Selasa, 26 Juni 2012

Ketangkap karena Ketawa



45. Ketangkap karena Ketawa


Kita, mungkin pernah mendengar atau membaca kalimat-kalimat yang mirip dengan contoh berikut ini.
(a)   Alimun ketangkap basah ketika mencuri sepeda motor di tempat parkir.
(b)   Imam Samudra tertangkap polisi di pelabuhan Merak.
(c)    Gus Dur dengan mudahnya memancing ketawa banyak orang.
(d)   Anekdot yang lucu biasanya membuat orang tertawa terbahak-bahak.
Dalam kalimat-kalimat di atas kita temukan kata ketangkap, tertangkap, ketawa, dan tertawa. Pasangan bentuk ketangkap dan tertangkap dapat diduga muncul sebagai hasil analogi pasangan bentuk ketawa dan tertawa. Bentuk analogi lain terhadap bentuk ketawa dan tertawa ini adalah kepotong-terpotong; kebawa-terbawa; kesentuh-tersentuh; kebaca-terbaca, dan sebagainya. Pasangan-pasangan itu mengikuti pola yang sama yakni kata berimbuhan ke- dan ter-. Imbuhan ke- bermakna menyatakan hal yang sifatnya spontan (misalnya bentuk ketawa) dan imbuhan ter-  bermakna (1) menyatakan hal yang sifatnya spontan (misalnya: teringat, terkejut (2) menyatakan aspek perfektif, sesuatu ‘sudah di-’  (tertulis, terkenal, terhunus, terbunuh) (3) menyatakan kesanggupan  atau ‘dapat di-’ (terangkat, terlihat, terbaca) (4) menyatakan tempat (terpojok, terpinggir, tertulang) (5) menyatakan tak sengaja (terbawa, terinjak, terpakai).
Masalah yang perlu mendapat penjelasan perihal penggunaan kata bentukan dengan imbuhan ke- dan ter- adalah soal keberterimaan atau kelaziman penggunaan bentuk-bentuk itu. Keberterimaan yang dimaksud berpautan dengan ketaatasasan pada kaidah pembetukan kata yang pada gilirannya menyentuh tataran sinkasis (penggunaannya dalam kalimat) dan semantik (makna). Untuk itu kita perlu memahami terlebih dahulu penggunaan bentuk ketawa dan tertawa sebagai dasar pemebentukan analogi untuk kata lain yang disebutkan di atas.
Bentuk ‘ketawa’ dan ‘tertawa’ adalah dua bentuk yang bersaing dalam penggunaannya. Dua bentuk itu, sama-sama dikategorikan sebagai kata bentukan atau kata jadian karena kedua kata itu dibentuk atau dijadikan melalui proses morfologis (afiksisasi ke- dan ter-) pada bentuk dasar ‘tawa’. Selanjutnya, kata ketawa dan tertawa menjadi dasar pembentukan kata menertawakan, menertawai, ditertawakan, dan ditertawai; mengetawakan, mengetawai, diketawakan, dan diketawai.
Kalau diamati, bentuk dasar tawa itu hanya terdapat pada tertawa dan ketawa. Meskipun ada bentukan tertawa dan ketawa tidak ada bentukan *menawakan, *menawai, *ditawakan, dan *ditawai.  Berbeda misalnya dengan kata dasar desak yang dapat dibentuk menjadi mendesak, mendesakkan, mendesaki, didesak, terdesak, dan sebagainya.  Kalau tertawa dan ketawa dapat dibentuk menjadi menertawakan dan mengetawakan, menertawai dan mengetawai, tidak demikian halnya dengan terdesak.  Tidak ada bentuk menerdesakkan atau menerdesaki'.
Keunikan bentuk menertawakan dan ditertawakan ialah adanya afiks meN- atau di- yang ditambahkan pada kata yang sudah berafiks ter-.  Afiks meN-, ber-, di-, ter-, biasanya tidak terdapat dalam satu kata bentukan (kata telah mendapat imbuhan seperti kata tertawa sebagai kata bentukan dari ter- dan tawa).  Kata menertawakan dan dimengerti dalam bahasa Indonesia  dikategorikan sebagai bentukan yang unik karena afiks meN-, dan ter-, dan di- dan meN- yang menurut kaidah tidak dibenarkan untuk muncul bersama itu, dalam kedua bentukan itu justru hadir bersama-sama.  Hal itu terjadi karena orang tidak lagi menyadari bahwa kata ‘tertawa’ itu kata bentukan yang berasal dari tawa yang mendapat afiks ter-, dan kata ‘mengerti’ tidak disadari sebagai kata bentukan yang berasal dari bentuk erti (arti) ditambah awalan meN-. Orang memperlakukan kata tertawa dan mengerti sebagai kata dasar sehingga muncullah bentuk menertawakan, menertawai, ditertawakan, ditertawai; dan dimengerti atau dimengertikan.
Lalu manakah yang betul, tertawa atau ketawa?  Menertawai, menertawakan, ditertawai, ditertawakan; atau mengetawai, mengetawakan, diketawai, diketawakan?  Lalu bagaimana dengan penggunaan kata berafiks ke-seperti dalam pasangan kata kepotong-terpotong; kebawa-terbawa; kesentuh-tersentuh; kebaca-terbaca tersebut di atas?
Untuk menjawab persoalan ini kita harus memahami konsep interferensi dalam berbahasa. Interferensi (Interference) adalah penggunaan unsur bahasa (struktur, pola, dialek) oleh bahasawan yang bilingual secara individual ke dalam bahasa lainnya. Contoh, seorang pemakai bahasa Indonesia belajar bahasa Inggris ketika diminta untuk menerjemahkan kalimat “Ayahku seorang guru” ia menerjemahkannya menjadi “*My father a teacher”. Pada bentuk terjemahannya salah karena pola dan struktur bahasa Indonesia diterapkan pada pola dan struktur bahasa Inggris. Bahasa Inggris menuntuk kehadiran kata kerja to be (is). Sebaliknya, seorang Inggris yang baru belajar bahasa Indonesia, ketika harus menerjemahkan kalimat bahasa Inggris “My father is a teacher” ke dalam bahasa Indonesia muncul kalimat “*Ayahku adalah seorang guru”. Pemakaian kata adalah di sini salah karena bahasa Indonesia tidak menuntut kehadiran kata kerja to be (is). Kesalahan seperti inilah yang disebut sebagai interferensi bahasa. Interferensi bahasa dapat disederhanakan dengan istilah kekacauan berbahasa atau saling pengaruh bahasa pada diri penutur atau pengguna sebuah bahasa.
Masalah bentuk kata berafiks ke- dan ter- pada contoh di atas dapat dijelaskan dalam konteks interferensi ini. Karena pengaruh bahasa Jawa, awalan ter- sering diganti dengan ke-, terpukul menjadi kepukul, terpotong menjadi kepotong, tertangkap menjadi ketangkap.  Untuk menyatakan pengertian pasif, tidak disengaja, atau spontan, tiba-tiba, dalam bahasa Indonesia digunakan afiks ter-. Karena itu, bentuk yang benar itu terpukul bukan kepukul, tertangkap bukan ketangkap; terpotong bukan kepotong. Jadi, ketawa, mengetawakan, mengetawai, diketawakan, diketawai tidak benar. Yang benar adalah bentuk tertawa, menertawakan, menertawai, ditertawakan, dan ditertawai. Kalau kita membuat kalimat dengan menggunakan bentuk ke- yang seharusnya menggunakan bentuk ter-, maka itu artinya kita tertangkap karena melakukan kesalahan dan bukan tidak mungkin kita ditertawakan.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar