Sabtu, 09 Juni 2012

Standardisasi dan Standarisasi



36. Standardisasi dan Standarisasi

Dalam berbahasa Indonesia, kadang-kadang kita merasa kesulitan untuk menentukan manakah sebenarnya bentuk kata yang harus dipilih bila menghadapi bentuk kata yang kembar dua atau tiga.  Memang tidak sedikit kata yang ada di dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk lebih dari satu.  Dapat kita ambil sebagai contoh kata-kata sebagai berikut ijasah-ijazah; insidentil-insidental; kantong-kantung; lobang-lubang; kidmat-khidmat; dll. Dari pasangan itu sebenarnya hanya ada satu bentuk yang benar/baku.  Akan tetapi di balik itu, kita pun harus ingat pula bahwa di dalam bahasa Indonesia ada beberapa bentuk kata yang tampaknya kem­bar namun ternyata makna yang dikandung setiap kata berbeda.  Dalam hal ini dapat ditampilkan contoh kata-kata seperti syah dan sah, folio dan polio juga kata khas dan kas serta zeni dan seni. Bila pemakai bahasa bertaat asas pada kaidah yang ada, maka sebenarnya bentuk kembar, dapat kita hindari pemakaiannya. Akan tetapi, karena pemakai bahasa cenderung beranalogi pada bentuk kata yang sudah ada, tidak jarang terjadi pemakai terjebak untuk memilih bentuk kata yang tidak sesuai dengan kaidah yang ada.  Contoh untuk ini dapat kita ambil kata standarisasi dan standardisasi. Berkaitan dengan pemilihan kata ini tidak hanya terbatas pada masalah pemilihan kata dari dua, bentuk saja, melainkan juga menyangkut masa­lah sikap kita dalam berbahasa.
Sebagai akibat pengaruh bahasa asing dalam bahasa Indonesia, cukup banyak kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya adalah kata standarisasi atau standardisasi.  Akhiran -isasi dijumpai pada kata-kata bentukan seperti spesialisasi, modemisasi, liberalisasi, dan netralisasi.  Kata-kata tersebut dapat diban­dingkan dengan kata-kata dalam bahasa Belanda specialisatie, modemi­satie, liberalisatie, neutralisatie.  Dari perbandingan ini jelas bahwa kata­-kata itu mengacu pada bahasa Belanda.   Dalam bahasa Inggris kata-kata tersebut adalah specialization, modernization, liberalition, dan neutralization.  Bila kita banding­kan kedua bahasa tersebut, jelas bahasa Belandalah yang kita jadikan acuan.  Dengan beranalogi pada kata-kata tersebut dapat dikatakan bahwa kata standarisasi/standardisasi mengacu kepada bahasa Belanda standaidisatie.
  Persoalan, manakah yang harus dipilih dari dua bentuk standarisasi dan standardisasi. Untuk menjawab pertanyaan ini, harus kembali pada  bagaimanakah proses penyerapan kata tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Dilihat dari aspek etimologi, jelas bahwa kata tersebut dibentuk dari kata standard yang kemudian mendapatkan akhiran -isatie.  Orang lalu menduga bahwa bentuk tersebut bila diserap ke dalam bahasa Indonesia akan muncul anggapan; bentuk standarisasi itulah yang benar.  Kata standard sebagai bentuk dasar dari bahasa asalnya diserap menjadi standar, dan akhiran -isatie diserap menjadi -isasi. Dengan demikian kita dapati bentuk standarisasi. Sepintas  argumentasi ini memang meyakinkan dan mudah dipahami oleh khalayak tetapi, sebenarnya justru cara berpikir semacam inilah yang perlu dihindari.
Menyerap kata bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia itu pada hakikatnya secara utuh.  Kata standardisasi itu sebenarnya juga diserap secara utuh dan bukan dari kata standard, yang kemudian menjadi standar, dan akhiran -isatie kita serap menjadi isasi seperti dikatakan di atas. Penyerapan kata standardisatie menjadi standardisasi ini sejalan  dengan kaidah EYD seperti dicantumkan dalam Tata Bahasa Baku bahasa Indonesia, 1993  hlm. 403 yang disunting Anton M.Moeliono.
Sekadar perbandingan kita analisis kata objective yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi objektif.  Bila jalan penalaran kita seperti pada pembentukan kata standa­risasi, maka bentuk yang kita jadikan sebagai pilihan bukan objektif melainkan *objekif.  Mengapa harus bentuk objekif? Jawabannya karena kata objective dalam bahasa asalnya berasal object dan akhiran -iveKata object  diserap menjadi objek dan akhiran -ive kita serap menjadi -if. (Periksa: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 1993:405). Kenyataannya, sampai sekarang tidak dijum­pai  bentuk *objekif. Yang ada hanya kata objektif. Minimal  itu pengetahuan umum untuk kita semua.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar