Sabtu, 04 Agustus 2012

Kesempatan yang Berbahagia


Ungkapan ‘kesempatan yang berbahagia’,’hari yang berbahagia’, ‘waktu yang berbahagia’ biasanya kita dengar atau baca berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting. Aneka peristiwa seperti kelahiran seorang manusia, keberhasilan seseorang dalam jenjang pendidikan tinggi, kerberhasilan meraih prestasi tertentu, pemberkatan pasangan pengantin, pelantikan menjadi pejabat, acara pengukuhan gelar kehormatan (honoris causa) dan lain-lain sungguh membuat orang merasa senang atau gembira. Perasaan senang atau gembira itu dirumuskan menjadi kata ‘berbahagia’. Karena itu, tidaklah mengherankan, dalam tindak berbahasa kita diperhadapkan dengan wacana  yang mengandung kata ‘berbahagia’ itu seperti pada contoh (a) s.d. (f) berikut ini:
(a)   Pada saat yang berbahagia ini kita diundang untuk bergembira bersama.
(b)   Tidak diduga hari yang berbahagia ini dialami keluarga yang sederhana ini.
(c)    Kita semua patut bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan yang berbahagia ini.
(d)   Hari Ulang Tahun biasanya menjadi waktu yang berbahagia bagi setiap orang.
(e)    Kedua pengantin yang berbahagia, kiranya meneladani hidup keluarga kudus.
(f)     Kalau anak sukses, maka pasti orangtua yang berbahagia.
Wacana-wacana seperti ini sudah jamak kita jumpai tetapi jarang kita mempersoalkan semuanya dari dimensi kepatuhan atau ketaatasasan pada logika berbahasa kita. Kalimat-kalimat pada contoh di atas menyimpan perkara logika bahasa yang mau tidak mau harus dijelaskan melalui rubrik bahasa ini. Masalah pokok yang menjadikan contoh-contoh itu bermasalah berkaitan dengan pemakaian kata ‘berbahagia’.
Dalam penjenis atau penggolongan kata, kata ‘berbahagia’ dikategorikan sebagai kata sifat (adjektiva). Pada tataran sintaksis (kalimat), kata sifat biasanya memberikan keterangan pada kata benda (nomina). Pemakaian kelompok kata (frase) ‘yang berbahagia’ merupakan keterangan atau perluasan kata benda yang diikutinya. Pada contoh di atas terlihat jelas bahwa konstruksi ‘yang berbahagia’ berfungsi membantu kita untuk mengenal ciri kata benda. Salah satu ciri pengenal atau identitas kata berkategori benda (nomina) adalah kemungkinan kata itu diperluas dengan bentuk yang ditambah kata sifat. Apakah batu, kepandaian itu kata benda? Buktikan saja secara sederhana. Kalau kedua kata itu dapat diperluas atau dapat berketerangan yang ditambah kata sifat, maka batu dan kepandaian pasti berkategori nomina. Kita dapat memperluas kata batu menjadi batu yang besar, batu yang kecil, batu yang keras. Batu pasti kata benda (konkret).
Demikian juga halnya dengan kata kepandaian. Bentuk kepandaian adalah bentuk turunan dari bentuk dasar pandai (kata sifat). Afiksasi dengan konfiks ke-/-an dalam kaidah morfofonemik berfungsi membendakan kata sifat, pembendaan. Dengan demikian konfiks ke-/-an itu berfungsi nominalisasi  kata berkategori adjektiva. Dalam kajaian linguistik proses pembendaan kata sifat menjadi kata benda seperti ini dikenal dengan sebutan proses transformasi kata. Kepandaian berkategori benda karena dapat diperluas dengan bentuk yang ditambah kata sifat (kepandaian yang tinggi). Mungkin orang bertanya apakah kepandaian itu dapat dilihat dan dipegangseperti batu? Jawabannya, kepandaian adalah kata benda abstrak karena salah satu ciri kata benda abstrak berkonfiks ke-/-an.
Kembali pada masalah contoh-contoh di atas, kita melihat posisi frase yang berbahagia itu dalam kalimat masing-masing mengikuti kata saat, hari,  kesempatan,  waktu, pengantin, dan orang tua. Keenam kata tersebut diperluas dengan kata yang ditambah kata sifat berbahagia. Jika hanya sampai di sini, maka enam kata itu semuanya termasuk kata benda (ada yang konkret ada yang abstrak). Persoalan kita tidak hanya sekadar menentukan apakah kata-kata itu berkategori nomina atau tidak.
Apa sebenarnya masalah pokok kita? Masalahnya adalah logika berbahasa kita. Apakah ada saat, hari, kesempatan, waktu yang dapat merasa bahagia atau berbahagia? Kalimat contoh (a) s.d. (d) jelas-jelas mau mengatakan kepada kita bahwa saat, hari, kesempatan, dan waktulah yang berbahagia. Padahal, jika kita mencermati makna keempat kalimat itu, maka yang berbahagia sebenarnya bukan saat, bukan hari, bukan, kesempatan, bukan waktu tetapi orang, pihak yang berkesempatan merasa bahagia, berbahagia. Saat, hari, kesempatan, waktu hanyalah  faktor yang mengkondisikan, memungkinkan orang untuk merasa bahagia atau berbahagia.
Hal ini akan jelas terlihat kalau dibandingkan dengan makna kalimat (e) dan (f). Pada dua kalimat ini yang merasa bahagia adalah pengantin dan orangtua. Pengantin dan orangtua yang (berkesempatan) merasa bahagia atau berbahagia itu jelas logis dan nalar. Saat, hari, kesempatan, dan  waktu  yang berbahagia jelas tidak logis, tidak nalar karena saat, hari, kesempatan, dan waktu adalah benda nonhuman. Saat tidak  dapat diperluas dengan yang berbahagia tetapi dapat diperluas dengan yang tepat, yang singkat, yang terbatas.
Kalimat  (a) s.d. (d) harus dibenahi agar itu logis atau nalar berdasarkan makna semantiknya. Makna semantik penggunaan frase yang berbahagia pada keempat kalimat itu adalah kondisi yang membuat, memungkinkan merasa bahagia. Dalam kaidah morfologis kondisi yang menyatakan atau membuat orang merasa seperti apa yang persyaratkan bentuk dasarnya dapat disubsitusi dengan konfiks meN-/-kan. Oleh karena itu bentuk yang berbahagia pada contoh (a) s.d. (d) dapat diganti dengan bentuk membahagiakan. Kita akan melihat kalimat (g) s.d. (j) berikut  sebagai pengganti kalimat yang tidak logis itu.
(g)   Pada saat yang membahagiakan ini kita diundang untuk bergembira bersama.
(h)   Tidak diduga hari yang membahagiakan ini dialami keluarga yang sederhana ini.
(i)     Kita semua patut bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan yang membahagiakan ini.
(j)     Hari Ulang Tahun biasanya menjadi waktu yang membahagiakan bagi setiap orang.
Kalau waktu membaca rubrik ini Anda yang merasa bahagia atau berbahagia, tentu tidak logis kalau Anda mengatakan “Pada waktu yang berbahagia ini saya mendapat penjelasan tentang yang tidak logis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar