan dan pertarungan wacana yang potensial melahirkan konflik dengan aneka alasan. Percaturan wacana perihal kegelisahan ini dapat dikategorikan ke dalam fase-fase tertentu. Disebutkan, salah satu fase kegelisahan itu tidak berkaitan dengan gagasan atau pemikiran melainkan berkaitan dengan akumulasi kekuatan libodo yang tidak tersalurkan. Libido tidak tersalurkan itu, menumpuk ibarat racun sampah yang bermetamorfosis menjadi kegelisahan. Ekspresi kegelisahan muncul dalam aneka wacana baik yang dihadirkan dalam kelugasan rumusan maupun wacana-wacana ambigu yang menyembunyikan pesan. Wacana-wacana ambiguitas yang muncul  menuntut pemaknaan berdasarkan pemahaman akan implikatur setiap unit wacana atau pernyataan.  
Percaturan dan pertarungan wacana bernuansa kegelisahan terasa sejak penetapan pelbagai paket calon (palon) oleh KPU. Koran-koran lokal dan berbagai media sosial dengan cukup berani menghadirkan aneka wacana yang berpeluang dimaknai sebagai pernyataan berimplikasi kegelisahan. Sejak palon ditetapkan, kegelisahan terus merambati batin berbagai pihak baik para palon, partai pendukung (pakung), anggota tim pemenangan (atiman) setiap paket maupun rakyat kebanyakan. Rambatan kegelisahan itu terpicu dan mengalir deras  karena adukan antara keinginan untuk berkuasa bagi yang belum berkesempatan berkuasa di satu sisi dan keinginan untuk membentengi, mempertahankan kekuasaan bagi mereka yang pernah berkuasa.
Ada dua pusaran arus berseberangan. Paket-paket baru yang belum berkesempatan berupaya merebut  kekuasaan sekadar merasakan manisnya madu kekuasaan, sementara paket-paket yang pernah berkuasa bahkan telah lama berkuasa berjuang mati-matian mempertahankannya sebagai miliknya karena telah berpengalaman menikmati manisnya madu kekuasaan. Pada titik ini, paket-paket calon baru ingin mengalami bagaimana berkuasa sedangkan paket-paket calon lama tidak ingin disebut kehilangan kekuasaan. Tidak mengherankan, yang baru berjuang merebut kekuasaan dianggap lawannya sebagai pihak “terlalu nekad” merebut meskipun belum berpengalaman.
Sebaliknya, pihak yang mau mempertahankan kekuasaan dinilai lawannya “terlalu posesif dan terlampau percaya diri” tidak rela jika yang lain berpengalaman. Pemain baru ingin meraih dan memangku kekuasaan sementara yang sudah meraihnya telanjur mendudukinya. Pemain baru mengira yang lama kelelahan memangku kekuasaan, sementara yang lama memastikan kekuasaan yang diduduki bukan lagi hal yang melelahkan.  Dua sudut pandang terhadap kekuasaan antara memangku atau menduduki kekuasaan sulit didamaikan. Ini bukan sekadar memainkan kata. Fakta membuktikan memangku sesuatu pada pangkuan jelas melelahkan tetapi lain halnya menduduki sesuatu pada kedudukan tidak melelahkan.
Tegangan antara dua kekuatan pusaran arus perebutan kekuasaan pada arena pilkada seperti ini semakin nyata dalam beberapa pemberitaan media belakangan ini.  Pilkada sesungguhnya bukan sesuatu yang fenomenal tetapi mencermati satu-dua berita media tanpa disadari telah mendisposisikan wacana Pilkada sebagai sesuatu yang sungguh fenomenal. Ambil saja berita yang diturunkan dalam beberapa edisi Harian Umum Flores Pos pada halaman (spece) liputan untuk kabupaten Manggarai. Karya jurnalistik pada halaman itu telah memberi sinyal adanya wacana yang menggambarkan kegelisahan menyambut Pilkada di Manggarai.
Flores Pos Edisi Sabtu, 26/9/2015, memuat berita berjudul, “Tiga Mantan Bupati Berkampanye untuk Pasangan Deno-Madur. Tidak main-main tiga nama dideretkan pada paragraf pertama berita yakni Gaspar P.Ehok, Antony Bagul Dagur, dan Chris Rotok. Semua orang tahu (khususnya masyarakat Manggarai) mengenal tiga nama ini sebagai bekas bupati. Karena mereka  bekas bupati maka pada tataran strata sosial kemasyarakatan mereka terlanjur didaulat sebagai 'tokoh'. Posisi ketokohan karena pernah berkuasa di Manggarai ini tampaknya berdaya tawar signifikan jika turun sebagai 'pemain kunci' yang mungkin bisa meramaikan panggung kampanye pilkada di Manggarai. Harga tawar atas nama ketokohan seperti ini tampaknya digunakan tim pemenangan palon yang dipihaki dalam wacana pilkada.
Tiga nama yang diklaim tim kampanye palon  yang akan turun lapangan kampanye ini, terkesan amat berwibawa dan menggelisahkan teman main karena ada selentingan lepas terekam bahwa ketiga tukang kampanye ini disebut trio macan. Mudah-mudahan selentingan sebegini tidak diperpanjang lagi dengan berbagai atribut sejenis. Betapa tidak tiga nama itu seakan-akan dijadikan taruhan kemenangan paket yang diusung dan dikampanyekan. Akankah ketiga nama itu menggetarkan panggung kampanye  sekadar mendulang suara dalam pesta demokrasi tingkat daerah ini? Akankah klaim turunnya tukang kampanye sepuh-sepuh itu menjadikan pertandingan Pilkada menjadi elok untuk ditonton? Tentu sulit menemukan jawaban tetapi klaim-klaim melibatkan orang yang dikenal seperti itu dapat dilihat dalam kaitannya dengan teori implikatur.
Implikatur merupakan gagasan terpenting dalam tindakan berbahasa (kajian pragmatik). Paul Grice (1967) sebagai penggagas teori implikatur, telah merintis suatu model pemaknaan atas tindakan berbahasa. Bagi Grice, dalam berbahasa seseorang perlu membedakan dan memahami makna bahasa dalam dua kutub yakni makna alami (natural meaning) dan makna nonalami (non-natural meaning). Makna alami adalah makna persis seperti dinyatakan dalam unsur pembangun wacana sedangkan makna nonalami makna yang disembunyikan di balik wacana yang dinyatakan secara alami. Kalimat, “ Kita harus menang”, misalnya secara alami berarti harus sukses dalam pertarungan tetapi juga berimplikatur (a) ada orang lain, (b) orang lain harus kalah, (c) orang lain juga bisa menang. Contoh ini menunjukkan bahwa setiap wacana selalu berimplikatur. Karena itu, semakin banyak orang membuat pernyataan semakin banyak pula implikaturnya.
Dalam konteks politik pilkada judul berita seperti:  “Tiga Mantan Bupati Berkampanye untuk Pasangan Deno-Madur (Flores Pos 26/9)”, “Keberpihakan Tiga Mantan Bupati Disesalkan” (Flores Pos, 29/9)”, “Koalisi Gotong Royong Datangi Dewan, “Dipertanyakan, Regulasi Wakil Bupati Maju Lagi sebagai Cabup (Flores Pos 2/10)”, “Jumlah Pemilih Bertambah di Kecamatan Ruteng (Flores Pos 5/10)”, dan pernyataan yang menyertai judul-judul ini sesungguhnya berimplikatur amat kaya, luas, dan terbuka. Jika dirunut, semua pernyataan ini sesungguhnya menggambarkan kondisi dan perasaan batin yang takut, cemas, dan gelisah. Kegelisahan memproduksi aneka wacana yang berimplikatur dan setiap pembaca tentu bisa menafsirnya. Membanggakan dan menghebatkan diri dalam berwacana dapat dibaca sebagai upaya mengungkap kelemahan sendiri.
Rakyat pemilih tentu harus bisa menafsir setiap wacana kegelisahan para paket calon dalam harapan akan adanya perubahan pada aneka lini kehidupan. Ada harapan yang digantungkan pada setiap kegelisahan merebut posisi politik. Robert Penn Waren melalui Novelnya All the King's Men menghadirkan tokoh imajiner Willie untuk menggambarkan bagaimana politik di sebuah negara demokrasi (Amerika) datang dari harapan tetapi bisa tidak memungkinkan tumbuhnya harapan manakala kegelisahan meracuni proses demokrasi yang wajar. Kegelisahan yang meracuni proses pilkada akan hadir dalam cara-cara yang kontrademokrasi antara lain politik uang, meniupkan isu-isu tak sedap, janji jabatan dan posisi, manipulasi data pemilih.
Tugas rakyat, adalah mencermati sebelum menafsir aneka kegelisahan yang terselip dan diselipkan di dalam berbagai wacana menjelang pilkada. Pastikan diri sebagai penafsir yang tepat untuk memilih pemimpin yang memenuhi harapan. Politik memang sering menganggap bela rasa itu hanya instrumen tetapi rakyat didesak oleh kebutuhan yang praktis dan nyata untuk terus  melawan, mencegah, agar orang  tidak hanya sibuk   pada urusan dan kepentingan diri. Pemimpin dan  politik berarti sebuah kerja, untuk  memulihkan kembali harapan: meskipun Kebaikan tidak selamanya jelas, tetapi Keburukan sudah pasti bukanlah dasar segalanya. Rakyat berdaulat menentukan pilihan, tak perlu gelisah apa lagi kalau hanya karena digelisahkan.*** (Flores Pos, Jumat 9 Oktober 2015)