Jumat, 31 Agustus 2012

KODE ETIK JURNALISTIK




KODE ETIK JURNALISTIK
HASIL KONGRES XXII
Nangroe Aceh Darusalam, 28-29 Juli 2008

(Draft awal adalah keputusan Konkernas PWI 4 – 10 Juli 2007 di Jayapura, Papua).

PEMBUKAAN
Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.
Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berda¬sarkan atas hukum, seluruh wartawan Indonesia menjun¬jung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasar¬kan Pancasila.
Maka atas dasar itu, demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan ini Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.
BAB I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
Pasal 1
Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada undang-undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban profesinya.
Pasal 2
Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
Pasal 3
Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.
Pasal 4
Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan.
BAB II
CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT
Pasal 5
Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.
Pasal 6
Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.
Pasal 7
Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.
Pasal 8
Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban.
BAB III
SUMBER BERITA
Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita.
Pasal 10
Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.
Pasal 11
Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.
Pasal 12
Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.
Pasal 13
Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini.
Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.
Pasal 14
Wartawan Indonesia menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan "off the record".
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 15
Wartawan Indonesia harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam melaksanakan profesinya.
Pasal 16
Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahawa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.
Pasal 17
Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihakpun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
Esensi Kode Etik

Terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di gedung Sono Soeko (sekarang gedung Monumen Pers) Surakarta pada 9 Februari 1946 tidak diikuti dengan perumusan formal Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) seperti termaktub dalam dokumen resmi organisasi profesi, dalam hal ini PWI. Seperti dikemukakan dalam buku PWI Jaya Di Arena Masa yang disusun oleh Soebagijo I.N. pada hakekatnya apa yang kini disebut Kode Etik Jurnalistik itu pada kongres pembentukan PWI di Solo pernah sekilas dibicarakan. Waktu itu, Ketua (Mr. Sumanang) mengatakan bahwa dia sudah menyediakan rencana (naskah) suatu konvensi, yaitu suatu hukum yang tidak tertulis, suatu norma yang terlukis dalam batin kaum wartawan. Bunyinya: "Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa, dengan senantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan negara".

Hal ini dapat dimengerti karena yang menjadi pusat perhatian tokoh-tokoh pers yang berkumpul di Surakarta ketika itu adalah bagaimana menghimpun serta mengintegrasikan segenap potensi bangsa khususnya masyarakat pers Indonesia untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Seperti diketahui jauh sebelum proklamasi kemerdekaan dan pada periode revolusi fisik, pers Indonesia terkotak-kotak dalam beberapa kelompok penerbitan antara lain sebagai hasil rekayasa pemerintah Jepang. Sedangkan tokoh-tokoh PERDI (Persatoean Djoernalis Indonesia) setelah berhasil membentuk wadah itu pada 23-24 Desember 1933 di Surakarta, tidak segera dapat mengonsolidasikan wadah pers yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda tersebut. Hal ini terjadi karena situasi dan kondisi perang kemerdekaan waktu itu menyebabkan masing-masing mempunyai kegiatan sendiri.

Lagi pula, yang menjadi obsesi para tokoh pers yang berhasil mendirikan PWI di Surakarta 9 Februari 1946 itu adalah terbentuknya wadah perjuangan para wartawan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Makna itu, antara lain, dapat ditangkap dari pidato sambutan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin atas terbentuknya PWI. Ia menegaskan peran aktif dalam meyakinkan masyarakat dan tentara bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah kemerdekaan seratus persen, dan mempersatukan rakyat dan tentara agar saling membantu menegakkan persatuan (Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila).

Jadi dapat dimaklumi ketika PWI terbentuk tidak segera diikuti dengan perumusan formal dalam satu naskah otentik (Kode Etik Jurnalistik PWI) seperti dimiliki sekarang. Namun tidak berarti pers nasional waktu itu tidak memiliki landasan moral profesi berupa kode etik atau kode perilaku jurnalis. Sebab pada waktu mendirikan PERDI, Desember 1933, para tokoh pers perjuangan juga menyadari sepenuhnya bahwa kode etik sebagai landasan moral profesi mutlak diperlukan. Hal itu, antara lain, terbukti dari sikap dasar organisasi itu yang menyatakan mutlak perlunya pertanggungjawaban dalam melaksanakan kebebasan pers. Kemudian, sesuai dengan dinamika yang berkembang waktu itu PERDI menyatakan dengan tegas bahwa asas perjuangannya adalah menegakkan kedudukan pers Indonesia sebagai terompet perjuangan bangsa.

Berangkat dari paradigma itu, PERDI menyatakan dirinya sebagai oganisasi yang bebas dari sekat-sekat pemisah berdasarkan suku, ras, agama, daerah asal, dan aliran politik. Tidak mengherankan apabila kemudian PERDI dikenal sebagai organisasi profesi berpaham kebangsaan. Tidak lain karena PERDI memiliki moto, "wartawan Indonesia terlebih dahulu adalah nasionalis dan baru wartawan" (Lintasan Sejarah PWI). Dalam perkembangannya moto PERDI tersebut terkenal dengan ungkapan: "Nasionalis dulu baru Jurnalis".

Lagi pula, para tokoh pers perjuangan itu menyadari sepenuhnya bahwa sebenarnya kode etik jurnalistik bersifat universal. Artinya, kode etik yang berlaku bagi wartawan di satu negara juga berlaku bagi wartawan di negara lain. Sebab prinsip-prinsip kode etik bahwa berita pers harus berimbang, bersifat netral, objektif, akurat, faktual, tidak mencampuradukkan fakta dan opini, tidak memasuki hal-hal bersifat pribadi (privacy), menghormati asas praduga tak bersalah, tidak bersifat fitnah, dusta dan cabul serta judul berita mencerminkan tubuh berita, berlaku bagi semua wartawan. Hanya saja, di sana-sini memang ada spesifikasi atau pengkhususan sesuai dengan kultur masing-masing dan karakteristik media yang dipakai para wartawan.

Esensi kode etik yang demikian itulah yang juga menyemangati para tokoh pers yang mendirikan PWI di Surakarta, 9 Februari 1946. Terbukti dalam perkembangannya, sekalipun kode etik jurnalistik baru dirumuskan pada Kongres PWI di Malang tahun 1946 dan kemudian disahkan pada Kongres PWI di Surabaya tahun 1950 (Pers dan Masyarakat terbitan PP PWI), prinsip-prinsip kode etik yang bersifat universal tersebut menjadi landasan bagi penilaian pemberitaan pers. Dengan kata lain, para tokoh pers waktu itu dalam melakukan penilaian atas pemberitaan pers selalu mengacu kepada prinsip-prinsip kode etik yang bersifat universal tadi. Sekalipun harus diakui bahwa di sana-sini timbul penafsiran berbeda-beda atas prinsip-prinsip kode etik itu. Misalnya yang terjadi pada kasus Asa Bafagih, Pemimpin Redaksi Harian Pemandangan, Jakarta, pada Agustus 1952 karena memuat berita yang dianggap "membocorkan rahasia negara".

Akan tetapi, dinamika perkembangan politik serta timbulnya berbagai masalah dalam pemberitaan pers pada awal 1950-an mendorong para tokoh pers pasca terbentuknya PWI untuk merumuskan secara formal kode etik jurnalistik lebih rinci, lengkap, dan komprehensif serta hasil kajian tim yang khusus dibentuk untuk itu. Dengan demikian, akan ada acuan atau pedoman baku dalam menilai apakah pemberitaan tertentu telah melanggar kode etik atau tidak. Di samping itu, mengingat intensitas pelanggaran atas prinsip-prinsip kode etik serta sensitivitas persoalan politik waktu itu, dirasa mendesak untuk segera merumuskan kembali kode etik jurnalistik PWI yang mampu menjawab perkembangan pers.

Lebih-lebih, berlakunya UUDS-1950 yang menganut sistem kabinet parlementer dan praktek pers liberal sangat mewarnai pemberitaan pers. Pasal 19 UUDS-1950 menegaskan, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pasal inilah yang mendasari praktek pers liberal waktu itu. Persoalan pers menjadi makin serius karena selain pratek pers liberal, jauh sebelumnya pemerintah Indonesia pada November 1945 telah mengeluarkan kebijakan penerapan sistem multipartai. Konsekuensinya bermunculanlah banyak partai. Dan ternyata masing-masing partai menerbitkan suratkabar dan majalah sendiri sebagai alat perjuangan partai. Tidak mengherankan apabila kemudian pers nasional waktu itu diramaikan oleh media partisan.

Banyaknya media partisan sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan partai dan didukung oleh sistem pers liberal membuat wajah pers nasonal waktu itu diwarnai oleh polemik berkepanjangan antara partai yang satu dengan partai yang lain. Atau polemik berlarut-larut antara tokoh partai yang satu dengan tokoh partai yang lain, sehingga sering melewati batas-batas kebebasan pers, bahkan memasuki hal-hal bersifat pribadi.

Dalam buku Sejarah Pers Indonesia oleh Soebagijo I.N. dicatat bahwa memang pada zaman liberal juga ada gejala-gejala atau pertanda yang menunjukkan pers banyak dibuat untuk menyebar fitnah, mencaci maki, menjatuhkan martabat seseorang atau keluarga, tanpa memikirkan ukuran-ukuran sopan-santun dan tatakrama.

Tidak hanya itu. Pers yang sangat liberal tadi membuat sebagian pers waktu itu mempraktekkan kebebasan tanpa batas, sama sekali tidak diiringi oleh tanggung jawab terhadap kepentingan publik. Hal ini membuat tokoh-tokoh pers terpanggil untuk melakukan penertiban. Apalagi sebagian pers waktu itu mempraktekkan pemberitaan yang bersifat sensasional berlebihan sehingga menyesatkan masyarakat. Tidak jarang pemberitaan pers disusupi oleh gaya agitatif yang dipicu oleh kepentingan partai. Akibatnya, pertentangan partai, termasuk di kalangan pers makin tajam. Artinya, kalangan pers waktu itu juga terkotak-kotak sebagai terompet partai yang berakibat terjadinya pelanggaran prinsip-prinsip kode etik melalui “perang pena” bekepanjangan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Tegasnya, pers zaman itu cenderung dijadikan sebagai alat politik dan tidak lagi memperhatikan etika pers sebagaimana seharusnya.

Memang kalau kita menelusuri kembali catatan sejarah perjalanan bangsa ini terutama sejarah perkembangan pers Indonesia, jelas sekali bahwa pimpinan nasional sudah memiliki komitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan pers. Demikian juga esensi kode etik sebagai landasan bagi para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya selalu ditekankan dan diingatkan oleh para pemimpin bangsa waktu itu dalam berbagai kesempatan. Di samping itu, harus diakui pula bahwa perjuangan kemerdekaan pers pada zaman itu masih sangat kental dengan konteks perjuangan bangsa secara keseluruhan. Hal itu, antara lain, tercermin dalam konvensi yang diterima dan disepakati oleh para pendiri PWI tanggal 9 Februari 1946 yang mengatakan, “Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan tanah air dan bangsa, dengan senantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan rakyat”.

Namun perlu juga dicatat sikap para tokoh pers dan pendiri PWI yang memelihara jarak dengan pemerintah. Independensi pers dijunjung tinggi. Setiap upaya pihak pemerintah yang mengarah pada campur tangan urusan pers dengan tegas ditolak oleh tokoh-tokoh pers. Jadi, kalau pada pembahasan RUU Pers akhir 1998 dan awal 1999 yang kemudian menjadi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sangat gencar disuarakan independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional, maka sebenarnya komitmen seperti itu sudah digelorakan sejak pembentukan PWI tahun 1946. Seperti diketahui, pada saat pembahasan RUU Pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkan independensi dimaksud. Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirian yang mengatakan, “biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur tangan birokrasi”. Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sikap memelihara jarak dengan pemerintah tersebut bukan hal baru bagi masyarakat pers. Dengan kata lain sejak semula para pendiri PWI menolak campur tangan pemerintah berkenaan dengan pembinaan kehidupan pers.

Hal itu terbukti dalam rapat yang diadakan segera setelah terbentuknya Pengurus PWI yang diketuai Mr. Sumanang dengan anggota Syamsuddin Sutan Makmur (Rakyat, Jakarta), B.M. Diah (Merdeka, Jakarta), Soemantoro (Kedaulatan Rakyat, Yogya), Ronggo Danukusumo (Suara Rakyat, Kediri) dan Harsono Tjokroaminoto (Al-Djihad, Yogya). Dalam rapat ini dibicarakan juga mengenai nasib berbagai penerbitan di daerah serta kemungkinan fasilitas dari pemerintah. Tetapi dengan tegas hal itu ditolak oleh Ketua Umum Mr. Sumanang.

Mengenai kemungkinan fasilitas dari pemerintah untuk membantu penerbitan di kota-kota kecil, Mr. Sumanang menggariskan sikapnya dengan menyatakan, “Tentang perhubungan dengan pemerintah, baiklah jika saya kemukakan pendirian saya, yang mudah-mudahan juga menjadi pendirian Persatuan kita. Janganlah kita terlalu gampang meminta, meskipun kepada pemerintah kita sendiri. Kita harus merasa puas dengan usaha kita sendiri, yang kita atur sendiri pula. Selama kita masih bertenaga dan bernafas, janganlah minta pertolongan siapa pun, supaya kita tetap bebas dalam menjalankan tugas kita. Negara kita ialah suatu negara yang berhukum, berdasar pada keadilan. Kita hanya berharap, dan jika perlu mendorong nanti, supaya pemerintah akan mengambil tindakan yang tegas dan nyata, yang sesuai dengan dasarnya.”

Setelah uraian Ketua Umum itu, Syamsuddin Sutan Makmur kembali tampil berbicara mengutarakan adanya RUU Pers yang oleh pemerintah telah dimintakan pertimbangan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Menurutnya, dia tidak akan menyetujui adanya UU Pers tadi, karena tiap undang-undang mengandung maksud membatasi kemerdekaan melahirkan pikiran. Dalam hubungan ini dia mendapat bantuan/dukungan dari anggota BP-KNIP lainnya, dan maksud pemerintah itu dibatalkan.

Lebih lanjut anggota pengurus PWI Pusat yang baru terpilih itu mengaskan, “Kita kaum wartawan harus pandai menghargai kemerdekaan melahirkan pikiran itu dan sanggup berpikir yang luas dan bekerja teliti. Janganlah kita berbuat yang melanggar kemerdekaan itu, yang akibatnya merugikan kepentingan kita sebagai bangsa yang kini tengah dalam perjuangan dahsyat. Kita lawan adanya sensor. Kita tidak menyukai adanya hukuman administrative, kita tidak senang dengan adanya pemberangusan. Dalam pada itu kita harus sanggup mengadakan pembatasan sendiri. Sebaiknya kita mengadakan komisi yang memikirkan hal itu.”

Namun pembentukan komisi yang diusulkan oleh Syamsuddin Sutan Makmur ini pun ditolak oleh seorang peserta rapat, yaitu Ibnu Parna (Penghela Rakyat, Magelang). Ibnu tidak setuju pembentukan komisi. Dia khawatir timbul ekses yang akan membelenggu kaum wartawan. Ibnu Parna menyatakan, “Sebaikya kita berjanji kepada diri sendiri bahwa dalam menunaikan tugas kewajiban, kita senantiasa menjaga kepentingan kita sebaik-baiknya.”

Terhadap uraian Ibnu Parna ini, Ketua Mr. Sumanang menyatakan persetujuannya dengan menambahkan, “Kami sudah menyediakan suatu konvensi, suatu hukum yang tidak tertulis, suatu norm yang terlukis dalam bathin kaum wartawan yang harus dijunjung tinggi” (PWI Jaya Di Arena Masa, oleh Soebagijo I.N.).

Komitmen pimpinan nasional akan independensi serta peranan pers nasional ini juga dinyatakan pada peringatan satu windhu PWI, Februari 1954. Tidak kurang dari Wakil Presiden Bung Hatta meninjau kedudukan dan peranan pers itu dalam kerangka sistem politik nasional. Dikatakannya, karena masyarakat umum bersikap pasif dan kurang mampu menyampaikan perasaannya secara jelas, maka perlu ada badan-badan berupa perkumpulan, partai dan cendekiawan atau wartawan untuk menduga perasaan dan kehendak rakyat. Perkumpulan dan partai menyatakan perasaan rakyat yang diwakilinya melalui keputusan pertemuan atau rapat, tetapi tidak setiap waktu dapat diadakan pertemuan atau rapat seperti itu.

Atas kenyataan itu, Bung Hatta mengatakan, “Yang dapat bersuara setiap hari ialah surat kabar. Sebab itu surat kabarlah yang lebih mendekati sifat, apa yang disebut orang “anggota perasaan umum”. Sifat ini hanya dapat dipenuhi oleh suatu surat kabar, apabila ia memberikan kesempatan kepada tiap-tiap orang untuk melahirkan pendapatnya secara objektif, yang benar-benar mencerminkan perasaan rakyat yang terpendam. Dalam pada itu, pada tuntutan ini terdapat dua kesukaran. Pertama, orang yang pandai mengeluarkan pendapatnya tidak selamanya dapat menduga perasaan orang banyak yang pasif itu secara objektif. Sering ia mengemukakan pendapatnya sendiri, yang berdasarkan kepada keyakinan politiknya atau pandangan hidupnya. Sebagai cita-cita penganjur, ini memang ada baiknya, istimewa dalam lapangan pembangunan masyarakat. Pendapat semacam itu dapat melahirkan pendapat yang bertentangan. Dan dari pertukaran pikiran kita dapat mencapai kebenaran yang lebih sempurna. Tapi persoalan ini, apabila ia mengenai soal-soal politik menghadapi kesulitan yang kedua. Yaitu, surat kabar tidak selamanya bersikap netral, ia juga memiliki bulu. Pembawaan dari demokrasi ialah bahwa lambat laun kebanyakan surat kabar memihak kepada salah satu aliran politik atau terpengaruh oleh salah satu partai politik. Apabila suatu surat kabar sudah menjadi suara dari suatu partai politik, ia tak mudah lagi menjadi “mimbar umum” yang memuat juga suara-suara dari golongan politik yang berlainan faham. Surat kabar itu tidak lagi “anggota perasaan umum”, melainkan saluran bagi sebagian dari perasaan umum”

Pemikiran atau pendapat yang dikemukakan Wakil Presiden Moh. Hatta pada 1954 tersebut memang masih relevan dan aktual dikaitkan dengan perkembangan pers dewasa ini, termasuk masalah komitmen dan konsistensi pers atas esensi kode etik. Sebab ada sementara kalangan wartawan yang justru memandang sebelah mata kode etik jurnalistik. Yaitu kalangan yang mengatakan bahwa kode etik itu pada hakikatnya merupakan pembatasan atas kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Karena di dalam kode etik terdapat sejumlah larangan dan pantangan. Adanya sejumlah larangan dan pantangan inilah yang menjadi dasar mereka menolak pelaksanaan kode etik untuk selanjutnya mengatakan, biarkanlah wartawan tersebut berkiprah dan berekspresi tanpa dibatasi oleh kode etik.

Pendapat yang kontroversial seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap, prinsip, dan pandangan hidup para pendiri PWI serta pimpinan nasional yang memandang peranan pers sangat penting dalam menegakkan demokrasi serta menyalurkan aspirasi dan pendapat masyarakat. Untuk melaksanakan tugas dan fungsi seperti itu, mutlak diperlukan kode etik sebagai landasan moral profesi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya pemberitaan pers apabila tidak ada kode etik sebagai rambu-rambu dan landasan perilaku wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Bisa-bisa pemberitaan pers tanpa kode etik itu menjadi anarkis atau bersifat teror yang merugikan dan meresahkan masyarakat. Pers tidak bisa menutup mata dan telinga atas adanya keluhan dalam masyarakat belakangan ini yang mengatakan telah terjadi apa yang mereka sebut “jurnalisme anarki”, “jurnalisme provokasi”, “jurnalisme teror”, “jurnalisme hitam”, “jurnalisme pelintir” dan tidak kurang dari Dr. Roeslan Abdulgani menambah daftar predikat negatif itu dengan sebutan “jurnalisme got”. Yaitu media yang sesukanya terbit serta isinya tidak jelas dan asal-asalan.

Jika kita menyimak kembali catatan sejarah pers nasional serta pemikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh pimpinan nasional sejak Indonesia merdeka, demikian juga tokoh-tokoh pers pendiri PWI tahun 1946, jelas sekali komitmen mereka akan esensi kode etik. Sebab hanya dengan kode etik itulah tugas dan fungsi serta peranan pers dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tapi karena kondisi objektif bangsa dan negara waktu itu yang masih memusatkan segenap pikiran, waktu, tenaga, dan dana yang ada untuk mempertahakan proklamasi kemerdekaan, sekalipun esensi kode etik memang sangat diperlukan, maka belum ada waktu yang cukup untuk merumuskan kode etik jurnalistik tersebut secara formal. Meski demikian, sebenarnya para tokoh pers waktu itu telah memiliki pemahaman dan pengetahuan serta penjiwaan yang dalam akan prinsip-prinsip kode etik.

Apa yang dikemukakan Bang Hatta pada 1954 seperti disampaikan di atas, yaitu apabila surat kabar tidak lagi menjadi “anggota perasaan umum” karena telah memihak kepada kepentingan politik tertentu sehingga media itu menjadi saluran dari sebagian “perasaan umum” menjadi kenyataan dalam perkembangan pers itu sendiri. Sebab, sekalipun tidak persis sama dengan gambaran pers seperti dikemukakan Bang Hatta pada 1954 tersebut, namun Mochtar Lubis, wartawan senior dan pemilik Harian Indonesia Raya di waktu yang lalu menggambarkan sisi lain dari perkembangan pers. Dalam tulisannya yang dimuat dalam buku “Visi Wartawan 45”, diterbitkan Penerbit Media Sejahtera pada 1992, Mochtar Lubis mengeritik etos kerja wartawan yang menurutnya terkena erosi dengan perkembangan perusahaan pers yang mengharuskan mereka melakukan kompromi untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. Wartawan senior itu mengatakan, perkembangan perusahaan pers Indonesia telah menjadi perusahaan conglomerate (mencakup berbagai bidang usaha lain) dan mungkin perusahaan pers itu sendiri menjadi lembaga yang punya vested yang hendak dilindunginya. Apakah dengan perkembangan seperti ini kita masih dapat mempertahankan kedudukan pers Indonesia sebagai pers yang memiliki etos seperti dulu? Padahal etos dan etika profesional yang bermutu tinggi merupakan syarat utama yang harus dihayati oleh pers dan wartawan Indonesia.

Masih erat kaitannya dengan soal etika profesi, Jakob Oetama, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Kompas dalam bukunya “Pers Indonesia Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus”, Penerbit Buku Kompas , Oktober 2001, menggambarkan perihal etika itu sebagai wujud pertanggungjawaban pers. Sebab, menurut tokoh pers yang satu ini pertanggungjawaban pers itu sebenarnya ada dua bagian. Yaitu pertanggungjawaban pers menurut pasal-pasal pidana yang terdapat dalam KUHPidana dan dapat menjerat pers.

Tapi pertanggungjawaban pers yang lain ialah pertanggungjawaban dari dalam, dari wartawan, dari pemilik dan pengelola pers, dari pers sebagai institusi. Pertanggungjawaban dari dalam biasa disebut pertanggungjawaban etika. Jakob Oetama mengutip pendapat John C. Merrill dari Misouri School of Journalism tentang etika yang mengatakan, etika yang bermuka dua, kewajiban terhadap diri sendiri dan kewajiban terhadap orang lain, menunjukkan posisi setiap orang sebagai insan individual dan insan sosial. Sejalan dengan pemikiran itu, kemudian Jakob Oetama menekankan bahwa wartawan menulis untuk orang lain, untuk khalayak pembaca, untuk masyarakat. Wartawan sekaligus menulis untuk diri sendiri. Dalam arti, tulisan ialah juga ekspresi diri, ekspresi diri wartawan. Wartawan mempertaruhkan diri lewat tulisannya. Standar yang ia terapkan dalam proses penulisannya bukan hanya menyangkut orang lain, tetapi sekaligus juga dirinya. Standar diri sang wartawan

Tokoh pers ini lebih lanjut mengatakan, “Dengan sengaja saya beri tekanan pandangan itu, karena dengan demikian amatlah jelas, mengapa wartawan memerlukan etika dalam pekerjaannya. Juga menjadi jelas, bahwa jika hukum datang dari luar, etika datang dari dalam. Dari wartawan, pengelola pers, institusi pers.”

Memang harus diakui, sebagai akibat kurangnya konsistensi wartawan menaati dan melaksanakan ketentuan kode etik dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya, beberapa tahun terakhir makin banyak perkara pers, baik gugatan perdata maupun tuntutan pidana, masuk ke pengadilan. Penyelesaian perkara pers secara hukum sebenarnya wajar-wajar saja, bahkan sangat diperlukan demi kepastian hukum. Namun perlu juga dicatat bahwa pasal-pasal perdata yang terdapat dalam KUHPerdata dan pasal-pasal pidana yang terdapat dalam KUHPidana pada umumnya sudah tergolong usang, tidak relevan lagi diterapkan atau dikenakan terhadap wartawan yang telah merdeka. Sebab perangkat perundang-undangan bidang perdata dan pidana itu diciptakan pemerintah kolonial Belanda sekitar 100 tahun lalu, sehingga banyak di antaranya tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat dan kemerdekaan pers. Masalahnya menjadi makin serius karena pasal-pasal perdata dan pidana yang sangat memberatkan pers tersebut diterapkan secara kaku oleh aparat penegak hukum. Dan sangat memprihatinkan karena terkesan aparat penegak hukum menempatkan dirinya sebagai sekadar “mulut undang-undang” dan “terompet hukum” sedemikian rupa sehingga mendistorsi kebebasan pers. Tidak hanya memakai “kacamata kuda” dalam menerapkan pasal-pasal perdata dan pidana yang tergolong usang itu, aparat penegak hukum pun sering kurang menghargai eksistensi kode etik jurnalistik. Banyak putusan majelis hakim yang sama sekali tidak mempertimbangkan penyajian berita yang telah sesuai dengan standar berita dan kode etik jurnalistik, sehingga sangat memberatkan pers.

Penulis sendiri dalam makalah berjudul “Efektivitas Peran Pers Dalam Menunjang Pemajuan Dan Perlindungan HAM” pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kahakiman dan HAM, 14-18 Juli 2003 di Denpasar, Bali, menyatakan supaya paradigma kriminalisasi atas pemberitaan pers yang dianut KUHPidana warisan pemerintah kolonial Belanda ditinggalkan dengan melakukan dekriminalisasi. Yaitu pencemaran nama baik misalnya tidak lagi dikategorikan sebagai tindak pidana melainkan sebagai perkara perdata. Demikian juga mengenai ancaman hukuman tidak lagi berupa pemenjaraan (hukuman badan), melainkan sanksi pidana denda.

Namun kondisi obyektif penegakan hukum di bidang pers seperti itu tidak perlu menyebabkan wartawan merasa “dihantui” oleh “ranjau-ranjau pers” yang masih terdapat dalam sejumlah ketentuan pidana yang berlaku sekarang. Sebab sekalipun masih terdapat ketentuan hukum yang tergolong usang dan diterapkan secara kaku sehingga dapat mengancam kebebasan pers, tapi apabila pers secara konsekuen dan konsisten menerapkan kode etiknya, maka bukan tidak mungkin jeratan hukum yang telah usang dan mengganggu iklim kebebasan pers itu dapat diminimalisasi melalui pelaksanaan kode etik jurnalistik.

Dalam kaitan ini tepat sekali pendapat pakar hukum pers dan komunikasi, Prof. Dr. H.A.Muis SH dalam bukunya “Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa Menjangkau Era Cybercommunication Milenium Ketiga”, penerbit PT. Dhanu Anuttama 1999, mengatakan bahwa, fungsi kode etik jurnalistik sebenarnya dapat mengamankan pelaksanaan kebebasan dan tanggung jawab sosial pers dari incaran ranjau-ranjau hukum pers jika dilaksanakan dengan baik (dipatuhi). Kode etik jurnalistik mempunyai fungsi sebagai polisi yang dibentuk sendiri oleh pers untuk mencegah ancaman ranjau-ranjau pers. Intervensi negara hanya dapat dicegah sejauh anggota-anggota profesi kewartawanan membentuk sendiri “kepolisian” dan menciptakan sendiri sistem kedisiplinannya.

Hakikat kode etik yang demikian itu sudah barang tentu diketahui dan disadari oleh para wartawan pada umumnya. Namun dalam kenyataannya, terdapat kesan seolah-olah kode etik itu merupakan sesuatu yang given sehingga sering diabaikan atau tidak dijadikan acuan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Para wartawan tentunya per-asumsi mengetahui juga pengertian kode etik itu seperti dikemukakan Dr. Krisna Harahap SH, MH dalam bukunya “Rambu-rambu Di Sekitar Profesi Wartawan” terbitan PT Grafitri Budi Utami, Bandung, 1996. Doktor ilmu hukum dan wartawan ini menjelaskan tentang pengertian etika itu sendiri yang mencakup upaya manusia untuk menilai atau memutuskan suatu perbuatan atau sikap mana yang baik mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar. Dengan kata sehari-hari, kode etik dapat disebut sebagai “kata hati”. Jadi, “kata hati” para wartawan yang tergabung dalam organisasi PWI. Konsekuensinya, sebagai wartawan anggota PWI, setiap wartawan wajib menghayati Kode Etik Jurnalistik PWI, untuk kemudian mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, demikian Dr. Krisna Harahap SH,MA.

Tapi kenyataan dalam praktek, “kata hati” yang telah diikrarkan oleh para wartawan itu sering kurang diperhatikan untuk tidak mengatakan diabaikan. Sebab pengalaman juga mencatat adanya keinginan yang mengatakan bahwa kode etik itu tidak perlu karena hanya memagari wartawan dalam berekspresi. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masih ada yang menamakan dirinya wartawan tapi belum pernah membaca kode etik jurnalistik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wina Armada S.A., SH dalam bukunya “Wajah Hukum Pidana Pers”, Penerbit Pustaka Kartini, Februari 1989 menunjukkan, meski Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI hanya terdiri dari enam pasal, ternyata masih tetap saja ada wartawan yang belum pernah membaca KEJ itu. Perinciannya, 19% belum pernah membaca KEJ, selebihnya 81% sudah membacanya.

Dengan kenyataan tersebut, ditambah kebebasan pers yang sangat liberal dewasa ini, sudah tepat kebijakan yang diambil oleh PWI untuk melakukan seleksi ketat dalam penerimaan anggota. Yaitu harus melampirkan dalam surat pengangkatan menjadi wartawan dari perusahaan pers bersangkutan serta surat pernyataan bermeterai berisikan janji untuk menaati KEJ-PWI dalam formulir permohonan menjadi anggota. Sedangkan bagi wartawan free-lance harus melampirkan rekomendasi dari sekurang-kurangnya dua Pemimpin Redaksi atau Penanggungjawab pemberitaan media.

Selain syarat-syarat dimaksud, juga dilakukan ujian sebelum seseorang diterima menjadi anggota PWI. Ujian ini terutama mengenai KEJ-PWI sehingga tidak ada lagi wartawan yang sama sekali tidak pernah membaca kode etiknya. Kebijakan penerimaan anggota seperti ini, selain akan mengangkat dan mempertahankan kredibilitas organisasi, sekaligus menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang bersangkutan karena secara formal diakui menjalankan profesi kewartawanannya.

Justru dengan perkembangan perusahaan pers yang sudah menjadi industri padat modal dewasa ini, terutama perusahaan media siaran televisi, etos kerja seperti ditekankan oleh wartawan senior Mochtar Lubis serta penaatan akan kode etik jurnalistik menjadi sangat penting. Sebab dengan perkembangan perusahaan pers menjadi industri padat modal, maka para investor yang menanamkan modalnya di bidang usaha pers tentunya mengharapkan imbalan dari modal besar yang diinvestasikan. Akibatnya terjadi pertentangan yang makin tajam antara kepentingan idiil pers di satu pihak dan kepentingan bisnis pers di pihak lain.

Di sinilah etos kerja wartawan dituntut. Dalam arti, dedikasi dan loyalitasnya sebagai wartawan profesional harus dipertahankan dan juga ditingkatkan. Sekaligus dengan etos kerja itu, penaatan kode etik jurnalistik menjadi absolut. Itu berarti jangan sampai demi kepentingan bisnis pers, kode etik profesi dikorbankan atau diabaikan. Sebab, jika demikian halnya, ketentuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatakan pers nasional sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa tidak terpenuhi sekalipun di pihak lain Pasal 3 ayat (2) UU Pers itu mengatakan, pers nasional juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Dengan kedua ketentuan ini, maka harus ada keseimbangan antara kepentingan idiil pers dan kepentingan bisnis pers. Jangan justru sebaliknya kepentingan bisnis pers lebih diutamakan sehingga kepentingan idiil pers yang tercermin dalam kode etik jurnalistik diabaikan.

Masih berkaitan dengan penaatan atas kode etik, dihubungkan dengan perkembangan pers dengan kebebasannya yang sangat liberal dewasa ini, ada kecenderungan yang terlalu mengagungkan pendidikan formal dalam merekrut wartawan, seperti ilmu komunikasi dan publisistik. Seolah-olah pendidikan tinggi bidang komunikasi, misalnya, menjadi jaminan diperolehnya seorang wartawan yang profesional dan bermartabat dalam arti taat pada kode etik jurnalistik. Padahal kesarjanaan seseorang belum merupakan jaminan keberhasilan dalam dunia kewartawanan.

Memang akhir-akhir ini ada kecenderungan perusahaan pers merekrut tenaga wartawan dengan mensyaratkan kesarjanaan semua bidang. Tidak mengherankan apabila kemudian banyak pelamar terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Tapi menurut keterangan yang diperoleh dalam seleksi penerimaan untuk direkrut menjadi wartawan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan pers justru sarjana dari disiplin ilmu eksakta lebih banyak lulus tes dibandingkan sarjana dari disiplin ilmu sosial seperti bidang komunikasi dan publisistik.

Dalam kaitan ini menarik untuk direnungkan pemikiran yang dikemukakan oleh tokoh pers nasional Djamaludin Adinegoro, seperti dimuat dalam buku Melawat ke Barat (1931) yang selanjutnya dikutip dan diuraikan dalam Sketsa Tokoh, Catatan Jakob Oetama di Intisari, Penerbit PT Intisari Mediatama (April 2003). Djamaludin Adinegoro mengatakan, wartawan yang baik seharusnya mempunyai pengetahuan umum yang luas, perhatian astasegi (veelzijdig), pandai menghargai paham lain, penglihatan yang tajam, pertimbangan yang cepat dan punya rasa tanggung jawab yang dalam.

Bagaimana sebenarnya yang ideal bagi perekrutan wartawan? Jakob Oetama dalam bukunya itu mengutip penjelasan almarhum Djamaludin Adinegoro yag didasarkan kepada ajaran guru besarnya Prof. Dr. E. Dofivat sewaktu belajar jurnalistik di Jerman, seorang wartawan harus berbakat. Tetapi bakat saja belum cukup, masih harus dikembangkan.

Lantas Jakob Oetama bertanya, “Benarkah pendapat yang mengatakan: journalist is born not made?”

Tokoh pers yang namanya diabadikan dalam “Hadiah Jurnalistik Adinegoro” oleh PWI itu menjawab: ”Bagi saya, bakat saja belum cukup, masih harus dikembangkan. Tetapi memang benar, kalau dua orang yang satu berbakat, yang lain tidak, sama-sama belajar, maka yang berbakat itu akan mencapai prestasi lebih tinggi.”

Berdasarkan pemikiran ini, maka apabila seseorang akan terjun ke dunia kewartawanan, syarat pendidikan formal srata-1, misalnya tidak menjadi jaminan keberhasilan. Perlu didukung oleh bakat. Selain bakat, sudah barang tentulah dilengkapi dengan profesionalisme. Profesionalisme yang dimaksud di sini tidak hanya menyangkut keterampilan serta keahlian meramu bahan informasi, melainkan juga kemampuan serta penguasaan kode etik jurnalistik disertai kesetiaan dan keikhlasan melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten.

Lebih-lebih mengingat bahwa esensi kode etik merupakan ikrar mereka yang tergabung dalam satu organisasi profesi, dalam hal ini organisasi wartawan, untuk menaati dan melaksanakannya dalam kegiatan jurnalistik sehari-hari. Dengan kata lain, kode etik inilah yang harus menjiwai dan menyemangati setiap wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya sehingga menjadi seorang wartawan profesional yang bermartabat.

Dengan menerapkan kode etik secara seutuhnya berarti wartawan melaksanakan tanggung jawab yang melekat dengan kebebasan pers. Lebih-lebih di negara demokrasi dengan pers yang tergolong liberal, fungsi kode etik menjadi amat penting. Dalam Media Ethics, Cases and Moral Reasoning, Longman New York & London, 1987 pada bagian mengenai News dikatakan bahwa teori demokrasi itu sendiri menempatkan pers dalam peran krusial. Hal itu menandakan bahwa esensi kode etik menjadi sangat penting untuk membentengi wartawan dalam menjalankan fungsinya di negara demokrasi.

Oleh karena itu, tepat sekali pendapat tokoh dunia yang namanya dinobatkan dalam hadiah jurnalistik internasional, Pulitzer . Dalam pengantar buku itu dikatakan, “Joseph Pulitzer worried that without high ethical ideals newspapers would fail as a public servant and even become dangerous”. Ungkapan mana kembali menyadarkan kita akan esensi kode etik dan hanya dengan berpegang kepada kode perilaku itulah wartawan dapat menjadi pelayan publik yang baik dan berhasil.
Urgensi Kode Etik

Ketua Dewan Kehormatan PWI periode 1978-1983, S. Tasrif, SH, dalam makalah pengantar pertemuan/konferensi para tokoh pers, para pemimpin redaksi serta wakil-wakil cabang PWI di Jakarta pada 1-2 Mei 1954 tentang konsepnya mengenai kode etik jurnalistik menggambarkan keadaan pers Indonesia seperti yang dialami pers Amerika Serikat pada abad ke-19 yang berada dalam "The dark age of American journalism". Demikian jugalah keadaan pers Indonesia pada 1950-an mengalami "The dark age of Indonesian journalism", apabila praktek-praktek pers yang bebas tapi tidak bertanggung jawab serta tidak taat terhadap kode etik tetap menghinggapi pers nasional.

Dalam kaitan ini, ada baiknya juga diangkat kembali berbagai pemikiran atau kritik yang dilontarkan oleh tokoh pers dan juga advokat terkenal itu mengenai perilaku para wartawan. Dalam berbagai kesempatan, almarhum S. Tasrif selalu menekankan tanggung jawab wartawan sebagai pembawa kebenaran.

Dalam buku Pers dan Masyarakat terbitan PWI Pusat, Mei 1954, mantan Ketua Peradin itu menegaskan bahwa kejujuran seorang wartawan dalam menyajikan berita-berita adalah esensiil bagi jurnalistik yang sehat dan bertanggung jawab, sebab seorang wartawan yang tidak jujur di dalam pemberitaannya bukan saja melanggar kode jurnalistik tetapi juga dapat dianggap melakukan "geestelijke corruptie" terhadap para pembacanya. Kredo setiap wartawan yang jujur menurut S. Tasrif: "wartawan adalah pengabdi kebenaran" dan "musuh dari pada kebohongan", hendaknya tidak merupakan kata-kata kosong, tetapi harus menjadi darah-daging bagi kita di dalam melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai wartawan. Dan kita tidak mungkin mengabdi kepada kebenaran jika kita tidak berlaku jujur terhadap masyarakat yang kita ladeni dan terhadap diri sendiri.

Tokoh perumus kode etik jurnalistik itu juga mengritisi kode etik yang ada jika dibandingkan dengan kode etik di beberapa negara lainnya. Yaitu bahwa dalam Kode Etik Jurnalistik PWI dia tidak melihat satu kalimat pun yang memperingatkan dengan tegas supaya wartawan-wartawan Indonesia di dalam segala tulisannya mengindahkan perasaan dan pribadi orang lain dan supaya tidak bertindak serampangan di dalam melancarkan tuduhan-tuduhan terhadap orang lain, termasuk rekan-rekannya sendiri.

Karenanya, untuk menggambarkan betapa pentingnya tugas wartawan di satu sisi dan di sisi lain sementara kalangan wartawan cenderung kurang memperhatikan kode etik, S. Tasrif mengatakan, kalau mau dibuat tiang gantungan dalam rangka penegakan hukum atau bagi mereka yang mengkhianati tugasnya, maka tidak cukup "empat tiang gantungan" yaitu untuk para hakim, jaksa, polisi, dan advokat.

Diperlukan paling tidak "lima tiang gantungan" yaitu selain untuk menggantung para hakim, jaksa, polisi dan advokat yang nakal, juga untuk menggantung para wartawan yang mengkhianati profesinya sebagai pembawa kebenaran dan yang menyalahgunakan kepercayaan publik.

Gambaran sosok wartawan yang ideal seperti dikemukakan oleh tokoh pers S.Tasrif tersebut memang relevan dan aktual. Bahkan apa yang dikemukakan oleh mantan Pemimpin Redaksi Harian Abadi (1958), Jakarta itu ada benarnya apabila dikaitkan dengan keluhan kalangan masyarakat yang mengatakan bahwa pers belakangan ini telah mempraktekkan apa yang mereka sebut "jurnalisme provokasi", "jurnalisme anarki", "jurnalisme teror", "jurnalisme preman", "jurnalisme pelintir" dan lain-lain julukan merendahkan.
Citra merendahkan seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Dikatakan demikian karena wartawan memiliki kode etik. Seperti dikemukakan tokoh perumus kode etik jurnalistik itu, kemerdekaan menyatakan pendapat memang merupakan syarat mutlak bagi pers yang merdeka Tetapi kemerdekaan menyatakan pendapat ini juga hendaknya janganlah dipergunakan secara sembrono, tetapi harus dapat membatasi diri dengan berpedoman kepada kode etik profesi.

Kode etik sebagai landasan moral profesi justru makin penting dijadikan pedoman serta acuan dalam era kemerdekaan pers sekarang. Seperti halnya pada 1950-an, di mana kebebasan pers sangat liberal, justru pada era itulah disadari betapa pers perlu dibentengi dengan kode etik. Demikian juga pada era reformasi sekarang, kebebasan pers tergolong sangat liberal seolah tanpa batas, sehingga kemerdekaan pers tersebut melebihi kebebasan pers yang berlaku di negara-negara demokrasi liberal Barat sekalipun.

Sadar akan hal itulah, revitalisasi kode etik menjadi sangat absolut. Artinya, hakikat kode etik jurnalistik di era reformasi sekarang perlu dijiwai seutuhnya untuk kemudian dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.

Sebab, seperti diketahui, kode etik jurnalistik merupakan landasan moral profesi dan rambu-rambu serta kaidah penuntun sekaligus pemberi arah kepada wartawan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tentang apa yang seharusnya tidak dilakukan dalam tugas-tugas jurnalistiknya. Sebagai kode perilaku acuan itu memberikan batasan kepada wartawan tentang buruk-baik dan layak tidaknya sebuah berita.

Dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik PWI ditegaskan, wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang. Dari rumusan itu jelas sekali bahwa kebebasan pers yang kita anut bukan tanpa tanggung jawab. Inilah yang dinamakan free and responsible press.

Dengan demikian, kebebasan pers yang liberal sekalipun harus dipagari oleh rambu-rambu. Atau harus berjalan di dalam koridor yang dibatasi oleh kode etik. Apabila pelaksanaan kebebasan pers itu keluar dari koridor tadi, berarti melanggar rambu-rambu kode etik. Itulah sebabnya sering dikatakan, kalau kita berbicara mengenai batas-batas kebebasan pers, maka yang menjadi ukurannya tidak lain adalah sepanjang tidak melanggar kode etik. Dengan kata lain, kode etik jurnalistik itulah yang menjadi batas kebebasan pers.
Oleh karena itu sebenarnya tidak perlu dipertanyakan apa yang menjadi batasan kebebasan pers. Juga tidak perlu dipersoalkan apa yang menjadi batasan tanggung jawab pers. Sebab semuanya itu bermuara kepada kode etik jurnalistik sebagai landasan moral profesi. Dalam arti, kode etik itulah yang menjadi batas kebebasan pers dan kode etik itu jugalah yang menjadi acuan dan pegangan tanggung jawab wartawan dalam melaksanakan kebebasan pers. Pokoknya, kebebasan pers harus dilaksanakan di atas rel kode etik.

Seperti diketahui, ada tiga kode etik profesi yang diakui secara luas dalam masyarakat. Ketiga kode etik profesi itu adalah kode etik kedokteran, kode etik advokat, dan kode etik wartawan. Memang ada juga beberapa profesi yang memiliki kode etik. Namun yang diakui secara luas dalam masyarakat adalah kode etik ketiga profesi tadi. Pengakuan secara luas dalam masyarakat tersebut sekaligus menuntut tanggung jawab yang besar dari para pengemban profesi, termasuk para wartawan.

Lebih-lebih jika dikaji lebih jauh ternyata pembentuk undang-undang telah memperlakukan kode etik wartawan secara lebih khusus. Ketentuan bersifat normatif dalam kode etik jurnalistik telah diangkat menjadi ketentuan hukum positif, seperti "hak tolak", "hak jawab", dan "hak koreksi". "Hak tolak", misalnya, diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatakan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Kemudian dalam Penjelasan dikatakan, tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Tapi proses pembatalan Hak Tolak tidak dengan sendirinya, dalam arti harus dibentuk majelis hakim tersendiri yang memutuskan apakah perkara yang tengah diperiksa pengadilan itu menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum. Apabila majelis hakim memutuskan bahwa perkara itu menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum, maka gugurlah Hak Tolak wartawan bersangkutan. Dengan kata lain, harus mengungkapkan siapa yang menjadi sumber berita anonim tadi. Sebaliknya, apabila majelis hakim memutuskan bahwa perkara yang tengah diperiksa tidak menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum, maka Hak Tolak wartawan tersebut harus tetap dihormati.

Menurut Prof. Oemar Seno Adji SH dalam bukunya, Pers, Aspek-aspek Hukum, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1974, “hak ingkar” merupakan suatu kekecualian terhadap aturan umum yang memberikan kewajiban hukum kepada setiap orang untuk memberikan keterangan sebagai saksi di muka pengadilan. Bagi kategori-kategori tertentu kewajiban hukum ini tidak diberikan; mereka dibebaskan dari pemberian keterangan sebagai saksi dan para wartawan mengingini kedudukannya dalam salah satu kategori tersebut, yaitu termasuk orang-orang yang karena jabatannya wajib menyimpan rahasia.

Harus diakui bahwa diangkatnya ketentuan normatif atau Hak Tolak menjadi ketentuan hukum positif, jelas merupakan suatu pengecualian terhadap ketentuan umum terutama dalam perkara pidana. Tetapi diangkatnya ketentuan Hak Tolak yang bersumber dari kode etik jurnalistik ini merupakan privelese yang diberikan oleh pembuat undang-undang terhadap wartawan di dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya.

Berkenaan dengan Hak Tolak ini, Pasal 13 Kode Etik Jurnalistik PWI (lazim disingkat KEJ-PWI) mengatakan, wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data, bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.

Memang kode etik profesi lain seperti dokter dan advokat juga mengenal "hak tolak" atau sering juga disebut "hak ingkar". Akan tetapi, menurut keterangan, "hak tolak" tersebut masih terbatas pada doktrin atau ilmu hukum. Kenyataan itu sekali lagi memberi petunjuk betapa "hak tolak" wartawan mendapat perhatian khusus dari pembentuk undang-undang. Lepas dari plus-minus atau untung-rugi serta konsekuensi atas pengakuan hak itu oleh hukum positif bagi pelaksanaan tugas para wartawan.

Sebab ada pendapat yang mengatakan seharusnya ketentuan yang bersifat normatif tidak perlu dimasukkan ke dalam hukum positif. Tetapi pendapat lain mengatakan, dimasukkannya ketentuan normatif tadi ke dalam hukum positif akan lebih memperkuat dasar hukum pelaksanaan tugas wartawan, khususnya menyangkut "hak tolak" dimaksud. Hanya saja, memang sebagai ketentuan hukum maka sanksinya pun dengan sendirinya berubah menjadi sanksi secara hukum. Lain halnya dengan ketentuan yang bersifat normatif, maka sanksi atas pelanggarannya tentunya terbatas secara moral saja.

Masih menyangkut norma etik dan norma hukum ini, anggota Dewan Kehormatan PWI periode 1968-1970, Prof. Oemar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mass Media dan Hukum membedakan secara jelas antara norma etik dan norma hukum. Selain membedakan, pakar hukum pidana dan hukum pers Fakultas Hukum UI tersebut juga menekankan hakikat kode etik. Dikatakan, hukum memang memberi kewenangan-kewenangan, di samping kewajiban-kewajiban
Oleh karena itu, hukum bersifat normatif dan atributif karena hukum bertujuan untuk memberikan suatu "ordening" dari masyarakat. Dalam hal demikian, hukum adalah distinct dari moral yang bertujuan menyempurnakan manusia. Jikalau kehidupan manusia digambarkan memiliki dua aspek, yakni manusia sebagai individu dan manusia sebagai mahluk sosial, maka moral lebih mengenai manusia sebagai individu, sedangkan hukum itu lebih bersangkutan dengan masyarakatnya. Jadi, hukum di satu pihak dan moral di lain pihak berbeda, baik dalam tujuannya maupun dalam isinya. Dengan demikian, moral adalah otonom dan hukum heteronom. Jelaslah bahwa hukum itu adalah normatif dan atributif sifatnya, sedangkan moral normatif belaka karena hanya memberikan kewajiban-kewajiban, demikian kata mantan Ketua Mahkamah Agung RI itu.

Berangkat dari pembedaan seperti itu, guru besar hukum pidana dan hukum pers Fakultas Hukum UI tersebut menegaskan bahwa aturan profesional (professional regulations) tidak memuat aturan hukum tertentu yang heteronoom sifatnya melainkan ia dapat dihubungkan dengan aturan-aturan yang "self-imposed" yang bermaksud menjamin "independence" dari profesi dan mengandung standar etis moral.

Jadi, etik itu umumnya mengandung moral profesi, yang dengan demikian tidak mensyaratkan peraturan "uitwendig" dari manusia, melainkan ia menanyakan "gezindheid"-nya wartawan bersangkutan. Ia tidak mempersoalkan adanya kekuatan luar yang dapat menegaskan kehendaknya terhadap wartawan tersebut, seperti halnya dengan hukum, melainkan mengikat mereka dengan kehendaknya sendiri. Sebagai moral profesi ia adalah otonom sifatnya, berakar pada hati nurani manusianya sendiri dan berasal dari kekuatan di dalamnya sendiri.

Memang antara norma etik dan norma hukum sangat erat kaitannya. Sebab ada hal-hal yang dilarang oleh norma etik juga dilarang oleh norma hukum. Demikian sebaliknya, ada hal-hal yang dilarang oleh norma hukum juga dilarang oleh norma etik. Namun, norma etik dan norma hukum tidak identik. Karena bisa terjadi perbuatan pidana secara hukum dapat dimaafkan, tetapi secara etik tidak.

Contohnya dalam keadaan force majeure atau keadaan darurat dan membela diri mengakibatkan kerugian bagi orang lain, apabila terbukti sah secara hukum melalui pemeriksaan di sidang pengadilan, perbuatan tersebut dapat dimaafkan.

Akan tetapi, bagaimanapun perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain secara etik tidak bisa dimaafkan. Contoh ekstrem yang lazim diberikan, dua orang dalam sebuah sampan di tengah laut tiba-tiba diterpa angin kencang dan ombak besar sehingga salah seorang dari mereka harus dikorbankan untuk menyelamatkan diri.

Secara hukum, perbuatan mengorbankan nyawa orang lain tadi apabila dapat dibuktikan sah secara hukum akibat keadaan darurat atau membela diri, maka perbuatan itu dapat dimaafkan, tetapi secara etik tidak.

Selain masalah kaitan antara norma etik dan norma hukum, dalam kode etik jurnalistik ada dua hakikat atau dapat juga disebut prinsip yang menjadi kekuatan dari ketentuan bersifat normatif tersebut. Yaitu, kode etik dikualifikasi sebagai bersifat personal dan bersifat otonom. Seperti dikemukakan, kedua prinsip tadi sekaligus merupakan kekuatan dari kode etik itu sendiri sehingga memiliki daya paksa untuk melaksanakannya bagi para pengembannya.

Prinsip personal inilah yang perlu dielaborasi lebih lanjut. Mengapa kode etik bersifat personal? Tidak lain karena kode etik itu sendiri dibuat dari, oleh dan untuk para wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi profesi, kemudian mereka berikrar untuk melaksanakan dan menaatinya. Hakikat itu mengandung arti bahwa sebenarnya tidak ada satu pihak pun yang memaksa seorang wartawan untuk menaati kode etiknya. Yang memerintahkan atau yang memaksa wartawan menaati kode etik tidak lain adalah hati nuraninya, mengingat yang menyusun, merumuskan, dan menyepakatinya adalah dirinya sendiri. Itulah sebabnya, dalam Pasal 16 KEJ-PWI ditegaskan, wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa penaatan kode etik jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.

Seperti diketahui, prinsip personal kode etik ini tertuang secara jelas dan tegas dalam KEJ-PWI. Prinsip personal inilah yang menjadi kekuatan KEJ-PWI. Prinsip personal KEJ-PWI tersebut diatur dalam bab tersendiri berjudul: Kekuatan Kode Etik, meskipun rumusannya berbeda dari waktu ke waktu namun esensinya tetap menekankan bahwa penaatan kode etik tergantung pada hati nurani para wartawan. Itulah sebabnya, KEJ-PWI dikatakan bersifat personal.

Sebagai contoh, KEJ-PWI hasil penyempurnaan tahun 1961 mengatakan, “Kode Djurnalistik PWI ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungandjawab tentang penaatan etik djurnalistik pada bahu para wartawan sendiri dan tidak akan mengurangi penegakan hukum oleh jang berwewenang, apabila pelanggaran Kode Djurnalistik PWI ini melampaui batas-batas hukum. Kemudian rumusan tersebut lebih disederhanakan pada penyempurnaan KEJ-PWI tahun 1973 yang berbunyi, Kode Ethiek Jurnalistik Wartawan Indonesia ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungan-jawab tentang penaatannya terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.”

Lebih lanjut pada penyempurnaan KEJ-PWI hasil Kongres XX PWI di Semarang pada 10-11 Oktober 1998, rumusan yang ada sebelumnya diganti dengan menyatakan, wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa penaatan kode etik jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.

Selain prinsip personal tadi, kode etik jurnalistik juga menganut prinsip bersifat otonom seperti dikemukakan di atas. Baik prinsip personal maupun otonom merupakan kekuatan kode etik jurnalistik. Kedua prinsip yang melekat dengan KEJ-PWI tersebut bertolak atau bersumber dari hakikat kode etik itu sendiri yang dibuat oleh, dari, dan untuk para wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi profesi, kemudian berikrar untuk menaati dan melaksanakannya. Demikianlah seharusnya, karena kode etik tersebut disusun dan dirumuskan oleh para wartawan dan kemudian berikrar untuk mengamalkannya. Itu berarti, penaatan atas kode etik bukan karena ada pihak lain di luar diri wartawan bersangkutan yang memerintahkan atau memaksakan penaatan dan pelaksanaannya, melainkan karena kesadaran sendiri sekaligus sebagai konsekuensi dari ikrar untuk menaatinya. Prinsip personal tadi dengan sendirinya pula membawa konsekuensi. Yaitu, sebagai akibat bahwa kode etik dibuat oleh, dari, dan untuk para wartawan yang kemudian berikrar untuk menaatinya sehingga bersifat otonom, maka dengan sendirinya yang memutuskan telah terjadi pelanggaran atas kode etik serta penetapan sanksi atas pelanggaran tersebut sepenuhnya menjadi wewenang organisasi profesi.
Atas dasar itulah dikatakan kode etik bersifat otonom. Jadi, yang mengawasi, memonitor serta memeriksa atau mengadili ada tidaknya pelanggaran kode etik sepenuhnya menjadi wewenang organisasi. Demikian juga yang menetapkan sanksi atas pelanggaran tersebut adalah hak organisasi.

Kewenangan ini diatur dengan jelas dan tegas dalam Pasal 17 KEJ-PWI yang mengatakan, wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI. Tidak satu pihak pun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini. Berdasarkan prinsip personal dan otonom inilah sudah sejak semula tokoh pers nasional menyatakan sikap bahwa kode etik jurnalistik tidak dapat digunakan pihak lain untuk menghukum pers.

Dan sebagai konsekuensi dari prinsip personal dan otonom itu, PWI melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dalam Peraturan Dasar PWI (PD-PWI) mengenai keanggotaan Dewan Kehormatan PWI. Seperti diketahui, sejak semula yang menjadi anggota Dewan Kehormatan PWI adalah tokoh-tokoh masyarakat atau kombinasi tokoh masyarakat dan wartawan anggota PWI. Akan tetapi dalam Kongres XX PWI di Semarang, Jawa Tengah pada 10-11 Oktober 1998, komposisi keanggotaan Dewan Kehormatan tersebut diubah. Dalam Pasal 21 ayat (4) PD-PWI ditetapkan, yang menjadi anggota DK-PWI dan DKD-PWI adalah sekurang-kurangnya sudah lima tahun menjadi anggota PWI. Itu berarti, yang menjadi anggota DK-PWI seluruhnya terdiri dari para wartawan, tidak ada lagi yang mewakili tokoh masyarakat.

Padahal tadinya dalam sejarah keanggotaan DK-PWI pada umumnya terdiri dari tokoh masyarakat. Sebagai contoh, keanggotaan DK-PWI untuk pertama kali tahun 1952 praktis terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat seperti H. Agus Salim, Mr. Moh. Natsir, Prof. Dr. Soepomo dan Roeslan Abdulgani. Dan dalam DK-PWI periode berikutnya banyak tokoh masyarakat duduk di dalamnya seperti Prof. Oemar Seno Adji, Soedjarwo Tjondronegoro, SH, Manai Sophiaan, Ali Alatas SH, Prof. Padmo Wahjono, Dr. M. Alwi Dahlan, H. Soekarno, SH, Prof. Dr. Zakiah Daradjat. H. Boediardjo, Prof. Dr. Ihromi MA, Prof. Dr. H. Loebby Loqman, SH, Dr. A. Alatas Fahmi, Dra. Ina Ratna Mariani MA, Dr. Din Syamsuddin.

Barulah pada Kongres XVIII PWI di Samarinda, Kalimantan Timur tahun 1988 untuk pertama kalinya dua orang anggota PWI aktif menjadi anggota DK-PWI secara kelembagaan yaitu Drs. Djafar H. Assegaff sebagai ketua dan R.H. Siregar, SH sebagai sekretaris. Kombinasi antara tokoh masyarakat dan anggota PWI dalam komposisi keanggotaan DK-PWI berlanjut hingga Kongres XIX PWI di Lampung pada 1993. Tetapi dalam Kongres XX PWI di Semarang 1998, diadakan perubahan terhadap PD-PWI dan ditetapkan bahwa yang menjadi anggota DK-PWI semuanya terdiri dari anggota PWI. Dengan kata lain, sejak Kongres XX itu tidak ada lagi anggota DK-PWI yang mewakili unsur masyarakat.

Dalam Pasal 21 ayat (4) PD-PWI ditegaskan, Anggota Dewan Kehormatan maupun Anggota Dewan Kehormatan Daerah adalah wartawan yang telah berusia 40 tahun dan sudah menjadi anggota PWI sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Sedangkan ketentuan sebelumnya tidak mensyaratkan keanggotaan PWI. Jadi, siapa saja warga negara RI, berdomisili di Indonesia dan berumur sekurang-kurangnya 40 tahun serta yang mempunyai keahlian, menaruh minat dan berjasa terhadap perkembangan pers nasional serta menghormati dan mengakui Kode Etik Jurnalistik PWI, dapat dipilih menjadi anggota Dewan

1 komentar:

  1. "Hi!..
    Greetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
    visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
    Ejurnalism

    BalasHapus