Selasa, 07 Agustus 2012

PPKn, LPj, MoU


Sebelum Reformasi sebagian besar warga negara disibukkan oleh kegiatan raksasa yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘proyek penataran’ yang berkaitan dengan Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di sekolah-sekolah masa itu ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Para pejabat masa itu berhasil menelurkan puluhan biji atau butir yang diasalkan dari lima sila  yang dikenal dengan Pancasila itu. Dalam perkembangan, Pendidikan Moral Pancasila itu dikaitkan dengan masalah kewarganegaraan sehingga mucul pelajaran baru, Pendidikan Pancasila dan Kewarganeagaraan. Moralnya dieliminasi untuk mengakomodasi masalah kewarganegaraan. Pelajaran baru itu berubah menjadi PPKn.
Kegiatan yang dikenal sebagai Penataran P4 dengan sendirinya hilang bersama hilangnya kata moral dari pendidikan pancasila. Kegiatan seperti itu biasanya menghabiskan dana miliaran rupiah. Pada masa itu Laporan Pertanggungjawaban (LPj) tentang penggunaan dana sulit dipantau. Proyek penataran seperti itu biasanya menjadi ladang bagi pelaku tindak korupsi dan arena pengukur kemampuan memanipulasi data dan fakta. Tentu berbeda kalau seorang eksekutif seperti bupati dan gubernur menggunakan uang negara. Laporan penggunaan uang biasanya muncul dalam arena sidang dewan legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kita kenal dengan sebutan sidang Laporan Pertanggungjawaban (LPj) bupati atau gubernur.
Dua lembaga, eksekutif dan legislatif ini, dalam menjalankan perannya sering membuat kesepakatan yang dapat dipahami dan diterima bersama. Kesepakatan itu boleh dikatakan sebagai nota kesepahaman antara kedua lembaga. Nota kesepahaman itu, secara luas dikenal dengan istilah ‘Memorandum of Understanding’ yang melahirkan bentuk ringkas MoU.  Kesepakatan atau nota kesepahaman ini pada tataran makro dapat dikaitkan dengan kesepakatan antarnegara tentang pelbagai urusan yang mengikat dua belah pihak.
Pada tiga paragraf di atas kita berhadapan dengan beberapa bentuk ringkas (singkatan). Paragraf pertama ada bentuk ringkas PMP, P4, dan PPKn. Paragraf kedua kita temukan bentuk ringkas DPR dan LPj. Pada paragraf ketiga ada bentuk ringkas MoU. Bentuk-bentuk ringkas ini kelihatannya tidak menyimpan persoalan karena penggunaan bentuk-bentuk ringkas seperti itu telah meluas, minimal untuk seluruh kawasan Indonesia.
Bila dicermati dalam kaitannya dengan wawasan kebahasaan kita, maka akan tampak bahwa bentuk-bentuk ringkas itu menyimpan sederetan masalah kebahasaan yang semestinya dibenahi bersama dalam rangka menertibkan cara berbahasa di antara kita, khususnya dalam wacana tulis. Masalah yang mengemuka pada bentuk itu bertautan dengan kaidah penulisan bentuk ringkas (singkatan) dan penulisan akronim. Dalam ulasan rubrik bahasa sebelumnya, sudah disinggung tentang masalah serupa perihal konsep abreviasi.
Abreviasi dimaknai sebagai proses  morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru.  Istilah lain untuk abreviasi ialah pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kepen­dekan. Abreviasi menyangkut penyingkatan, pemenggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf (Kridalaksana, 1993:1). Pemakaian bentuk kependekan, sejauh mengikuti kaidah morfologis atau kaidah peroses pembentukan kata, tidak akan membawa kesulitan. Salah satu bentuk kependekan itu disebut singkatan yaitu hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf, seperti: PMP, PPKn, DPR, LPj, MoU, maupun yang dieja atau diucapkan sebagai kata (akronim) seperti ABRI, Polri, Rudal.
Bentuk ringkas PMP dari bentuk panjang Pendidikan Moral Pancasila dibentuk mengikuti kaidah pengekalan huruf pertama setiap kata. Demikian juga bentuk DPR dan bentuk singkat akronim ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Jika bentuk PMP, DPR, dan ABRI diperhadapkan dengan bentuk PPKn, LPj, dan MoU, maka tampak sesuatu yang lain dan unik.  Bentuk PPKn diturunkan dari bentuk lengkap Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (terdiri dari tiga kata utama, satu kata bantu penghubung ‘dan’; LPj diturungkan dari bentuk  lengkap Laporan Pertanggungjawaban (dua kata utama), MoU diturunkan dari bentuk lengkap Memorandum of Understanding (dua kata utama dan satu kata bantu penghubung ‘of’.
Kaidah abreviasi mempersyaratkan bahwa untuk menghasilkan bentuk ringkas huruf pada kata utama dikekalkan sedangkan kata bantu tidak diperhitungkan. Dengan demikian bentuk PMP dan DPR itu benar sedangkan  bentuk PPKn, LPj, dan MoU tidak benar, tidak tepat. Seharusnya bentuk PPKn itu harus menjadi PPK saja, LPj cukup diganti menjadi LP, dan MoU diubah menjadi MU. Pertanyaan kita, mengapa aksara n dikekalkan dalam bentuk ringkas PPKn sedangkan bentuk ‘Kewarganegaraan’ itu hanyalah satu kata.  Hal yang sama untuk bentuk LPj. Bukankah konstruksi pertanggungjawaban itu hanya satu kata? Mengapa aksara ‘o’ harus muncul dalam bentuk ringkas MoU? Bukankan of itu kata bantu saja dalam bahasa Inggris.
Dengan mengikuti penjelasan di atas tentu kita harus menentukan sikap yang jelas sebagai pembela dan pengguna bahasa yang tertib. Apakah kita mempertahankan bentuk itu karena terlanjur salah, salah kaprah? Kami berpikir kita perlu mencari jalan sendiri bukan kerena mau tampil beda tetapi semata-mata untuk membenahi cara berbahasa kita. Kita harus mencari dan menentukan bentuk ringkas yang tepat. Tugas praktisi media tentu tidak boleh disepelekan dalam mencari bentuk yang tepat untuk disosialisasikan kepada massa pembaca.
Kami menawarkan alternatif untuk bentuk salah kaprah PPKn menjadi PPK, LPj menjadi akronim Lapja, MoU menjadi Moding. Bentuk-bentuk ini hanyalah tawaran dengan harapan sekaligus dapat menjadi wacana untuk didiskusikan lebih lanjut di antara kita yang menaruh minat dan mencintai bahasa kita. Kita  harus yakin bahwa jika Menteri Pendidikan saja dengan mudah menggantikan SMU menjadi SMA, SLTP menjadi SMP maka pencinta bahasa tentu dapat menawarkan agar aksara ‘n’ pada PPKn  dan aksara ‘o’ pada MoU dihapuskan dan diganti dengan kemungkinan lain.
Kita dapat menggunakan bentuk yang ditawarkan itu seperti pada kalimat (a) Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPK)  tidak diujikan secara nasional (b) Anggota legislatif menerima Laporan Pertanggungjawaban (Lapja) Bupati Manggarai, Antony Bagul (c) Pihak LSM dan pihak pemerintah menandatangani konsep Momorandum of Understanding (Moding).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar