Jumat, 03 Agustus 2012

Merusak, Merusakkan


Ketika terjadi bencana alam, banjir dan tanah longsor, di Ende dan Flores Timur media massa menurunkan pelbagai berita seputar bencana itu. Berita tentang bencana itu telah mengusik rasa kemanusiaan kita. Banyak rumah yang roboh dan lebih dari itu banyak nyawa yang hilang. Banyak jenazah korban bencana yang tidak berhasil ditemukan. Sebagai pembaca berita, kita hanya menemukan kalimat-kalimat yang dapat dijadikan materi ulasan dalam rubrik bahasa ini. Berikut ini contoh kalimat yang dapat kita ambil dari deretan berita tersebut:
(1)   Banjir dan tanah longsor merusak ruas jalan negara sehingga lalulintas terputus.
(2)   Banjir yang menimpa penduduk di kabupaten Ende merusak  ratusan rumah.
(3)   Sumbangan yang tidak disalurkan kepada korban merusak citra pemerintah.
Kalimat (1) s.d. (3) di atas,  jika dilihat dari aspek informasi yang mau disampaikan (soal keinformatifannya) semuanya komunikatif. Artinya, pembaca, pendengar dapat menangkap maksud pewacanaan seperti itu. Ketiga kalimat di atas, tidak perlu dipersoalkan dari aspek komunikasi karena informasi yang hendak dikedepankan jelas. Pembaca atau pendengar memahami informasi dan pesan melalui ketiga kalimat itu. Meskipun aspek informatif ketiga kalimat itu tidak diragukan, tetapi tidak berarti kalimat itu berterima dari segala aspek. Ketiga kalimat ini perlu diragukan keberterimaannya manakala kita melihat dan menganalisis struktur (gramatik) dan muatan maknanya (semantik). Titik tolak keraguan kita perihal ketidakgramatikalan ketiga kalimat itu adalah penggunaan kata ‘merusak’ pada setiap kalimat itu.
Kita mengetahui   bahwa kata ‘merusak’ yang dipakai itu, dikategorikan sebagai kata kerja (verba). Secara tata bahasa (struktur garamatik) jenis kata berkategori verba dalam bahasa Indonesia pada umumnya menempati fungsi predikat dalam kalimat. Dilihat berdasarkan bentuk kata yang menempati fungsi predikat ketiga kalimat di atas masing-masing menggunakan kata ‘merusak’ sebagai predikat.  Bentuk kata ‘merusak’ yang terbentuk dari kata dasar rusak dan berimbuhan me- dikelompokkan sebagai bentuk aktif karena berimbuhan me-. Kita juga mengenal penggolongan kata kerja yang aktif transitif dan intransitif. Pengelompokan transitif dan intransitif ini didasarkan pada kemungkinan pemasifan kata kerja yang menduduki fungsi predikat.  Kalimat (4) s.d. (6) di atas berkemungkinan untuk diubah menjadi kalimat pasif sebagai berikut
(4)   Ruas jalan negara dirusak banjir dan tanah longsor sehingga lalu lintas terputus
(5)   Ratusan rumah dirusak banjir yang menimpa penduduk di kabupaten Ende
(6)   Citra pemerintah dirusak oleh sumbangan yang tidak disalurkan kepada korban
Bentuk-bentuk pasif  ini sepintas tampaknya  sesuai dengan kaidah pemasifan dalam tata kalimat (sintaksis) bahasa Indonesia. Namun, jika kita melihatnya dalam kaitan dengan makna (aspek semantik), maka tampak jelas ketiga kalimat di atas baik yang berbentuk aktif maupun bentuk pasifnya sama-sama tidak gramatikal. Dalam konteks tuturan atau komunikasi biasa, kita memang  memahami makna kata kerja ‘merusak’  atau ‘dirusak’ pada kalimat-kalimat itu tetapi secara semantik-gramatikal bentuk tersebut harus dibenahi.
Perlu diketahui bahwa  dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata kerja berawalan me- yang intransitif, seperti terlihat pada contoh-contoh di bawah ini:
(a)   Keadaan pasien itu memburuk setelah dioperasi.
(b)   Anak yang kekurangan gizi tampaknya mengurus.
(c)    Penyakit rabies  meluas di kawasan Flores.
(d)   Wajah anak itu kelihatan membiru karena benturan benda keras.
(e)    Sumber air mengecil karena kemarau berkepanjangan.
(f)     Bunyi mobil itu menderu pada tanjakan itu.
(g)   Saat bekerja ia tak pernah mengeluh
(h)   Pesawat Pelita Air mendarat mulus di Bandara Labuan Bajo
(i)     Gadis-gadis Bali pandai menari.
(j)     Kakak mengangguk tanda setuju
(k)   Siswa menyesal karena gagal dalam ujian akhir nasional.
(l)     Karena ditimpa bencana hidupnya sangat menderita.
(m) Andre menikah pada waktu usia muda.
(n)   Guru biasanya mengajar di sekolah bukan di kebun
(o)   Penyakit itu sudah menjalar ke beberapa desa.
(p)   Pencuri itu melompat ke jurang yang terjal
(q)   Saat perayaan Nyepi, di Bali tidak ada  lampu yang menyala.
(r)    Sikap mengalah itu penting untuk menghindari konflik.
(s)    Kakek menjerit kesakitan dipagut ular.
(t)     Rambut yang memutih bukan ukuran kebijaksanaan.
Bentuk kata yang dicetak miring pada kalimat (a) s.d. (t) di atas memang  berimbuhan me- sebagai salah satu identitas atau ciri pengenal kalimat aktif tetapi tidak dapat dipasifkan karena semua bentuk itu dikategorikan sebagai bentuk aktif intransitif. Kalau kita kembali mencermati bentuk imbuhan me- pada kata kerja merusak  seperti kalimat (1), (2), dan (3) di atas maka kita harus dapat menentukan secara pasti mana bentuk yang aktif transitif (yang dapat dipasifkan) dan mana bentuk aktif intransitif (tidak dapat dipasifkan). Kata kerja transitif yang benar adalah merusakkan, bukan merusak. 
Sejalan dengan bentuk merusakkan, kita mengenal pula bentuk seperti membetulkan menyalahkan; meluruskan; menye-satkan; menyuburkan; menyusahkan; memadamkan; menyuci-kan; meringankan; menguatkan; menghabiskan; memburukkan; melebarkan; meninggikan; menguruskan. Bentuk kata dalam deretan ini dapat dipastikan sebagai bentuk aktif transitif  dan pasti dapat dipasifkan seperti terlihat pada contoh (1) s.d. (10) berikut:
1.      Polisi menyalahkan tindakan sopir yang mabuk itu.
2.      Alat berat itu meluruskan jalan yang lekak-lekuk
3.      Guru yang bodoh menyesatkan  pikiran siswa
4.      Cacing menyuburkan tanah pertanian
5.      Anak yang nakal menyusahkan orangtua
6.      Petugas kebakaran memadamkan  api  di rumah itu.
7.      Petugas Keraton setiap tahun menyucikan perlengkapan keraton
8.      Pemerintah meringankan beban masyarakat yang miskin
9.      Petani cengkeh menguatkan tali pengikat pagar
10.  Kucing menghabiskan makanan di lemari.
Jika kalimat (1) s.d. (10) di atas  disejajarkan dengan bentuk ‘merusak’ tanpa akhiran kan maka kalimat-kalimat itu tidak akan dapat dipasifkan. Jika dipaksakan maka akan menghasilkan kalimat pasif yang tidak berterima atau tidak lazim. Kalau bentuk kalimat aktif  Banjir merusak ruas jalan negara  dengan bentuk pasifnya Ruas jalan negara dirusak banjir  dianggap baku, berterima maka bentuk kalimat aktif Kucing menghabis makanan di lemari dan bentuk pasifnya Makanan di lemari dihabis kucing juga harus diterima sebagai bentuk yang benar. Kaidah bahasa Indonesia yang baku mengharuskan kita untuk menolak kalimat seperti ini. Oleh karena itu, pemakaian akhiran –kan pada kata  dasar berimbuhan me- pada contoh di atas merupakan syarat dalam pembentukan kalimat aktif transitif. Bentuk kalimat aktif transitif Kucing menghabiskan makanan di lemari  dan bentuk pasifnya Makanan di lemari dihabiskan (oleh) kucing adalah bentuk yang gramatikal dan berterima.
Tentu bentuk kalimat Banjir merusak ruas jalan negara tidak dapat dipasifkan karena predikatnya (merusak) berbentuk intransitif (tidak dapat dipasifkan) untuk menghasilkan kalimat yang gramatikal.  Kalimat itu akan gramatikal kalau dibenahi menjadi: Banjir merusakkan ruas jalan negara atau bentuk pasifnya Ruas jalan negara dirusakkan (oleh) banjir.
Satu hal yang harus disadari berkaitan dengan keharusan penggunaan akhiran –kan sebagai indikator ketransitifan kata adalah peristiwa pelesapan unsur objek dalam kalimat. Ada sejumlah kata kerja transitif bentuk meN-/-kan dan meN-/-i yang objek­nya dilesapkan atau tidak selalu  dinyatakan secara eksplisit.  Pelesapan objek itu terjadi karena objek tersebut sudah diketahui atau secara tersirat (implisit) sudah dimak­lumi. Bandingkan contoh (a) Hasil UAS/UAN tingkat SMU tahun ini kurang memuaskan (penyelenggara); (b) Konsep Otonomi Daerah menguntungkan (rakyat kecil); (c) Perjalanan jauh biasanya melelahkan (orang); (d) Peraturan lalau lintas membingungkan (masyarakat); (e) Gajinya yang kecil tidak mencukupi (kebutuhan).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar