36. Standardisasi dan Standarisasi
Dalam berbahasa Indonesia, kadang-kadang kita merasa kesulitan untuk
menentukan manakah sebenarnya bentuk kata yang harus dipilih bila menghadapi
bentuk kata yang kembar dua atau tiga. Memang
tidak sedikit kata yang ada di dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk lebih
dari satu. Dapat kita ambil sebagai
contoh kata-kata sebagai berikut ijasah-ijazah; insidentil-insidental;
kantong-kantung; lobang-lubang; kidmat-khidmat; dll. Dari pasangan itu
sebenarnya hanya ada satu bentuk yang benar/baku. Akan tetapi di balik itu, kita pun harus
ingat pula bahwa di dalam bahasa Indonesia ada beberapa bentuk kata yang
tampaknya kembar namun ternyata makna yang dikandung setiap kata berbeda. Dalam hal ini dapat ditampilkan contoh
kata-kata seperti syah dan sah, folio dan polio juga kata khas
dan kas serta zeni dan seni. Bila pemakai bahasa bertaat asas pada kaidah
yang ada, maka sebenarnya bentuk kembar, dapat kita hindari pemakaiannya. Akan
tetapi, karena pemakai bahasa cenderung beranalogi pada bentuk kata yang sudah
ada, tidak jarang terjadi pemakai terjebak untuk memilih bentuk kata yang tidak
sesuai dengan kaidah yang ada. Contoh untuk ini dapat kita ambil kata standarisasi dan
standardisasi. Berkaitan dengan pemilihan kata ini tidak hanya terbatas
pada masalah pemilihan kata dari dua, bentuk saja, melainkan juga menyangkut
masalah sikap kita dalam berbahasa.
Sebagai akibat pengaruh bahasa asing dalam bahasa
Indonesia, cukup banyak kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, di
antaranya adalah kata standarisasi atau standardisasi. Akhiran
-isasi dijumpai pada kata-kata bentukan seperti spesialisasi,
modemisasi, liberalisasi, dan netralisasi. Kata-kata tersebut dapat dibandingkan
dengan kata-kata dalam bahasa Belanda specialisatie, modemisatie,
liberalisatie, neutralisatie. Dari
perbandingan ini jelas bahwa kata-kata itu mengacu pada bahasa Belanda. Dalam bahasa Inggris kata-kata tersebut
adalah specialization, modernization, liberalition, dan
neutralization. Bila kita bandingkan
kedua bahasa tersebut, jelas bahasa Belandalah yang kita jadikan acuan. Dengan beranalogi pada kata-kata tersebut
dapat dikatakan bahwa kata standarisasi/standardisasi mengacu kepada
bahasa Belanda standaidisatie.
Persoalan, manakah yang harus dipilih dari dua bentuk standarisasi
dan standardisasi. Untuk menjawab pertanyaan ini, harus kembali
pada bagaimanakah proses penyerapan kata
tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Dilihat dari aspek etimologi, jelas bahwa kata tersebut
dibentuk dari kata standard yang kemudian mendapatkan akhiran -isatie. Orang lalu menduga bahwa bentuk tersebut
bila diserap ke dalam bahasa Indonesia akan muncul anggapan; bentuk
standarisasi itulah yang benar. Kata standard
sebagai bentuk dasar dari bahasa asalnya diserap menjadi standar, dan
akhiran -isatie diserap menjadi -isasi. Dengan demikian kita
dapati bentuk standarisasi. Sepintas
argumentasi ini memang meyakinkan dan mudah dipahami oleh khalayak
tetapi, sebenarnya justru cara berpikir semacam inilah yang perlu dihindari.
Menyerap kata bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia
itu pada hakikatnya secara utuh. Kata standardisasi itu sebenarnya juga diserap secara utuh dan bukan dari
kata standard, yang kemudian menjadi standar, dan akhiran -isatie
kita serap menjadi isasi seperti dikatakan di atas. Penyerapan kata standardisatie
menjadi standardisasi ini sejalan
dengan kaidah EYD seperti dicantumkan dalam Tata Bahasa Baku bahasa
Indonesia, 1993 hlm. 403 yang
disunting Anton M.Moeliono.
Sekadar perbandingan kita analisis kata objective yang diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi objektif.
Bila jalan penalaran kita seperti pada pembentukan kata standarisasi,
maka bentuk yang kita jadikan sebagai pilihan bukan objektif
melainkan *objekif. Mengapa harus
bentuk objekif? Jawabannya karena kata objective dalam bahasa
asalnya berasal object dan akhiran -ive. Kata object diserap menjadi objek dan akhiran
-ive kita serap menjadi -if. (Periksa: Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia, 1993:405). Kenyataannya, sampai sekarang tidak dijumpai bentuk *objekif. Yang ada hanya kata objektif.
Minimal itu pengetahuan umum untuk
kita semua.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar