Rabu, 08 Agustus 2012

Mengapa Memerhatikan?

Harian Kompas edisi Sabtu (4/9) menurunkan berita yang sungguh mengejutkan kami. Keterkejutan kami muncul karena ada dua alasan. Pertama, Berita yang menjadi headline berjudul Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi memberikan gambaran betapa dunia pendidikan kita memang tersungkur ke papan bawah. Sungguh suatu berita duka tentang pendidikan sebagai institusi paling bergengsi di republik ini. Berita itu sekaligus memaparkan deretan kesia-siaan atau kemubaziran pelbagai usaha dan kesibukan nasional pada bidang pendidikan selama ini. Hasil akhirnya, hanyalah Involusi (istilah yang terkesan mentereng)  tetapi sebenarnya mengguratkan kerapuhan yang mencemaskan karena kata Involusi  itu secara hurufiah berarti kemunduran  fungsi alat tubuh. Ironis memang, karena dari tahun ke tahun dan dari menteri pendidikan yang satu ke menteri pendidikan lain muncul aneka program sekadar membongkar pasang kebijakan dunia pendidikan tetapi hasil akhirnya hanya kemunduran.
Hal kedua, yang menjadikan berita itu menarik, berkaitan dengan masalah bahasa yang mendorong kami untuk mengulasnya dalam rubrik bahasa edisi ini. Ada satu kalimat dalam berita itu yang menarik untuk diulas. Kita jumpai kalimat yang tertulis demikian: Perluasan pendidikan tanpa memerhatikan mutu seperti pada masa Orde Baru jika dilanjutkan hanya akan menabrak batu. Dalam kalimat ini kita jumpai satu bentuk kata yang telah mengalami proses morfologis yaitu kata memerhatikan. Munculnya bentuk memerhatikan ini pada Harian Kompas, dapat menuai pertanyaan dan persoalan berkaitan dengan masalah kebahasaan. Orang, pembaca, pemerhati bahasa  kemungkinan besar mempertanyakan penggunaan bentuk ‘memerhatikan’ ini.
Satu hal yang kami tahu dan juga menjadi keyakinan kami bahwa untuk sementara Harian Kompas tergolong harian yang memiliki komitmen yang luar biasa  dan yang paling taat pada kaidah penggunaan bahasa yang standar. Konsekuensinya, tentu ada tuntutan yang mengharuskan harian ini untuk berperan sebagai media pembinaan cara berbahasa yang benar. Sederhananya, bukan mustahil apa yang digunakan Kompas  bakal menjadi ‘kompas’ atau referensi bagi pemakai bahasa dan harian lainnya di tanah air.
Dalam hubungannya dengan  penggunaan bentuk memerhatikan dalam berita yang dijadikan headline di atas, pembaca mempersoalkan atau mempertanyakan ketepatan pemakaian bentuk memerhatikan itu. Persoalannya muncul justru  manakala pembaca mempertentangkan bentuk memerhatikan dengan bentuk memperhatikan yang memang sudah lazim dan jamak kita jumpai. Kriteria kelaziman tentu saja bukan menjadi argumentasi paling sahih untuk mengatakan bahwa bentuk memperhatikan adalah bentuk yang tepat dan benar dibandingkan dengan bentuk memerhatikan.
Bagaimana caranya atau argumentasi apa yang harus digunakan untuk menjelaskan masalah seperti ini? Kami menawarkan dua cara atau alternatif untuk menjelaskan kemunculan atau penggunaan bentuk memerhatikan yang mengejutkan sekaligus membingungkan itu.
Cara pertama, yang paling sederhana adalah menyusun suatu deretan paradigmatik untuk kata dan bentuk kata yang memiliki pola perilaku morfologis yang sama atau hampir sama. Dari deretan kata dan bentuk kata yang bercorak paradigmatik itu kita dapat melihat ketepatan kata dan bentuk yang dipersoalkan. Bentuk memerhatikan diturunkan dari bentuk dasar hati. Bentuk yang lain  adalah per-hati-an, per-hati-kan, memper-hati-kan. Pola ini dapat kita bandingkan dengan bentuk dasar tanding yang menurunkan bentuk per-tanding-an,  per-tanding-kan, memper-tanding-kan atau bentuk dasar temu yang menurunkan bentuk per-temu-an, per-temu-kan, memper-temu-kan.  Jika kita menerima bentuk memerhatikan sebagai bentuk yang benar maka kita juga harus menerima bentuk memertemukan untuk bentuk dasar temu dan bentuk memertandingkan untuk bentuk dasar tanding. 
Kehadiran bentuk-bentuk seperti ini dapat dicurigai sebagai bentuk yang dihasilkan dari proses morfologis yang tidak taat asas. Bahasa Indonesia mengenal banyak afiksisasi antara lain afiksisasi dengan pe-, pe-/-an, per, per-/-an me-, me-/-kan, memper-/-kan. Kaidah afiksisasi dengan konfiks me-/-kan pada kata dasar yang diawali konsonan /p/ akan mengambil variasi bentuk (alomorf) mem-/-kan (terjadi pelesapan bunyi konsonan /p/). Bentuk dasar perlu misalnya, jika diimbuhi konfiks me-/-kan maka akan menjadi me-merlu-kan. Dengan contoh ini, kita memastikan bahwa kalau ada bentuk memerhatikan, memertemukan, memertandingkan maka pengandaian kita yang paling benar adalah menerima bentuk perhatikan, pertemukan, pertandingkan sebagai bentuk dasar. Ketiga bentuk itu diawali konsonan /p/ dan harus mengikuti kaidah morfologis seperti pada bentuk dasar perlu. Kenyataannya bentuk dasar untuk ketiga kata itu justru hati, temu, dan tanding. Di sini kita temukan kesalahan dalam proses morfologis afiksisasi dengan memper-/-kan.
Cara kedua, kita bertolak dari tataran sintaksis atau kaidah pembentukan kalimat dalam bahasa Indonesia. Kita mengenal pelbagai cara mengelompokkan kalimat dalam bahasa Indonesia sehingga kita mengenal ada kalimat aktif, ada kalimat pasif. Untuk menentukan apakah suatu konstruksi tergolong kalimat aktif, kita dapat  memperhatikan kata kerja (verba) yang menempati fungsi predikat. Kalau predikatnya ditempati kata berkategori verba berawalan me-, maka dapat dipastikan itu tergolong kalimat aktif. Cermatilah contoh kalimat (a) dan (b) berikut ini:
(a)   Pemerintah memerhatikan pendidikan anak.
(b)   Pemertintah memperhatikan pendidikan anak.
Bentuk memerhatikan secara sekilas sama dengan bentuk memperhatikan dan  tergolong bentuk aktif  karena berawalan me- dan menempati fungsi predikat dalam kalimat. Namun, apakah keduanya harus diterima sebagai bentuk yang benar? Ujilah dengan cara mentransformasikan kedua kalimat itu menjadi kalimat pasif (verbanya berawalan di-) sehingga kita dapati bentuk  yang tidak berterima (c) dan  bentuk yang berterima (d) berikut ini:
(c)    Pendidikan dimerhatikan pemerintah(?)
(d)   Pendidikan dieprhatikan pemerintah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar