45. Ketangkap karena Ketawa
Kita, mungkin pernah mendengar atau
membaca kalimat-kalimat yang mirip dengan contoh berikut ini.
(a)
Alimun
ketangkap basah ketika mencuri sepeda motor di tempat parkir.
(b)
Imam
Samudra tertangkap polisi di pelabuhan Merak.
(c)
Gus Dur
dengan mudahnya memancing ketawa banyak orang.
(d)
Anekdot
yang lucu biasanya membuat orang tertawa terbahak-bahak.
Dalam kalimat-kalimat di atas kita temukan
kata ketangkap, tertangkap, ketawa, dan tertawa. Pasangan bentuk ketangkap dan
tertangkap dapat diduga muncul sebagai hasil analogi pasangan bentuk ketawa dan
tertawa. Bentuk analogi lain terhadap bentuk ketawa dan tertawa ini adalah
kepotong-terpotong; kebawa-terbawa; kesentuh-tersentuh; kebaca-terbaca, dan
sebagainya. Pasangan-pasangan itu mengikuti pola yang sama yakni kata
berimbuhan ke- dan ter-. Imbuhan ke- bermakna menyatakan
hal yang sifatnya spontan (misalnya bentuk ketawa) dan imbuhan ter- bermakna (1) menyatakan hal yang sifatnya spontan
(misalnya: teringat, terkejut (2) menyatakan aspek perfektif, sesuatu ‘sudah
di-’ (tertulis, terkenal, terhunus,
terbunuh) (3) menyatakan kesanggupan
atau ‘dapat di-’ (terangkat, terlihat, terbaca) (4) menyatakan tempat
(terpojok, terpinggir, tertulang) (5) menyatakan tak sengaja
(terbawa, terinjak, terpakai).
Masalah yang perlu mendapat penjelasan
perihal penggunaan kata bentukan dengan imbuhan ke- dan ter-
adalah soal keberterimaan atau kelaziman penggunaan bentuk-bentuk itu.
Keberterimaan yang dimaksud berpautan dengan ketaatasasan pada kaidah
pembetukan kata yang pada gilirannya menyentuh tataran sinkasis (penggunaannya
dalam kalimat) dan semantik (makna). Untuk itu kita perlu memahami terlebih dahulu
penggunaan bentuk ketawa dan tertawa sebagai dasar pemebentukan analogi untuk
kata lain yang disebutkan di atas.
Bentuk ‘ketawa’ dan ‘tertawa’ adalah dua
bentuk yang bersaing dalam penggunaannya. Dua bentuk itu, sama-sama
dikategorikan sebagai kata bentukan atau kata jadian karena kedua kata itu
dibentuk atau dijadikan melalui proses morfologis (afiksisasi ke- dan ter-)
pada bentuk dasar ‘tawa’. Selanjutnya, kata ketawa dan tertawa menjadi dasar
pembentukan kata menertawakan, menertawai, ditertawakan, dan ditertawai;
mengetawakan, mengetawai, diketawakan, dan diketawai.
Kalau diamati, bentuk dasar tawa itu hanya
terdapat pada tertawa dan ketawa. Meskipun ada bentukan tertawa dan ketawa
tidak ada bentukan *menawakan, *menawai, *ditawakan, dan *ditawai. Berbeda misalnya dengan kata dasar desak yang
dapat dibentuk menjadi mendesak, mendesakkan, mendesaki, didesak, terdesak, dan
sebagainya. Kalau tertawa dan ketawa
dapat dibentuk menjadi menertawakan dan mengetawakan, menertawai dan
mengetawai, tidak demikian halnya dengan terdesak. Tidak ada bentuk menerdesakkan atau
menerdesaki'.
Keunikan bentuk menertawakan dan
ditertawakan ialah adanya afiks meN- atau di- yang ditambahkan
pada kata yang sudah berafiks ter-.
Afiks meN-, ber-, di-, ter-, biasanya tidak
terdapat dalam satu kata bentukan (kata telah mendapat imbuhan seperti kata
tertawa sebagai kata bentukan dari ter- dan tawa). Kata menertawakan dan dimengerti
dalam bahasa Indonesia dikategorikan
sebagai bentukan yang unik karena afiks meN-, dan ter-,
dan di- dan meN- yang menurut kaidah tidak dibenarkan untuk
muncul bersama itu, dalam kedua bentukan itu justru hadir bersama-sama. Hal itu terjadi karena orang tidak lagi
menyadari bahwa kata ‘tertawa’ itu kata bentukan yang berasal dari tawa
yang mendapat afiks ter-, dan kata ‘mengerti’ tidak disadari
sebagai kata bentukan yang berasal dari bentuk erti (arti) ditambah
awalan meN-. Orang memperlakukan kata tertawa dan mengerti sebagai kata
dasar sehingga muncullah bentuk menertawakan, menertawai, ditertawakan,
ditertawai; dan dimengerti atau dimengertikan.
Lalu
manakah yang betul, tertawa atau ketawa?
Menertawai, menertawakan, ditertawai, ditertawakan; atau mengetawai,
mengetawakan, diketawai, diketawakan?
Lalu bagaimana dengan penggunaan kata berafiks ke-seperti dalam pasangan
kata kepotong-terpotong; kebawa-terbawa; kesentuh-tersentuh; kebaca-terbaca
tersebut di atas?
Untuk
menjawab persoalan ini kita harus memahami konsep interferensi dalam berbahasa.
Interferensi (Interference) adalah penggunaan unsur bahasa (struktur,
pola, dialek) oleh bahasawan yang bilingual secara individual ke dalam bahasa
lainnya. Contoh, seorang pemakai bahasa Indonesia belajar bahasa Inggris ketika
diminta untuk menerjemahkan kalimat “Ayahku seorang guru” ia menerjemahkannya
menjadi “*My father a teacher”. Pada bentuk terjemahannya salah karena
pola dan struktur bahasa Indonesia diterapkan pada pola dan struktur bahasa
Inggris. Bahasa Inggris menuntuk kehadiran kata kerja to be (is).
Sebaliknya, seorang Inggris yang baru belajar bahasa Indonesia, ketika harus
menerjemahkan kalimat bahasa Inggris “My father is a teacher” ke dalam
bahasa Indonesia muncul kalimat “*Ayahku adalah seorang guru”. Pemakaian
kata adalah di sini salah karena bahasa Indonesia tidak menuntut kehadiran kata
kerja to be (is). Kesalahan seperti inilah yang disebut sebagai
interferensi bahasa. Interferensi bahasa dapat disederhanakan dengan istilah
kekacauan berbahasa atau saling pengaruh bahasa pada diri penutur atau pengguna
sebuah bahasa.
Masalah
bentuk kata berafiks ke- dan ter- pada contoh di atas dapat
dijelaskan dalam konteks interferensi ini. Karena pengaruh bahasa Jawa, awalan ter-
sering diganti dengan ke-, terpukul menjadi kepukul, terpotong menjadi
kepotong, tertangkap menjadi ketangkap.
Untuk menyatakan pengertian pasif, tidak disengaja, atau spontan,
tiba-tiba, dalam bahasa Indonesia digunakan afiks ter-. Karena itu,
bentuk yang benar itu terpukul bukan kepukul, tertangkap bukan ketangkap;
terpotong bukan kepotong. Jadi, ketawa, mengetawakan, mengetawai, diketawakan,
diketawai tidak benar. Yang benar adalah bentuk tertawa, menertawakan,
menertawai, ditertawakan, dan ditertawai. Kalau kita membuat kalimat dengan
menggunakan bentuk ke- yang seharusnya menggunakan bentuk ter-,
maka itu artinya kita tertangkap karena melakukan kesalahan dan bukan tidak
mungkin kita ditertawakan.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar