Selasa, 07 Agustus 2012

Raskin untuk Gakin


Seorang pastor misionaris pernah melontarkan pertanyaan kepada kami perihal istilah ‘Raskin’. Sang pastor tidak mempersoalkan Kepala Desa atau Lurah yang berperkara dengan rakyatnya karena penyelewengan dalam membagikan beras untuk warga desa yang tergolong miskin. Sulitlah rasanya bagi sang misionaris untuk memahami makna kata ‘Raskin’ sebagai bentuk ringkas untuk ‘beras miskin’ itu. Hal serupa ternyata juga membingungkan seorang teman kami yang nota bene lahir dan dibesarkan di Indonesia dan mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa resminya. Kami terdorong untuk memberi penjelasan sekaligus jawaban terhadap pertanyaan sang misionaris dan teman itu dalam rubrik bahasa edisi ini.
Jenis penyelewengan yang dirasakan sungguh merambah pemerintahan tingkat Desa atau Kelurahan terpaut masalah pembagian  materi yang  dikenal dengan sebutan “Beras Miskin” atau Raskin sebagai akronim ciptaan media massa kita. Penggunaan bentuk ‘Raskin’ ini sudah jamak terbaca dan terdengar dalam aneka wacana yang bersentuhan dengan urusan dunia perut. Pemunculan istilah ‘Raskin’ ini bukan saja memperkaya kosa kata bahasa tetapi justru membingungkan serta menurunkan citra berbahasa kita. Lebih dari itu, dalam nada sarkastis kami dapat mengatakan bahwa penciptaan dan penggunaan bentuk ‘Raskin’ itu berpotensi menurunkan derajat kemanusiaan kita. Mengapa? Karena manusia disejajarkan dengan beras.
Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, kami mengambil contoh wacana berita pada Flores Pos (Sabtu, 18/5) yang berjudul “RSUD Ruteng Berikan Pelayanan Gakin”. Semula kami menduga bahwa bentuk ‘Gakin’ merupakan bentuk ringkas atau sinonim untuk “Garam miskin, mentega miskin”. Dugaan kami semata-mata didasarkan pada analogi bentuk ‘Raskin’ untuk ‘beras miskin’. Ternyata, setelah merunut lebih jauh terhadap berita itu, bentuk ‘Gakin’ itu menjadi akronim untuk Keluarga Miskin. Apakah bentuk ‘Gakin’ ini muncul karena bernalogi pada bentuk ‘Raskin?’. Dengan kata lain apakah pemunculan bentuk ‘Gakin’ ini paralel dengan bentuk ‘Raskin?’ Pihak yang dapat menjawab secara pasti, jelas si pencipta bentuk itu.
Kami menduga bahwa bentuk ‘gakin’ yang muncul 12 kali dalam berita yang relatif singkat itu ditawarkan sebagai bentuk yang analog atau paralel dengan bentuk ‘raskin’.  Hal yang dipersoalkan dalam ulasan ini sebenarnya bukan soal frekuensi kemunculan akronim ‘raskin’ dan ‘gakin’ itu. Persoalan yang paling pokok sebenarnya bersentuhan dengan logika berbahasa kita. Miskin atau kaya adalah kata sifat yang memberikan keterangan tentang benda yang khusus. Tidak semua benda dapat diperluas dengan keterangan miskin atau kaya. Baju, kerbau, kelapa, roti misalnya, termasuk kata benda tetapi tidak dapat berketerangan miskin atau kaya. Semua kata yang disebutkan di sini berkategori benda nonhuman. Kategori nonhuman inilah yang menafikkan penempatan kata miskin atau kaya sebagai keterangan untuk kata-kata tersebut.
Miskin atau kaya hanya tepat dijadikan keterangan untuk kata benda human (manusia). Keluarga yang disebutkan dalam berita yang kami kutip dalam ulasan ini mengacu atau berefrensi manusia. Kata miskin yang memberi keterangan pada keluarga, penduduk, manusia adalah tepat. Sebaliknya, kalau kita menerima bentuk beras diperluas dengan keterangan miskin, maka mau tidak mau kita juga menerima bentuk  baju miskin, kerbau miskin, kelapa miskin, roti miskin. Sebagai orang yang sadar dalam berbahasa, tentu saja kita menolak bentuk-bentuk seperti ini.
Menghadapi kasus ‘raskin’ ini, kita disadarkan bahwa prinsip ekonomi kata sebagai hukum dunia media massa tidak dapat berlaku mutlak. Penghilangan atau pelesapan unsur tertentu untuk menghasilkan bentuk ringkas tidak selamanya tanpa risiko. Kasus ‘raskin’ ini berisiko terhadap tataran semantik atau makna kata. Bentuk ‘baju miskin’ kalau mau disingkat menjadi ‘jukin’ tampaknya membingungkan. Konstruksi seperti ini dapat ditafsir menjadi ‘baju untuk orang miskin’ atau ‘baju milik orang miskin’. Sejajar dengan contoh ini, konstruksi ‘raskin’ hanya dapat dimaknai ‘beras untuk orang miskin’.
Risiko pergeseran makna pada tataran semantik ini lebih jauh akan berpengaruh pula pada tataran sintaksis. Kita akan berhadapan dengan kalimat-kalimat yang tidak lazim (anomali) seperti kalimat (a) Beras miskin (raskin) dibagi untuk keluarga miskin (gakin); (b) Keluarga miskin (gakin) kehabisan beras miskin (raskin). Kalimat (a) secara lengkap berdasarkan maknanya dapat direkonstruksi menjadi ‘Beras untuk orang miskin dibagi untuk keluarga (yang) miskin’.  Kalimat ini secara sintaksis bukanlah kalimat yang baik dan efektif. Kalimat efektifnya: ‘Beras dibagikan kepada keluarga yang miskin’. Kalimat (b) jika direkonstruksi berdasarkan maknanya menjadi ‘Keluarga (yang) miskin kehabisan beras untuk orang miskin’. Kalimat ini juga tidak efektif. Kalimat efektifnya: Keluarga miskin kehabisan beras.
Ulasan ini sama sekali tidak bermaksud melarang media untuk mencari bentuk ringkas untuk menghemat kata. Ibarat kita mencari jalan singkat untuk mencapai tujuan secara cepat, tepat demikian pula kita  menciptakan bentuk ringkas dengan tetap mengabdi kepada pembaca. Artinya, pembaca tidak dibingungkan. Kita semua senang mencari jalan singkat, tetapi jelas kita mencari jalan singkat dengan risiko yang kecil bahkan harus bebas dari risiko. Raskin adalah bentuk ringkas yang lebih berisiko daripada Gakin. Marilah kita mencari jalan singkat yang aman untuk kita dan juga aman untuk pembaca. Kalau mau, kami menawarkan bentuk ringkas baru menggantikan Raskin dengan Rasukin (Beras untuk orang miskin).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar