Jumat, 28 September 2012

ACUAN DAN IMPLIKATUR



1.      Pengantar
Kita telah berbicara tentang Prinsip-prinsip Pragmatik yang mempersoialakan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam berbahasa yang memungkinkan proses komunikasi. Di samping memahami dua prinsip pragmatik ini, para pengguna bahasa juga dituntut untuk  bertutur tidak membingungkan mitra tutur. Dalam praktik berkomunikasi sering terjadi kesalahpahaman karena penutur dan mitra tutur mengkomunikasikan tuturan yang ambigu. Ambiguitas pemaknaan atas tuturan itu biasanya terjadi karena pelibat tutur menggunakan simbol berupa kata,ungkapan, kalimat acuannya tidak jelas. Bagian ini membicarakan dua hal penting yaitu masalah rujukan atau acuan dan masalah Implikatur.
Tujuan diskusi kita dengan topik ini tidak lain agar kita memahami konsep acuan dan implikatur yang dibicarakan Mey. Karena tujuannya memahami konsep, kami berupaya menjelaskan konsep-konsep itu melalui contoh-contoh yang kiranya membantu. Kami menyadari bahwa konsep-konsep yang ditawarkan Mey dalam topik ini dilandaskan pada pemikiran filosofis yang memang membutuhkan permenungan dan pemahaman yang lebih mendalam.untuk memaknai seluk beluk dan cara kita berbahasa.

2.      Acuan/ Rujukan/Referen dan Anafora
2.1  Persoalan Acuan
Apa yang muncul dalam pikiran kita kalau kita berhadapan dengan kata-kata seperti ini
Ibunya; tadi; Aku; waktu itu ; keduanya; semuanya; mereka semua; satunya; belakang pohon
Yang muncul dalam pikiran kita adalah pertanyaan yang mengharapkan penjelasan agar kita dapat mengetahui dengan pasti siapa, apa, kapan, berapa, di mana yang dimaksudkan oleh kata-kata itu. Kalau bentuk-bentuk seperti ini ditampilkan seperti ini jelas membingungkan. Kita bertanya ibu siapa, tadi pastinya pukul berapa?, Aku sebenarnya siapa, dst? Dengan ini sebenarnya kita mencari rujukan, acuan, referen semua kata tersebut. Acuan atau referen yang pasti bisa dilihat dalam teks berikut:
(1)   Aldo, seorang siswa SMA, sepulang sekolah bercerita kepada Ibunya. “Bu, tadi sewaktu Aku pulang sekolah, Aku menyaksikan tabrakan dua sepeda motor. Waktu itu keduanya berlari kencang.  Semuanya  terjatuh. Meskipun luka-luka mereka segera bangun karena  semua takut kalau polisi datang.  Satunya berlari ke arah utara dan yang satunya berusaha mencari pohon besar dan menyembunyikan diri di belakang pohon
            Jacob L Mey[2] menjelaskan pentingnya masalah Acuan dalam bertutur agar tujuan tuturan itu tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Mencapai tujuan di sini berarti apa yang dikomunikasikan penutur dipahami secara sama oleh mitra tuturnya. Pembicaraan tentang acuan atau rujukan  dalam konteks Mey penting untuk menghindari kebingungan dalam berkomunikasi. Untuk menjelaskan apa dan bagaimana persoalan Acuan, Rujukan ini Mey mengangkat ilustrasi seorang  asing yang berada dalam kamar hotel didatangi orang yang tidak dikenalnya dan mengetuk pintu kamar hotel. Orang yang mengetuk pintu ketika ditanya memberikan jawaban: Saya yang mengetuk. Penggunaan kata “saya” oleh orang yang mengetuk pintu jelas membingungkan orang yang bertanya dari dalam kamar.
Kebingungan orang yang ada di dalam kamar bisa memunculkan dua reaksi bersyarat  (1) ia kemungkinan  membukakan pintu hanya kalau ia mengenal sungguh-sungguh suara orang yang mengetuk pintu atau kalau memang sebelumnya ada temannya yang  berjanji datang menjumpainya di hotel (2) ia tidak membukakan pintu kalau suara orang yang mengetuk pintu itu tidak dikenalnya. 
Kebingungan orang yang berada di dalam kamr hotel terjadi karena dia tidak bisa menentukan rujukan kata “ Saya” dalam jawaban pengetuk pintu. Kata “Saya” dalam jawaban pengetuk pintu bisa mengacu atau merujuk kepada siapa saja. Persoalannya, siapa sebenarnya yang diacu, dirujuk, dimaksudkan “Saya” yang diujarkan pengetuk pintu?. Dalam istilah yang lebih teknis tidak ada referen atau rujukan yang pasti. Penggunaan kata “Saya” oleh pengetuk pintu bercorak deiksis artinya refen untuk kata ‘Saya’ bisa siapa saja  bergantung pada siapa yang mengujarkannya. Acuan atau refrennya bisa berpindah dan dikenakan kepada siapa saja. Untuk memhami hal ini, mungkin baik kalau kita memperhatikan contoh tuturan/tulisan berikut:
(2)   Besok Saya berangkat ke Jogja.
Saandainya tuturan (1) ini dibacakan atau diujarkan oleh            lima orang masing-masing bernama Andre, Bayu, Citra, Darmana, Endang maka saat ujaran (1) dibacakan kata “Saya” yang pada tuturan atau kalimat itu mengacu, merujuk pada lima orang berbeda.
(a)   Ketika Andre membaca “Besok Saya ke Jogja”,  Saya yang diacu adalah Andre
(b)   Ketika Bayu membaca “Besok Saya ke Jogja”,  Saya yang diacu adalah Bayu
(c)    Ketika Citra membaca “Besok Saya ke Jogja”,  Saya yang diacu adalah Citra
(d)   Ketika Darmana membaca “Besok Saya ke Jogja”,  Saya yang diacu adalah Darmana
(e)    Ketika Endang membaca “Besok Saya ke Jogja”,  Saya yang diacu adalah Endang
Berhadapan dengan  kenyataan seperti ini sebenarnya kita berhadapan dengan  masalah filsafat yang berdampak pada kajian linguistik teoretis dan juga dalam penggunaan bahasa. Mey menyebutnya sebagai Filsafat Acuan. Dengan demikian pembicaraan tentang acuan, referen juga merupakan problem dunia pragmatik. Dalam kenyataan tindak berbahasa, bahasa manusia selalu merujuk, mengacu pada orang atau pada sesuatu yang lain baik yang dinyatakatakan secara langsung maupun  tidak langsung. Pengacuan langsung biasanya merujuk pada nama-nama yang membantu kita mengenal referen. Berhadapan dengan pengacuan yang tidak langsung tampaknya sulit sehingga memerlukan strategi  baik strategi linguistik maupun strategi nonlinguistik dalam usaha mendapatkan acuannnya yang benar.
   Kalau kembali pada contoh atau ilustrasi awal yang diberikan Jacob L.Mey tentang orang yang mengetuk pintu  tampak sekali kesulitannya karena tidak bisa ditebak siapa sebenarnya yang dirujuk oleh kata Saya yang datang dan mengetuk pintu. Seandainya yang didatangi bertanya lebih lanjut, siapa sebenarnya yang mengaku “ini Saya” lalu memberi keterangan tambahan” Saya adalah seorang sahabat” kemungkinan yang ada di dalam kamar tetap akan merasa kebingungan karena acuan untuk seorang sabahat menggunakan kata tidak tentu. Tentu akan lebih jelas kalau yang menegetuk pintu itu memperkenalkan diri sebagai orang yang beridentias misalnya “Saya, Ibu Nathasa. Seandainya Ibu Natsa adalah seorang penting yang harus dihubungi maka orang yang berada di dalam ruangan akan dengan segera membukakan pintu. Lebih mudah lagi, jika yang berada di kamar itu telah mengenal secara pasti surara Ibu Nastha. Penyebutan identias berupa nama seperti ini memungkinkan komunikasi berlangsung dengan baik.
 Ilustrasi sederhana yang diangkat Mey sesungguhnya mau menjelaskan kepada kita tentang hakikat dan dasar filosofis untuk konsep Acuan atau referensi dalam berbahasa, dan dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi seseorang hendaknya menjauhkan diri dari kebiasaan menggunakan tuturan yang acuannya tidak jelas atau bercorak ambigu. Untuk itu, penggunaaan kata ganti dan kata keterangan tak tentu  hendaknya dipakai secara tepat  mengingat rujukan kata ganti dan keterangan tidak tentu bercorak deiksis. Hal itu, sudah jauh sebelumnya diingatkan oleh seorang psikolog sekaligus filsuf  Jerman, Karl Bühler[3]. Ia mengambil contoh penggunaan kata “Saya” itu bisa merujuk kepada siapa saja dalam jumlah yang tidak terbatas dan akan membingungan. Penggunaan kata dengan rujukan yang tidak jelas menurut Bühler menyalahi hukum logika kebahasaan. Bagi Bühler pemakaian kata dengan rujukan yang tidak ambigu merupakan tuntutan logika bahasa yang menjamin keterpahaman pesan dalam proses komunikasi. Perhatikan tuturan (2) dan (3) berikut:
(3)   Katanya, saat ini KPK sedang digembosi.
(4)   Cerita anak yatim itu membuatnya terharu.
Tuturan yang mirip dengan dengan tuturan (3) dan (4) ini sering kita jumpai dalam tindak berbahasa. Dua tuturan ini memuat masalah bahasa berkaitan dengan acuan atau referen. Dalam tuturan (3) dan (4) ada bentuk –nya yang mengacu pada seseorang. Orang yang menjadi rujukannya tidak jelas sehingga bisa melahirkan pertanyaan lanjutan “Siapa sebenarnya yang  mengatakan KPK saat ini sedang digembosi? dan Siapa sesungguhnya yang merasa terharu saat anak yatim itu bercerita? Tuturan (3) dan (4) menampakkan konsep acuan yang bercorak ambigu karena menggunakan bentuk yang bercorak deiksis. Tentu akan lebih jelas kalau rujukan, acuan untuk bentuk “nya”  pada dua tuturan itu diperjelas seperrti (3a) dan (4a) berikut:
(3a) Kata Pak Mahfud, saat ini KPK sedang digembosi.
(4a) Cerita anak yatim itu membuat Riska terharu.
Acuan atau rujukan dengan menggunakan nama seperti contoh-contoh di atas diyakini sebagai cara yang tepat untuk menghindari kesalahan memaknai tuturan dan dalam tindak berbahasa. Mey sendiri mencatat bahwa secara tradisional nama menjadi unsur penting sebagai rujukan untuk mencapai rujukan yang benar. Nama[4] di sini tidak saja berkaitan dengan nama utama (pribadi) tetapi juga berkaitan dengan atribut lain yang berkaitan atau merujuk pada sebuah nama. Seorang yang bernama Andreas bisa saja dipanggil “si cebol” kalau memang secara fisik Andreas itu pendek. Begitu juga Sandro yang suka melawak bisa diberi atribut “si badut” Ketika orang menyebutkan si Cebol dan si badut  orang langsung menghubungkannya dengan Andreas dan Sandro. Di sini terlihat pemberian atribut pada nama dilihat sebagai ungkapan ekspresi tetapi tetap berkaitan dengan persoalan Acuan meskipun sifatnya lebih khusus.
Nama juga berkaitan dengan benda atau makhluk lain.Nama bintang juga penting dalam kaitannya dengan rujukan yang benar. Kalau Budi mengatakan “ Saya senang memelihara binatang”  tentu tuturan itu acuannya tidak jelas karena binatang  itu masih sangat umum. Referen atau acuan binatang pada tuturan Budi tidak jelas. Untuk itu, Budi harus menyebutkan acauan yang jelas misalnya dengan mengatakan: “Saya senang memelihara kerbau”.


2.2 Rujukan pada 3 Kategori
Berbicara tentang Acuan, Rujukan, Referen sesungguhnya kita berbicara tentang sarana linguistik untuk  yang mengungkapkan  hubungan indeksikal, yang biasanya dikenal dengan sebutan unsur-unsur deiksis bahasa.  Deiksis berkaitan dengan persoalan rujukan atau referen yang mengharuskan kita mencari acuannya yang pasti.  Dalam tradisi linguistik dan filsafat pembicaraan tentang acuan dan deiksis ini biasanya berkaitan dengan tiga kategori yaitu  orang, tempat, dan waktu.  Dari sini dikenal tiga macam deiksis yaitu deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu. Gagasan filsafat yang mendasari pembedaan atas tiga kategori ini tidak lain pandangan bahwa semua pengacuan berkaitan dengan  manusia yang hidup dalam waktu dan tempat tertentu.  Karena itu semua semua tuturan dikaitkan dengan  siapa yang mengujarkan, kapan itu diujarkan,  dan di mana hal itu diujarkan. Perujukan, pengindeksan harus dihubungkan tiga hal persona, waktu, dan tempat. Dari ini muncul istilah deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis tempat. Konsep dengan tiga unsur ini dalam pandangan Karl Bühler disebutnya sebagai medan indeksindex field[5]. Pemaknaan sebuah tuturan berada di dalam konteks siapa penuturnya, kapan tuturan itu diujarkan, dan di mana tuturan itu diujarkan. Untuk memahami konsep medan indeks dengan tiga patokan ini, perhatikan ujaran (5) berikut:
(5)   Saya datang ke sini bulan lalu
Ujaran (5) menuntut acuan/rujukan deiksis persona (siapa yang dimaksud/dirujuk dengan kata saya); menuntut adanya rujukan tempat atau deiksis tempat  “ke sini” (apa nama tempat yang dirujuk dengan ke sini); menuntut rujukan waktu (apa nama bulan yang dirujuk dengan kata bulan lalu). Untuk menjawab tiga masalah ini maka tututran (5) harus ditempatkan dalam medan indeks dengan memberi kontkes (orang, tempat, waktu) nama pelaku, nama tempat, dan nama bulan. Jika ujaran (5) disampaikan seorang bernama Ali, dan saat mengujarkan itu ia tinggal di kota Malang, dan diucapkan pada bulan Oktober maka ujaran (5) bisa dirumuskan menjadi Ali datang ke kota Malang bulan September. Jika yang mengujarkan itu seorang bernama Bandot yang  tinggal di kota Surabaya dan ujajaran itu disampaikan bulan Agustus maka tuturan itu menjadi Bandot datang ke Kota Surabaya bulan Juli. Begitu seterusnya tuturan (5) memiliki medan indeks yang ditentukan atau dibatasi oleh siapa yang berbicara, di mana ia berbicara, dan kapan ia berbicara.
Dari contoh ini tampak jelas bahawa orientasi deiksis terpusat pada si pembicara sehingga deiksis ini dalam pandangan Levinson bercorak egosentris (egocentrical organization)[6] dalam arti pembiacara berada pada titik nol dan segala sesuatunya diarahkan dari sudut pandangnya. Fillmore[7] (1979:122) menegaskan bahwa pemusatan  deiksis pada pembicara membawa implikasi terhadap penggunaan deiksis ini dan itu sebagai penanda jarak dekat dan jauh (the person who produce a linguistic expression as the centre of the associated communications act)
            Dalam kaitan dengan acuan, refren ini beberapa ahli linguistik mengingatkan adanya kemungkinan pergantian cara pandang. (Anekdot tentang guru Yahudi  dengan seorang anak merupakan contoh penggantian cara pandang)  Pesan sang guru untuk istrinya: Kirimkan sendalmu dan Bukan kirimkan sendalku. Pemakaian kata sendalmu dan bukan sendalku sengaja dibuat sang saumi agar sang istri tidak membuat rujukan yang salah. Cerita ini mengilustrasikan pentingnya memiliki sudut pandang yang benar. Cerita ini juga menunjukkan bagaimana  seseorang dapat mengantisipasi cara orang lain  menafsirkan sebuah tuturan dalam sudut pandang mereka sendiri. Anekdot lain berkaitan pemakaian kata kiri dan kanan (deiksis tempat); minggu lalu dan minggu depan  (deiksis waktu).
(6)   Anekdok baru: Pak Bayan sudah lama menderita penyakit gula. Suatu hari ia dikunjungi temannya Pak Dirman.  Istri Pak Bayan menyiapkan dua gelas teh panas. Mengingat sang suami menderita penyakit gula, salah satu gelas teh tidak diberi gula dan gelas lainnya untuk Pak Dirman diberi gula. Kemudian sang istri meminta pembantu mengantar minuman ke ruangan tamu. Sambil menyerahkan dua gelas teh sang istri berpesan kepada si pembantu: “ gelas yang kiri untuk tamu, yang kanan untuk Bapa”. Saat minum Pak Bayan pingsang karena ia mendapat gelas bergula tinggi sementara Pak Dirman cengar cengir menikmanti teh pahit tanpa gula. Apa sebabnya? Jawabanya karena perbedaan cara pandang tentang posisi kiri dan kanan antara sang istri dengan sang pembantu.
2.3 Persoalan Deiksis dan Anafora
Untuk menjelaskan konsep anafora berikut diberikan lagi tuturan yang menggambarkan deiksis seperti dalam penejlas sebelumnya. Pengacuan atau rujukan refereni yang benar hanya akan terjadi menuntut kehadiran konteks yang tepat. Pengacuan dengan konteks yang tepat ini dikenal dengan istilah deiksis. Pengunaan kata lalu dan kata depan pada contoh perikut bercorak deiktik.
(7)   Tugas pragmatik dikumpulkan Senin depan.
(8)   Senin lalu Tristan bertugas sebagai moderator.
Konstruksi (7) dan (8) bercorak taksa atau amgigu karena rujukan minggu depan dan minggu lalu tidak jelas. Rujukan yang benar dan pasti untuk tuturan itu ditentukan oleh konteks waktu kapan dua tutran atau konstruksi itu dituturkan. Kalau dua turturan itu dituturkan pada hari Senin tanggal 17  September 2012 maka minggu depan untuk tuturan (7) merujuk atau mengacu pada Senin, 24 Sepetember 2012. Sebaliknya kalau tuturan (8) dituturkan pada pada hari yang sama Senin, 17 September maka kata lalu pada konstruksi itu mengacu pada hari Senin, 10 September 2012. Kepastian rujukan, referen Senin, 24 Sepetember 2012 dan Senin 10 September 2012 ditentukan kontkes waktu konstruksi (7) dan (8) itu dituturkan. Jika konteks tuturannya berpindah ke Senin 24 September 2012 maka refrennya depan dan lalu juga berubah. Di sini kita berkenalan dengan apa yang dikenal sebagai deiksis waktu.
Hal yang sama juga berlaku untuk ungkapan deiksis yang lain berkaitan dengan penggunaan kata ganti penunjuk ini dan itu pada tuturan (9) dan (10) berikut:
(9)   Toni: Tristan membeli buku ini.
(10)Toni: Tristan mengembalikan buku itu.
Kata ini dan itu pada konstruksi (9) dan (10) masih bercorak ambigu karena tak jelas refrennya. Apa judul buku, siapa pengarang buku yang akan dibeli Tristan bergantung pada buku apa yang ditunjuk Toni. Kalau Toni menunjuk atau memegang buku Pengantar Pragmatik karya Jacob L.Mey, maka refren atau rujukan kata ini pada tuturan (9) adalah Buku Pengantar Pragmatik karya Jacob L.Mey. Kalau Toni menunjuk atau memegang buku  Deiksis Bahasa Indonesia karangan Bambang Kaswanti Purwo maka rujukan, refrensi kata ini berpindah menjadi buku Deiksis Bahasa Indonesia karangan Bambang Kaswanti Purwo. Hal yang sama juga berlaku untuk tuturan (10).  Tuturan (9) dan (10) mau menegaskan tentang deiksis jarak. Kalau tuturan (9) dan (10) berkaitan dengan orang (persona) kata ini dan itu merujuk pada orang yang ditunjuk. Dalam praktik berbahasa kepastian rujukan dapat ditahui dengan menggunakan kata ganti penunjuk oarang atau persona demostrativa dan diperjelas lagi dengan penyebutan nama. Nama atau nomen merupakan rujukan yang pasti untuk deiksis persona.
Kalau dicermati rujukan berupa deiksis pada contoh di atas mengacu pada sesuatu yang berada di luar tuturan. Brecht [8]membedakan deiksis menjadi dua yaitu deiksis luar tuturan dan deikisis dalam tuturan. Deiksis luar tuturan disebutnya eksofora (exophora) dan deiksis dalam tuturan disebutnya endofora (endophora).  Halliday dan Hasan[9] menegaskan perujukan eksoforik  menerangkan situasi yang merujuk pada sesuatu yang telah diidentifikasi dalam sesuatu konteks bagi sebuah situasi.  Perujukan endoforik ini pula merujuk apa yang hanya ada di dalam teks.
Anafora dan katafora merupakan bagian dari jenis rujukan bercorak  endoforik. Penamaan itu didasarkan pada arah rujukan dalam teks. Rujukan ke depan disebut rujukan anaforik dan rujukan ke belakang  disebut rujukan kataforik. Perhatikan tuturan (11) berikut
(11) Seorang pria berjalan lambat, ia membawa sebuah tongkat yang besar
Kata ia pada tuturan (11) merujuk ke depan yaitu seorang pria. Tuturan itu sebenarnya kalau ditulis lengkap akan menghasilkan tuturan (11a)
      (11a) Seorang pria berjalan lambat, seorang pria  membawa sebuah tongkat yang besar. Kata ia merujuk secara anaforik pada seorang pria. Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah kata-kata nabi Natal yang ditujukan kepada Daud: Tu es ille vir atau Engkaulah orang itu. Kata itu merujuk pada kisah panjang sebelumnya yang terdiri dari 6 ayat dari Kitab  Samuel.
(12) TUHAN mengutus Natan kepada Daud. Ia datang kepada Daud dan berkata kepadanya: "Ada dua orang dalam suatu kota: yang seorang kaya, yang lain miskin.  Si kaya mempunyai sangat banyak kambing domba dan lembu sapi; si miskin tidak mempunyai apa-apa, selain dari seekor anak domba betina yang kecil, yang dibeli dan dipeliharanya. Anak domba itu menjadi besar padanya bersama-sama dengan anak-anaknya, makan dari suapnya dan minum dari pialanya dan tidur di pangkuannya, seperti seorang anak perempuan baginya.  Pada suatu waktu orang kaya itu mendapat tamu; dan ia merasa sayang mengambil seekor dari kambing dombanya atau lembunya untuk memasaknya bagi pengembara yang datang kepadanya itu. Jadi ia mengambil anak domba betina kepunyaan si miskin itu, dan memasaknya bagi orang yang datang kepadanya itu." Lalu Daud menjadi sangat marah karena orang itu dan ia berkata kepada Natan: "Demi TUHAN yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan." Kemudian berkatalah Natan kepada Daud: "Engkaulah orang itu! (2 Samuel 12: 7)
3.      Implikatur
3.1 Pengertian Implikatur
Secara etimologis kata ‘implikatur’ dibentuk dari kata bahasa Latin im- berarti di dalam plicare berarti melipat di dalam. Implikasi berari menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu yang lain. Dalam konteks percakapan atau tuturan implikatur berarti sesuatu yang tersembunyi di dalam tuturan atau percakapan yang dinyatakan. Jelasnya, implikatur berarti tuturan yang tersembunyi. Contoh kalau ada tuturan “Baru hari ini Ani terlambat masuk kuliah”, maka bagian tuturan yang tersembunyi di dalam tuturan seperti ini adalah “Ani belum pernah terlambat masuk kuliah”. Ani belum pernah terlambat merupakan implikasi dari tuturan “Baru hari ini Ani terlambat masuk kuliah”. Ani belum  terlambat disebut sebagai implikatur.Persoalan-persoalan seperti ini merupakan hal menarik berkaitan dengan penggunaan bahasa yang luput dari kajian berkaitan dengan kaidah sintaksis dan semantik. Pragmatik mencoba menjelaskan fenomena tuturan seperi ini dengan menggunakan prinsip percakapan’ (Bilmer, l986: 27)[10].
            Tentu saja ini hanyalah langkah awal dalam mendapatkan penjelasan yang memuaskan tentang fenomena implikatur, sambil mencari penjelasan-penjelasan khususnya bersifat pragmatik, dengan memanfaatkan prinsip-prinsip pragmatik khusus meskipun disadari bahwa prinsip-prinsip itu ‘rumit’, untuk diuraikan agar dipahami.

3.2 Implikasi dan implikatur
Kata implikasi  harus dibedakan dari kata implikatur karena dua istilah itu merujuk pada hubungan logika yang ditandai dengan kehadiran dua proposisis. Dalam penalaran, proposisi itu biasanya dilambangkan dengan rumus logika atau penalaran yang dirumuskan dalam hukum jika p maka q.  Rumus logika seperti ini tampaknya abstrak karena itu bisa dikonkretkan melalui contoh tuturan. Kita bisa menggunakan contoh tentang Ani tadi seperti tuturan (13) dan (14).
(13) Tuturan “Baru hari ini Ani terlambat masuk kuliah” disimbolkan p dan
(14) Tuturan “Ani belum pernah terlambat masuk kuliah” disimbolkan q
Dua tuturan ini merupakan dua proposisi logis yang bisa dihubungkan antara pernyataan berimpilkasi dan pernyataan yang menjadi implikaturnya. Hubungan logis kedua tuturan itu bisa disombolkan menjadi jika pàq artinya jika tuturan pertama benar (bisa dibuktikan memang benar  baru hari ini Ani terlambat masuk kuliah) maka logis dan pasti benar juga jika dikatakan Ani belum pernah terlambat masuk kuliah sebagai implikaturnya.
3.3 Implikatur percakapan
Implikatur percakapan merupakan gagasan yang teramat penting dalam pragmatik. Ihwal implikatur percakapan diajukan oleh H. Paul Grice, yang dianggap sebagai pencetus teori implikatur, dalam ceramah William James di Universitas Harvard pada tahun 1967. Sebenarnya tahun 1957 filsuf Grice ini pernah membedakan antara apa yang disebut makna alami (natural meaning), seperti pada kalimat “Awan gelap berarti hujan” dan makna nonalami (non-natural meaning) atau makna-nn (meaning nn) (Louise Cummings, 2007:13).
Pemahaman akan persoalan Implikatur percakapan penting karena dalam berkomunikasi dengan orang lain seseroang harus menafsirkan uajaran orang lain. Menafsirkan itu tidak selalu mudah karena terbuka kemungkinan kesalahpahaman terhadap tuturan, Karena itu gagasan Leech yang melihat proses interpetesasi cenderung ke arah tebakan atau lebih sebagai usaha pembentukan hipotesis’ (l983: 30-31) dapat diterima. Persoalan ini dapat dipahami melalui ilustrasi yang diangkat Mey[11] dalam karyanya sebagai berikut:
(15) Andri: Kapan Bibi Rosa merayakan Hari Ulang Tahun
(16) Badri: Salah satu tanggal di bulan Oktober.
Jawaban Badri (16)  bisa menunjukkan bahwa Bibi Rosa merayakan HUT kapan saja pada bulan Oktober antara 1 hingga 31 Oktober.  Ada kemungkinan untuk yang bisa tebak mungkin awal, pertengahan, akhir Oktober.          Secara logis, semua kemungkinan ini  mengimplikasikan  kapan saja di bulan Oktober’. Meskipun logis, tidak masalah bila kita mengatakan kapan saja di bulan Oktober  meskipun hari ulang tahun yang sesungguhnya tanggal 1 Oktober. Jawaban Badri  (16) bisa  memberi informasi  dengan  implikatur percakapan bahwa satu-satunya hal yang diingat Badri tentang hari ulang tahun bibi Rosa adalah nama bulan terjadinya ulang tahun tersebut, dan  sejujurnya Badri  tidak tahu apakah ulang tahun itu pada awal, pertengahan  atau  akhir bulan tersebut.  

3.4 Jenis-jenis Implikatur[12]
Grice membedakan implikatur menjadi dua yakni implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional (konversasional). Implikatur konvensional mengacu pada implikasi makna langsung, dan implikatur konversasional mengacu pada implikasi makna tidak langsung. Implikasi konvensional lebih mudah menarik simpulan makna yang terkandung dalam tuturan, sedangkan dalam implikatur konversasional harus melibatkan fenomena lain, seperti prinsip kerjasama dan konteks tuturan yang melatari. Penggunaan istilah implikatur konversasional berkembang dengan pemakaian istilah implikatur percakapan, dan juga silih berganti dengan istilah implikatur nonkonvensional.
Makna yang terdapat pada implikatur percakapan merupakan suatu yang disarankan penutur. Makna yang disarankan penutur berbeda dari apa yang dimaksud secara harfiah. Bahkan Grice menyatakan bahwa implikatur percakapan diartikan sebagai makna tidak langsung yang ditimbulkan oleh apa yang dituturkan oleh Penutur. Implikatur dan termasuk implikatur percakapan adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa dalam berkomunikasi antara penutur dengan mintra tutur sangat memungkinkan adanya wujud tuturan yang disampaikan berbeda dengan sesungguhnya. Antara implikatur konvensional dan implikatur percakapan terdapat perbedaan dalam pemaknaanya. Agar lebih jelas perbedaan dalam pemaknaannya implikatur kenvensional dengan Implikatur percakapan, dapat memperhatikan contoh berikut ini.

(17) Ibu : “Gerard, barangkali baknya sudah penuh?”
                   Gerard: “Ya, Bu. Sebentar saya tutup.”
(1
8) Gerard: “Bu, masih ada orang.”
         Ibu : “Ya, nanti saja!”

Tuturan (17) “Gerard, barangkali baknya sudah penuh?” Walaupun tuturan (17) bermodus introgatif, namun sesuai dengan konteksnya, Ibu secara tidak langsung menyuruh Gerard menutup keran, yang diduga baknya sudah penuh. Tuturan (18) “Bu, masih ada orang.” Berimplikasi bahwa keran belum dapat ditutup karena masih ada orang si dalam kamar mandi. Kedua contoh tersebut mengandung implikasi makna tidak langsung. Sementara itu, jawaban Gerard pada (17) “ya, bu. Sebentar saya tutup.”, dan jawaban Ibu pada (18) “Ya, nanti saja!” berimplikasi makna langsung. Tuturan Gerard pada (17) sebagai jawaban tuturan Bu guru pada (17). Pada tuturan itu Gerard berjanji untuk menutup keran air bak, yang diperkirakan baknya telah penuh. Tuturan Ibu pada (18) “Ya, nanti saja!” juga sebagai tuturan yang bermakna langsung (konvensional), karena Ibu meminta Gerard menutup keran, setelah orang keluar dari kamar mandi. Contoh lain tentang Implikatur perhatikan tuturan (19) dan (20) berikut:

(19) Ali : “Ayo, nonton!”
    
   Budi : “Besok saya ujian.”
Jawaban
Budi pada tuturan (19) tidak berkaitan dengan ujaran Ali.  Ali berbicara tentang nonton dani Budi bicara ujian. Ujaran Ali  itu merupakan ajakan, dan jawaban terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaan atau penolakan. Jawaban Budi itu bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan Ali. Ujaran Budi merupakan penolakan atas ajakan Ali. Hal itulah yang disebut implikatur percakapan.

 (20) Citra : “Ali sekarang memelihara kucing.”
   
     Dewi : “Hati-hati menyimpan daging.”
  Tuturan Dewi dalam (20) bukan bagian dari tuturan  Citra. Tuturan Dewi muncul sebagai akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan Dewi  tentang kucing dengan segala sifatnya. Salah satu sifat kucing yang diketahui Dewi adalah  senang makan daging.

4.      Penutup
Setelah mengukuti uraian tentang topik  Acuan dan Implikatur dapat disimpulkan bahwa dalam tindak berbahasa atau dalam komunikasi penutur dituntut untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya dengan berusaha menghindari penggunaan bahasa yang memuat banyak unsur yang sifatnya deiksis[13]. Penggunaan kata bercorak deiksis (persona, waktu, tempat) menuntut adanya konteks untuk memahami informasi tuturan.  Upaya mencari rujukan, acuan, referen tuturan agar tuturan itu bermakna dapat dikatakan sebagai usaha mengeksplisitkan apa yang masih tersembunyi dalam tuturan. Pembicaraan tentang Rujukan, Acuan, Referen adalah pembicaraan tentang Eksplikatur tindak berbahasa.
Hal yang tampaknya mengimbangi eksplikatur ini adalah pembicaraan tentang implikatur yang mengakui adanya tuturan yang tersembunyi dalam tuturan lainnya. Karena itu, baik Eksplikatur (Referen) maupun Implikatur sama-sama memberikan sumbangan dalam proses pemaknaan  setiap tindak berbahasa. Ide Levinson[14] tentang manfaat implikatur tentu penting bagi kita karena (1) implikatur mampu memberi penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjelaskan yang kemudian dimasukkan ke dalam “keranjang-keranjang sampah pengecualian” oleh teori-teori gramatikal formal (2) implikatur mampu memberikan penjelasan mengapa suatu tuturan, misalnya dalam bentuk pertanyaan tetapi bermakna perintah, (3) implikatur dapat menyederhanakan deskripsi semantik perbedaan antarklausa dan (4) implikatur dapat menjelaskan berbagai fenomena kebahasaan yang tampak tidak berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang komunikatif.

***

Buku Rujukan
Utama
Mey, L. Jacob. 1994. Pragmatics: An Introduction. Cambridge: Blackwell Publishers Inc.
 Pelengkap
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Persepektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kaswanti, Bambang Purwo. 1984.Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka
Levinson, Stephen. 1983Pragmatics, Cambridge:Cambridge University Press.
Sumarsono. 2010. Pragmatik. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
.


[1] Makalah Kelompok dipresentasikan Senin, 1 Oktober 2012 untuk Kuliah Pragmatik Lanjut, pada Program Pascasarjana UM.
[2] Jacob L.Mey, Pragmatics: An Introduction, 1996, hlm. 89-90

[3] Dalam Jacob L.Mey, Op.,Cit., hal.90, Bühler menegaskan bahwa siapa pun bisa mengatakan “Saya”  tetapi untuk kejelasan siapa yang dimaksudkan “saya”  diperlukan  rujuakan yang tepat. Jika “saya” yang dimaksudkan adalah pembicara maka diperlukan nama sebagai acuan kata “ saya” itu.
[4] Ibid., hal.90-91
[5] Mey, Op., Cit., hal.92
[6] Istilah ini gunakan Stephen Levinson, Pragmatics, Cambridge:Cambridge University Press, 1983 hal.68.
[7] Gagasan Fillmore ini dapat dibaca pada karya.Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hal.8
[8] Penjelasan panjang lebar tentang istilah ini bisa dibaca pada Bambang Kaswanti Purwo, Op.,.Cit.,hal.8
[9] Halliday dan Hasan, Cohession in English, New York: Longman Group Limited, 1976 hal.8

[10] Mey, Op., Cit.,hal. 99
[11] Ilustrasi ini dimodifikasi untuk memudahkan pemahaman akan apa yang disampaikan dalam naskah aslinya.
[12] Mey, Op., Cit. hal.103-104
[13] Di sini mungkin perlu kita maknai hiptesis Frei yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat kebudayaan maka semakin sederhana sistem deiksis bahasa yang bersangkutan (dalam arti bahasa tersebut tidak memerlukan pembedaan deiksis yang banyak dan rumit. Kalimat ini  dikutip dari Bambang Kaswanti Purwo, Op., Cit, hal.6-7.  
[14] Manfaat Implikatur Levinson ini bisa dibandingkan penjelasan  Sumarsono, Pragmatik, Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha, 2010