Minggu, 02 Oktober 2016

OPINI: KEKUASAAN DAN MONUMEN TANPA KEPALA




Kekuasan dan Monumen Tanpa Kepala

Bonefasius Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng

Kelompok kata ‘Monumen Tanpa Kepala’ yang dipertautkan pada judul ini merupakan judul sebuah cerita pendek (cerpen) karya Indra Tranggono yang dipublikasikan Kompas edisi Minggu 21 Septerber 1997. Cerpen ini mengisahkan pengalaman tokoh seorang bupati (imajiner) yang pingsan  saat gubernur meresmikan tugu perunggu raksasa setinggi sepuluh meter. Monumen yang dikisahkan dalam cerpen ini dibangun bupati karena merasa diri berhasil dalam menyumbangkan banyak tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri.
Pembangunan munumen TKW yang menghabiskan ratusan juta rupiah dana daerah  itu sejak awal ditatang masyarakat karena dinilai tidak manusiawi. Sang bupati dengan bermodalkan kekuasaan merasa berhak mengabaikan desakan masyarakat. Ia ingin membangun citra sebagai bupati paling berhasil mengurangi pengangguran dengan mengirim banyak tenga kerja wanita ke negara lain. Monumen raksasa itu diresmikan gubernur. Saat peresmian itulah sang bupati pingsan karena ketika sang gubernur membuka kain penutup menumen TKW itu, ternyata monumen itu tanpa kepala. Ada warga tidak menyetujui  pembangunan monumen itu. Warga menugaskan Sureng, Bendot, dan Klantung untuk menghilangkan kepada patung TWK  itu sebelum acara peresmiannya. Peristiwa itu muncul di koran setempat dengan judul  "Monumen TKW Tanpa Kepala" tiga orang dinyatakan menjadi tersangka, mereka adalah Sr (sureng), Bt (Bendot) dan Klantung. Bupati malu hingga pingsan di hadapan begitu banyak orang yang menghadiri peresmian patung TKW itu.
Setelah siuman sang bupati menggebrak meja.  Para stafnya tak ada yang berani bicara. Kepulan asap menguasai ruangan. Puntung-puntung rokok menumpuk da­lam asbak. "Bagaimana mungkin kita bisa keco­longan?! Demi proyek ini, saya pertaruh­kan seluruhnya.  Jabatan saya, leher saya.  Bahkan nyawa!  "Bupati menggo­sokkan balsem di tengkuknya.  Bau bal­sem itu merebak ke seluruh ruangan. Sa­tu persatu orang-orang gemetar memati­kan rokoknya. "Monumen itu menjadi tanda keber­hasilan kita sebagai pemasok tenaga ker­ja wanita terbesar di negeri ini. Dus, itu berarti kita menjadi pelopor dalam soal mengurangi pengangguran. Pemerintah pusat sangat respek kepada kita. Tapi sekarang ... ?"  
Pesan moral cepen Indra ini sudah lama mengendap dalam kesadaran kami ketika dahulu menjadikan cerpen ini sebagai salah satu cerpen yang dianalisis untuk kepentingan penulisan Skripsi (S1) di Universitas Sanata Dharma (2000). Pesan yang telah mengendap itu seakan-akan dibangunkan oleh tulisan pada kolom Bentara Flores Pos. Media lokal yang bertekad membawa wajah Nusa Bunga ke segenap Nusantara ini tidak pernah alpa menghadirkan bahkan meneriakkan pesan moral terkait pelbagai kebijakan para petinggi penguasa  yang  terkesan memunggungi rakyat. Perspektif, posisi dan sikap media ini konsisten tegas dan jelas, enggan memilih posisi abu-abu. Tentu, jauh dari tendensi menyudutkan siapa-siapa karena semua dan siapa saja  paham dan sadar bahwa nilai moral, nilai kemanusiaan merupakan nilai universal yang diperjuangkan bersama. Nilai keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban itu biasa dan wajar diperjuangkan.
Kesan tegas, lugas, dan preferensi pada kelompok the poor ini paling kurang tampak dalam  beberapa Bentara Flores Pos. Merujuk pada pesan moral cerpen ‘Monumen Tanpa Kepala’ di atas kami tertarik pada dua judul Bentara ‘Pulau Penuh Tugu’ (Flores Pos Sabtu 1/10) dan ‘Kitab Suci ‘Woge’ (Flores Pos Kamis, 22/9). Dua judul ini ditulis pimpinan redaksi Flores Pos. Dalam dunia dan dalam konteks kebijakan bermedia kolom Tajuk atau Bentara untuk Flores Pos merupakan tulisan yang mewakili sikap, pandangan resmi media sesuai dengan visi dan misinya. Dengan demikian, setiap orang yang ingin mengetahui apa visi dan misi khas sebuah media, harus memahami pesan dalama wacana tajuk atau jika mau mengenal opsi sikap Flores Pos terhadap berbagai isu dan kebijakan yang berkembang, maka cermati itu dalam Bentara.
Melalui dua judul Bentara yang dipertalikan dengan pesan moral cepen tadi, tampak bahwa Flores Pos sebagai sebuah lembaga/media mengingatkan dan bahkan menentukan sikap. Berhadapan dengan niat mulia Bank NTT yang mengalokasikan dana hampir 150 juta rupiah untuk pembangunan tugu di Kabupaten Sikka dinilai sebagai pilihan yang tidak berpihak kepada kelompok ‘the poor’. Pembagunan tugu yang direncakan itu dinilai sebagai iklan murahan untuk para petinggi kabupaten di Flores. “Publik mulai gerah dengan kesenangan para bupati di Flores yang cenderung membangun patung, tugu, dan ornamen lain seperti  baliho dan iklan dengan potret persis anak sambut baru di pinggir jalan dan tempat strategis di kota” (Bentara, 1/10). Flores Pos melalui Bentaranya mengingatkan agar pengalaman bupati rekaan dalam cerpen tidak menjadi kenyataan.
Hal senada disampaikan  Bentara (22/9) untuk menjadi perhatian serius para petinggi dan pengambil kebijakan di kabupaten Ende. Rencana untuk ‘membaptis’  sebuah tempat menjadi “Bukit Kerukunan” atau “Taman Tolerasi” disikapi media FP sebagai niat kurang prorakyat. Para petinggi tentu, tidak ingin  disebut sebagai pihak yang menerapkan logika ‘kalang kabut’  terkait ide yang pada waktunya akan berdampak negatif.  Dana ratusan juta yang digunakan bupati rekaan dalam cerpen toh pada akhirnya bukan membuat namanya dikenal sebagai bupati yang berhasil memabngun monumen TKW. Jutru ia pingsang, dan merasa malu karena ternyata kebijakannya tidak bersentuhan dengan kebutuhan hakiki masyarakat. Rakyat memang mungkin diam karena mungkin beralasan mandat dan kepercayaannya telah diserahkan kepada para pemimpin.
Flores Pos dengan Bentaranya yang kritis, lugas, dan beropsi kepada masyarakat yang tak berdaya telah siap menjadi tokoh Sureng, Bandot, dan Klantun yang siap mematahkan kepala setiap monumen yang dibangun untuk kebanggaan penguasa dan bukan untuk memajukan kehidupan masyarakat yang berkeadilan. Sikka dengan rencana pembangunan tugunya, Ende dengan proyek bukit kerukunannya sesungguhnya mirip dengan kisah Monumen Tanpa Kepala. Ini satu awasan sekadar mengingatkan semua petinggi yang berkuasa (di Flores) lebih memilih membangun tugu keadilan, kejujuran, kesejahteraan masyarakat daripada menghabiskan dana mengabadikan nama dengan tugu atau apa pun namanya.
Akhirnya kita perlu memaknai kutipan cerpen  ini: “Lengkingan sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu tersingkap. Gamelan bertalu.  Mu­lai tampak sebagian badan monu­men perunggu setinggi sepuluh meter itu. Tamu-tamu undangan bertepuk riuh.  Pak Gubernur, seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum bangga.  Namun, mendadak gamelan itu terhenti.  Para tamu undang­an kaget.  Begitu kain selubung itu terbu­ka seluruhnya, mereka melihat peman­dangan aneh.  Monumen TKW, tenaga kerja wanita itu, berdiri tanpa kepala. Pak Gubemur gusar.  Pak Bupati ce­mas.  Suasana berubah gaduh. Pak Bupati tampak terguncang.  Empat orang pengaman memapahnya.  Istri menggosok tengkuk dan dada suaminya dengan balsem. Bebera­pa petugas lainnya, lengkap dengan se­napan, mengamankan tempat.  Dengan gerakan yang sangat terlatih mereka segera membawa Pak Bupati masuk mobil dinas. Yah.. Kita tidak ingin kekuasaan itu hanya sekadar monumen tanpa kepala.***

Sabtu, 01 Oktober 2016

Teratai Budaya Manggarai



Teratai Budaya Manggarai
(Hanya Sebuah Wujud Apresiasi)

Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng
 

Rangkaian kata yang menjuduli tulisan ini muncul sedemikian spontan ketika Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (STKIP) Santu Paulus menyodorkan sebuah buku dengan judul, “Ca Léléng, Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan Banyak, Banyak Sama Dengan Satu. Judul ini dilengkapi dengan satu catatan kecil tetapi amat penting untuk tidak diabaikan, ‘Kumpulan Puisi Manggarai—Indonesia’. Judul  buku yang  ‘genit’ ini diambil dari salah satu judul puisi (no.15) dari karya seorang pakar Budaya Manggarai, Rm.Ino Sutam, Pr sebagai penulis. Tampilan halaman depan buku dengan gambar warga berkostum adat Manggarai menguatkan kesan ‘genit’ yang menggoda. Menggoda untuk mengagumi dan memaknai kelahairan dan kehadiran karya ini. Karya yang baru dilahirkan ini merupakan kelahiran yang menjanjikan untuk setiap orang yang tergoda mengakrabinya.
Penglahiran penghadiran karya yang ‘padat pesan’ dan ‘sarat budaya’ ini tergolong tetap momentumnya. Tepat karena kelahirannya dipertalikan dengan memontum akademik , ritual wisuda  sarjana di STKIP Santu Paulus Ruteng periode 2015/2016. Ritual perutusan ke medan laga untuk menaburkan nilai-nilai kehidupan dan aneka kebajikan sebagai orang terdidik dan kaum cendikia.  Penglahiran penghadiran nuansa budayanya diharapkan membuka cakrawala dan pemahaman akan pesan-pesan sublim yang tampaknya lama terkubur dari kesadaran massa. Bagi para sarjana baru, kehadiran karya putra Manggarai ini kiranya menjadi embrio yang harus ditumbuh-suburkan dalam tugas dan karya sebagai pendidik dan cendikiawan.
Kemasan nilai dan kebajikan yang sedemikian lama tidak disadari, akhirnya tersaji lebih dari cukup bahkan terlampau kaya dalam buku kumpulan puisi berlatar lokal Manggarai ini. Penulis tidak sekadar menggali dan mengorek rahasia alam budaya terkait hidup dan kehidupan seperti spirit Chairil Anwar ketika mengolah budi dan kehendak untuk mendeklarasikan sebuah kehidupan dan masa depan yang melampaui batas usia fisik. Kerinduan ke masa depan  ‘aku mau hidup seribu tahun lagi’ pada dasarnya menjadi cita-cita dan kerindauan terdalam untuk kondisi masa depan yang disarati nilai-nlai universal.  Kehadiran karya ini, lebih dari sekadar deklarasi pentingnya usia fisik biologis yang panjang tetapi terutama menjadi sebuah kerinduan spiritual dalam mengabadikan beragam nilai kehidupan yang universal yang memang tidak mungkin mati. Nilai-nilai universal itu hanya tersembunyi dalam dinamika perkembangan zaman tetapi bisa digali dan ditemukan.
Kumpulan puisi yang termuat dalam karya putra kelahiran Téré, Pocoléok, Manggarai ini justru menjadi satu pilihan berikhtiar menggali, menemukan, mengangkat, dan mengabadikan nilai universal kehidupan (religius, nilai sosial, nilai budaya, nilai ekologis, dan sebagainya). Nilai-nilai ini tersebar di dalam 42 judul puisi yang tersaji, dengan diksi dan pengungkapan yang bukan saja khas dan mendalam tetapi lebih dari itu mempertimbangkan aspek ritme dan rima sebagai salah satu keharusan dalam karya bergenre puisi.
Nilai  yang Kaya
Kekayaan nilai yang menjadi pesan dalam karya doktor jebolan Institut Catholique de Lille Prancis ini dapat di kelompokkan menjadi
(a)  Nilai Religius dalam ungkapan berujud pujian dan syukur kepada Tuhan atas anugerah bumi Manggarai sebagai tempat tinggal (rumah) yang  damai, ramah, indah, dan berkelimpahan (tampak pada puisi 1—4). Pujian dan syukur dipadatkan dalam larik-larik ini: //Manggarai... Manggarai/Tana dédék de Mori Mésé/Tana pandé de Mori Kraéng/Tana wantil de Mori Jari/Tana Randang de Mori Ngaran/Nuca lalépapé de Mori Amé/Nuca Wéla sénta de Mori Déwa//, 
(b) nilai Sosial Kebersamaan tampak dalam puisi “Ca Léléng, Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan Banyak, Banyak Sama Dengan Satu yang ditulis dalam satu serial yang panjang (5 judul). Dimensi kebersamaan dan nilai Soliditas masyarakat Manggarai  tergambar kuat pada kelima judul yang sama ini. Aneka bentuk pengungkapan dalam diksi yang terpilih dan tertata apik mengerucutkan pesan betapa nilai kebersamaan itu membingkai seluruh dinamika kehidupan masyarakat Manggarai. Konsep satu dalam banyak dan banyak dalam satu yang dijadikan judul karya ini menegaskan pentingnya keharmonisan dengan sesama. Filososi persatuan itu tampak dalam larik ini /Nakéng ca waé, néka woléng taé/ipung ca tiwu néka woléng wintuk/mokang ca mbohang néka woleng londang/ laki ca rami, néka woleng rait//. Nuansa persatauan ini diperkuat lagi dengan nilai musyawarah dalam puisi  ‘Leros lonto léok, randang lonto cama’.
(c) nilai ekologis tampak dalam puisi ‘Tamba, Tambang-Tambang Pande da’at’ yang menuntut adanya perdamaian dengan alam ciptaan. Upaya itulah yang disebut sebagai ‘hambor’
(d) Nilai dan persoalaan kehidupan politik juga sangat kuat digemakan dalam karya ini. Praktik berpolitik yang mengabaikan nilai-nilai kebersamaan, nilai ekologis, nilai kejujuran sebagaimana tercermin dalam pesta demokrasi Pilkada turut  menyadarkan pembaca betapa karya ini merambah semua dimensi kehidupan manusia.
Puisi: Karya yang Padat
Terminologi padat biasanya ditautkan pada karya sastra berbentuk puisi. Waluyo (2005: 1) menegaskan bahwa puisi adalah karya sastra yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul dipilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat, atau padat, namun berkekuatan. Kata-kata yang digunakan berima dan bermakna konotatif, bergaya figuratif. Dalam rumusan yang sedana Pradopo (2007: 314) berpendapat bahwa puisi adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung. Puisi merupakan ucapan ke intipati masalah, peristiwa, atau pun narasi (cerita, penceritaan). Karena itulah, sesungguhnya sebuah karya sastra seseorang yang merupakan ekspresi pikiran dan pengalaman yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang dipadatkan, dipersingkat serta memperhatikan unsur bunyi dan pemilihan kata-kata kias sehingga menciptakan wujud tulisan yang indah.
Kalau kriteria versi pakar sastra  seperti ini ditetapkan sebagai kriteria, tentu pertanyaan yang relevan terhadap kehadiran buku Ca Léléng, Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan Banyak, Banyak Sama Dengan Satu adalah apakah buku itu layak disebut sebagai buku kumpulan puisi? Jawabannya tidak sekadar rumusan padat dan singkat tetapi juga harus memenuhi syarat terkait elemen pokok sebuah puisi berkaitan dengan bunyi, diksi, citraan, kiasan, sarana retorika, wujud visual, dan makna.
Pakar sastra mengklaim bahwa sebuah puisi terbangun dari berbagai unsur yang membuatnya menjadi indah dan menarik. Sayuti (2002: 101-358) mematok bahwa puisi terbentuk dari unsur bunyi dan aspek puitiknya, diksi, citraan, bahasa kias, wujud visual dan makna. Bunyi  dalam puisi terkait unsur persajakan (rima), asonansi dan aliterasi, efoni dan kakafoni, serta onomatope dan lambang rasa. Persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam kata atau lebih yang berposisi di akhir kata, maupun yang berupa penggulangan bunyi yang sama, yang disusun pada jarak atau rentang tertentu secara teratur.  Puisi memuat persamaan bunyi vokal (asonansi) dan konsonan (aliterasi), dan adanya kombinasi. Efoni memuat konsonan yang mempercepat ucapan, mempermudah pemahaman arti, dan bertujuan mempercepat irama baris yang mengandungnya, sedangkan kakafoni adalah bunyi konsonan yang memperlambat irama baris yang mengandungnya. Unsur  Onomatope adalah bunyi yang bertugas menurukan bunyi dari bunyi sebenarnya dalam arti mimetik dalam puisi. Lambang rasa adalah bunyi tertentu yang membawa nilai rasa berbeda antara yang satu dengan lainya (Sayuti, 2002: 129).
Persoalan diksi merupakan pilihan kata-kata oleh  seorang penyair untuk mengungkapkan ekspresi dan perasaannya. Diksi diartikan sebagai choise and use of words yang berperanan penting dalam menyampaikan ekspresi seorang penyair. Penyair selalu memperhitungkan (1) kaitan kata tertentu dengan gagasan dasar yang diekspresikan, (2) wujud kosakatanya, (3) hubungan antar kata, (4) efek bagi  pembaca. Citra atau Imaji (image) adalah gambaran angan, pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yang menggambarkannya dan cara membentuk kesan mental disebut citraan (imagery).  Pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau mengkonkretkan apa yang dinyatakan.
Unsur-unsur ini tampak kuat dalam karya ini, sehingga buku ini layak dikategorikan sebagai buku kumpulan Puisi. Karena buku ini mengangkat berbagai nilai budaya yang selama ini tenggelam, buku ini hadir sebagai sebuah Teratai Budaya Manggarai. Semoga dapat menjadi penghias yang mengharumkan dan mengindahkan masyarakat Manggarai. 
Dipublikasikan dalam Flores Pos Jumat, 30 September 2016

Tinggal Landas atau Lepas Landas



Tinggal Landas atau Lepas Landas
Rm.Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng



Senin, 21 Maret 2016 pukul 16,21’17” seeorang pembaca setia Flores Pos mengirimkan sebuah pesan singkat dan bertanya tentang penggunaan frase  “Tinggal landas”. Pertanyaan pembaca media  bermotto, “dari Nusa Bunga untuk Nusantara” ini tampaknya merujuk pada polemik atas tulisan kolom Bentara Flores Pos, Senin (7/3). Pada kolom itu tertulis, “Ende Tinggal Landas?”  sebagai judul dan dalam ulasan lanjutannya muncul dua bentuk yaitu ‘tinggal landas’ dan ‘tanggal landas’.  Pada paragraf pertama bentuk yang dipakai ‘tinggal landas’ sedangkan pada paragraf kedua, ketiga, keempat dipakai bentuk ‘tanggal landas’.  Dua bentuk itu memang tampaknya membingungkan pembaca, tetapi jika rujukannya pada judul maka sebenarnya bentuk yang diulas hanya satu yaitu ‘tinggal landas’.
Deskripsi makna leksikal yang diberikan pada kolom itu tampaknya cukup memadai tentang  kata ‘tinggal’ dan kata ‘landas’.  Kata kunci pemaknaan terletak pada kata ‘tinggal’ dan makna yang berterima atau yang patut diterima, persis seperti yang diulas pengasuh ‘Bentara’.  ‘Tinggal’ memang berarti (1) masih tetap di tempatnya (2) sisanya (3) ada di belakang, terbelakang (4) tidak naik kelas (5) sudah lewat (6) lewat (7) diam (8) selalu, tetap (9) melupakan (10) tidak usah berbuat apa-apa (11) bergantung kepada, terserah kepada, terpulang kepada (12) sesuatu yang didiami. Pemaknaan yang amat tepat ini jelas menyentil rasa para pejabat yang loyal kepada atasan mereka (mungkin juga bupati Ende ) yang tanpa keraguan mencanangkan  ‘kematian’ warganya untuk tetap di tempat.
Semula kami agak ragu-ragu dan bertanya benarkah seorang bupati memilih diksi ‘tinggal landas’ untuk warga yang dikomandaninya?  Benarkan slogan dan jargon mentereng ini sebagai program strategis pemerintahan Kabupaten Ende? Keraguan itu mendorong kami untuk mencoba merunut asal-usul pemakaian frase’ tinggal landas’ itu.  Paling kurang kami temukan dalam laporan. Laporan Wartawan Pos Kupang, Romualdus Pius (Selasa 15/3) dengan judul berita ‘ SKPD di Ende Paparkan Rencana Kerja’ bertempat di Aula Lantai 2 Kantor Bupati Ende. Dilaporkan, bahwa tema kegiatan itu adalah, “Dengan Strategi Quick Wins Kita Wujudkan Kabupten Ende Tinggal Landas Pada Tahun 2016”.
 Lebih meyakinkan lagi penggunaan ‘tingggal landas’ ini terbaca pada portal resmi pemerintah Kabupaten Ende di bawah judul, “ Ende Tinggal Landas Antisipatif Perubahan”. Di hadapan peserta Rakor Pengembangan dan Pemberdayaan Koperasi  dan UMKM Tingkat Kabupaten Ende di aula Hotel Flores Mandiri Jln. Melati, Senin (29/2)  bupati mengatakan bahwa  dalam perkembangan ekonomi yang berjalan demikian cepat dan upaya percepatan pencapaian target kinerja pembangunan di Kabupaten Ende maka perlu kiat dan inovasi serta komitmen pemerintah daerah Kabupaten Ende   dengan mencanakan tahun 2016 sebagai tahun perubahan yaitu Ende Tinggal landas menuju NTT Baru dan Indonesia Hebat (http://portal.endekab.go.id/home/40-berita/1903-ende-tinggal-landas-antisipatif-perubahan.html).
Persoalannya mengemuka ketika frase ‘Tinggal landas’ diklaim dimaknai berlawanan dengan niat pemerintah. Persoalannya, ini bukan perkara interpretasi tetapi begitulah makna yang sebenarnya. Masalah pokoknya justru pejabat teratas di tingkat kabupaten agaknya kurang cermat dalam berbahasa. Celakanya, mereka yang loyal kepadanya akan mendukung jargon yang salah sehingga kesalahannya semakin meluas. Perilaku berbahasa (para pejabat) yang kurang cermat menjadi bahan pelajaran yang paling berharga dari kasus ini.
Pembaca, lalu mengajukan pertanyaan kepada kami, “Mana yang benar Tinggal Landas atau Lepas Landas”. Jawabannya, mudah cermati  saja lema (istilah untuk yang biasanya kita sebut sebagai kata) ‘tinggal’ dan lema ‘lepas’. Manakah dari kedua lema ini yang bisa dijodohkan sebagai ‘pasangan’ yang legal untuk lema ‘landas’ Pada lema tinggal kita tidak menemukan bentuk perluasan dengan lema ‘landas’. Sebaliknya, kalau kita merunut lema ‘lepas’ pasti kita temukan lema ‘landas’. Itu artinya, bentuk yang berterima sesuai dengan kaidah adalah ‘lepas landas’.
Lema ‘lepas’ itu secara leksikal berarti (1) dapat bergerak(lari) ke mana-mana, tidak tertambat (2) bebas dari ikatan, tidak terikat lagi (3) lolos dari kandang (kurungan, kerangkeng) (4) melarikan diri (5) bebas dari hukuman (6) tidak ada sangkut –pautnya lagi, tidak ada ikatan lagi (7) copot, tidak pada tempatnya lagi (8) tanggal tentang gigi (9) bebas, berdiri sendiri (10) tidak melekat lagi, hilang (11) sesudah, sehabis. Lema ‘lepas’ yang mendapat jodoh yang pas yaitu lema ‘landas’  membentuk ‘pasutri’ yang harmonis namanya ‘lepas landas’. “Lepas landas’ berarti  lepas dari landasan, pada waktu bergerak meninggalkan landasan (tentang pesawat terbang).
Kalau maksud sang bupati melepaskan rakyat Ende dari segala yang tidak terpunji maka seharusnya pasutri yang dipilih bukan ‘tinggal landas’ melainkan pasutri ‘lepas landas’. Kesalahan seperti ini jamak terjadi karena orang terlampau latah dan menganggap remeh pada hal kecil. Lema ‘tinggal’ dan ‘lepas’  sepintas itu dianggap sinonim (bermakna hampir sama) tetapi dalam penggunaannya perlu kecermatan dan menghindari sikap berbahasa yang semberono. Ingat, benar dan betul itu sinonim, tidak dan bukan juga sinonim tetapi tidak bisa dipakai sesuka hati untuk suatu jargon nirmakna. Orang bisa mengatakan ‘Ia memperjuangkan kebenaran, tetapi tidak bisa diganti ia memperjuangkan kebetulan’. Orang  bisa mengatakan ‘ia tidak cantik tetapi tidak bisa diganti ia bukan cantik’.
Semoga kita semua dan para pembaca terbantu dengan penjelasan ini dan teristimewa para pejabat publik menjadi pengguna bahasa yang patut dianut sehingga menjadi pejabat anutan bukan pejabat panutan karena selama ini banyak orang menggunakan kata panutan. Karena itu, jangan sekedar  mengumbar jargon karena kata sekedar juga salah dan yang benar adalah sekadar.  Berita tentang Ende membuat kita mendapat pencerahan dan kita menunggu pejabat lain yang cermat berbahasa. (Dipublikasikan Folres Pos, Sabtu, 9 April 2016)