Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen Wiro Seledri



Wiro Seledri



Berita lelayu yang diumumkan mesjid desa sesudah shalat subuh, mengejutkan saya. Mbah Prawiro meninggal dunia, padahal 3 hari yang lalu saya masih menjumpainya saat bersama ta’ziah di tetangga dekat rumah yang meninggal.
Bergegas saya menuju tempat tinggalnya. Setibanya di gubugnya, terlihat tidak banyak orang yang melayat. Hanya ketua RT setempat, beberapa hansip, pengurus mesjid, dan seorang polisi. Mbah Prawiro terbaring di atas ranjang bambu beralaskan tikar pandan yang sudah lusuh, diselubungi selembar kain batik. Di dalam ruangan yang cuma 3×4 meter yang sekaligus sebagai rumah tinggal dan dapur, di sekelilingnya teronggok kompor minyak tanah, periuk nasi, panci aluminium, dan dua buah cangkir dan piring kaleng.
Pak Min, penjaga palang rel kereta api mengisahkan, tadi sehabis shalat subuh, mbah Wiro, begitu biasa dipanggil namanya, berjalan pulang seperti biasanya lewat sepanjang rel kereta. Waktu itu adalah saatnya kereta dari Jakarta menuju Solo Balapan akan lewat. Sementara dia menutup palang rel kereta, dari sinar lampu kereta yang datang terlihat bayangan mbah Wiro yang masih berjalan di tengah rel. Pak Min berusaha mengejar sambil berteriak memanggilnya, tetapi mbah Wiro semakin cepat melangkah sambil mengucapkan Allahu Akbar dan merentangkan tangan. Dan terjadilah, mbah Wiro terpental ke sawah di samping rel.
”Tidak banyak lukanya, hanya di dada dan kedua kaki patah” jelas pak Min.
***
Sebetulnya belumlah bisa disebut rumah karena masih berupa gubug bambu beratap rumbia tak jauh dari rel kereta, seluas tak lebih dari 12 meter persegi, dengan secuil tanah sekeliling teritisannya dipenuhi tanaman sayur seledri yang rimbun, adalah tempat tinggal mbah Wiro yang telah dihuninya lebih 10 tahun. Dengan penghuninya yang sepertinya menyimpan misteri ini, sangat menarik perhatian dan keingintahuan saya.
Konon mbah Wiro adalah eks tahanan politik yang telah belasan tahun mendekam di tanah buangan jauh di belahan timur negeri ini. Usianya mungkin hampir 80 tahun. Setiap kali, dengan tertatih-tatih berjalan sambil membawa segepok sayur seledri untuk di jual ke pasar. Inilah kemudian yang mebuatnya disebut juga mbah Wiro Seledri.
Pertama kali saya berjumpa mbah Wiro, sewaktu berta’ziah seorang kerabat yang meninggal beberapa tahun lalu. Saya perhatikan, sementara jenasah sedang dishalatkan, dia duduk menyendiri, dengan mata rapat terpejam, kedua tangan dalam sikap mau shalat, nafas hampir tak terdengar. Kemudian ketika jenasah dimasukkan ke liang lahat, dia pun berhal demikian. Ternyata beberapa kali, setiap kali ada warga yang meninggal, saya menjumpai hal yang sama, sehingga mengusik hati dan penasaran untuk ingin tahu, apa sebenarnya yang dia lakukan.
Dari pak lurah, saya dengar bahwa mbah Wiro memang rajin melayat siapapun warga yang meninggal, kenal maupun tidak kenal. Sehingga kadang orang mencibir, itu kan hanya mencari suguhan teh dan sepotong kue dari keluarga yang berduka. Tetapi warga desa kami jarang mengadakan suguhan seperti itu. Kalaupun ada saya lihat mbah Wiro tidak menyentuhnya. Ini yang mendorong saya makin ingin tahu tentang dia.
Kesempatan itu datang saat ada acara pemakaman di desa sebelah. Kami pulang bersama meniti pematang. Secara tidak langsung saya bertanya tentang doa untuk orang meninggal. Dia menatap saya agak lama, sepertinya ingin mengatakan, ”Kan kamu sendiri sudah tahu!”
”Begini nak mas, saya berdoa untuk yang meninggal dan untuk saya sendiri,” jelasnya, ”Saya berbuat seperti yang nak mas perhatikan, karena dalam kegelapan mata terpejam kita bisa lebih banyak melihat.”
Saya terperangah sejenak.
“Maksudnya mbah.”
Dia hanya tersenyum dan bergegas menuju gubugnya.
Ah, gila rasanya dengan semakin besar keingintahuan saya akan misteri orang sepuh ini. Saya pun jadi rajin mendatangi acara pemakaman siapa saja untuk bertemu mbah Wiro. Mungkin teman-teman saya sudah menganggap saya ini pengikut ajaran mbah Wiro. Waktu saya tanyakan dalam kegelapan apa yang ingin mbah Wiro lihat.
Izroil!
Wah, makin gila saya mendengar jawabannya. Malaekat maut?!
Akhirnya saya paksa diri saya pada suatu hari berkunjung ke tempat tinggalnya.
”Nak mas masih muda. Dalam usia seperti saya, yang telah menjalani perjalanan hidup yang kelewat panjang adalah saat untuk merindukan ketenangan. Saya tahu malaekat Izroil akan selalu hadir saat orang meninggal”
Saya masih belum mengerti maksudnya
”Mbah pernah melihat Izroil?”
Dia menatap saya agak lama dengan muka serius. Seakan bergumam pelan dia berkata:
”Saya rasa sudah saatnya kaum muda mengerti akan perjalanan sejarah kelam yang telah terjadi di negeri ini?”
”Sudah pernah!” ujarnya kemudian dengan tegas
”Sekitar 40 tahun lalu, pasti nak mas belum lahir, hal itu terjadi. Bersamaan dengan munculnya lintang kemukus di langit menjelang tengah malam, itu pertanda bahwa dajal menguasai kita. Oleh dendam yang tak jelas, ribuan saudara kita dimakan pedang dan clurit.”
Saya belum menangkap maknanya.
Mbah Wiro berbalik sejenak, menyiapkan teh hangat yang kemudian disodorkan ke saya. Dia sulut rokok kawungnya, diisapnya dalam-dalam. Asapnya menyembur ke seluruh ruangan, membuat saya sedikit terbatuk-batuk. Dia ucapkan maaf dan menyilakan saya minum. Saya agak mengernyit menghirup teh yang pahit benar di lidah saya.
”Nak mas, kepahitan hidup bisa menjadi permulaan kemanisan hidup. Juga kemanisan hidup bisa juga menjadi permulaan kepahitan hidup.”
”Maksudnya?”
”Semasa muda saya hidup senang sebagai petani dengan sawah warisan orangtua yang luas. Hidup sangat kecukupan. Tapi kita manusia suka lupa diri, kurang mensyukuri nikmat Allah. Sawah ludes dalam judi sabung ayam. Jatuh ke tangan orang kaya yang banyak orang menyebutnya seorang tuan tanah. Akhirnya jadilah saya cuma sebagai petani penggarap. Dalam kesulitan hidup ini, sebuah organisasi persatuan para petani datang sebagai dewa penolong, paling tidak menolong saya lebih bersemangat dalam menghadapi hidup. Organisasi ini menjanjikan perjuangan untuk memperbaiki kehidupan petani, dengan melawan apa yang disebut setan desa, seperti rentenir, tengkulak ijon, dan apa saja yang merugikan kaum tani, termasuk melawan tuan tanah. Saya aktif di dalamnya sebagai ketua ranting desa…Yang baru kemudian saya tahu, bahwa organisasi ini mendapat julukan onderbow partai terlarang, oleh pemerintah!”
Mbah Wiro menghentikan ceritanya sejenak. Menarik nafas panjang, kemudian meneruskan:
”Dan pertanda lintang kemukus malam itu terbukti. Petaka besar terjadi. Hanya dengan tudingan terindikasi partai terlarang saja, saudara-saudara kita dibantai oleh sesama saudara. Perburuan telah membuat desa ini banjir darah. Nyawa manusia lebih murah dari nyawa ayam. Pak lurah memang menasehatkan saya untuk melarikan diri, karena menurut dia saya sudah masuk daftar. Tapi saya enggan. Sampai suatu tengah malam segerombolan orang berseragam membawa senjata laras panjang dan beberapa warga menyandang pedang dan clurit terdengar bergerak menuju tempat tinggal saya. Istri saya suruh sembunyi di semak-semak kebun belakang, sedang saya di ladang jagung, tak jauh dari depan rumah.
Setelah mereka menggeledah rumah ternyata kosong. Seorang dari mereka berteriak: Ladang jagung! Jadilah tanpa pikir lagi saya lari. Terus saja lari, meskipun dari jauh terdengar jeritan dan tangisan minta ampun istri saya. Lari menerabas apa saja, sampai nafas hampir habis, sampai jatuh terjerembab di bantalan rel kereta di pinggir desa.
Kemudian dengan sisa tenaga yang ada, saya susuri rel hingga sampai stasiun di batas kota. Saya mungkin pingsan. Setelah sadar saya sudah terbaring di tengah beberapa pemuda berbaju loreng seperti aparat. Saya dibawa ke suatu rumah besar yang penuh pemuda berseragam sama, tetapi saya rasa mereka bukan ABRI, karena hanya menyandang pedang dan clurit. Di sana saya benar-benar merasa akan dihabisi oleh sesama saudara!”
Sampai di sini, saya berpikir mana hubungannya dengan Izroil? Yang saya tahu hanyalah cerita guru tentang pemberontakan G30S sewaktu di sekolah menengah.
”Setelah disekap satu hari, tengah malam saya dinaikkan truk bersama banyak orang tangkapan lain,” lanjut mbah Wiro. ”Dengan tangan terikat dan mata tertutup kain hitam kami dibawa entah ke mana. Kami diturunkan di tempat yang saya pikir pasti hutan karena saya mendengar suara gemerisik dedaunan yang kami lewati. Kami dibariskan satu-satu disertai tendangan dan makian. Sebentar-sebentar kami disuruh maju selangkah. Dan sebentar-sebentar terdengar jeritan mohon ampun serta suara benda berat jatuh ke air. Saya semakin pasti bahwa saya akan dibantai. Ya Tuhan ampunilah segala dosa kami, tolonglah kami. Giliran saya tinggal maju setapak lagi. Saya tengadahkan muka sambil menangis, doa saya tak henti-henti. Dalam kegelapan mata tertutup, saya melihat seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa dan menoleh, sekejap tersenyum kepada saya….
Tiba-tiba terdengar tembakan gencar dan langkah-langkah berat berdatangan. Tembak-menembak terjadi. Tanpa komando kami tiarap. Teriakan kematian bersahutan. Sesaat kemudian berhenti.
Ternyata yang datang benar-benar anggota ABRI yang melepaskan tutup mata dan tali ikatan kami. Terdapat ada beberapa orang pemuda sedang sekarat dan seorang benar-benar meninggal tergeletak dengan sebuah kapak besar masih di tangan. Dan ya Allah, sebuah gubug pembantaian itu terletak di bibir sungai besar di mana menurut kisah lama Joko Tingkir telah mengalahkan 40 ekor buaya di sungai itu!
Itulah permulaan jalan panjang saya menuju tanah pengasingan di sebuah pulau yang jauh di sebelah timur sana”
Badan saya merinding membayangkan kisahnya. Saya jadi ragu dan bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan kengerian yang digambarkan film Pengkhianatan G30SPKI yang diwajibkan oleh pemerintah untuk semua warga sampai anak sekolah harus menonton.
Melihat wajah mbah Wiro yang tampak letih, saya mencoba mengalihkan pembicaraan:
”Wah hebat. Sayur seledrinya subur amat mbah.”
”Darah dan daging saya seorang petani,” ujar mbah Wiro manggut-manggut, ”Tuhan menganugerahi setiap umat, kemampuan untuk bertahan hidup dalam keadaan apa pun.”
”Termasuk semaktu di tanah pengasingan mbah?”
”Benar nak mas. 12 tahun memendam perasaan kesendirian, kesepian, kengerian keadaan ribuan tahanan yang tak lepas dari kekerasan petugas, jaminan hidup tak memadai, harga diri sebagai manusia dihabisi, dan segala yang rasanya membikin hilang harapan. Tetapi ternyata itu semua makin memperkuat ketahanan kita untuk hidup. Meskipun kami ditempatkan di daerah perbukitan yang gersang. Tanaman yang tumbuh banyak hanya pohon kayu putih.
Semula memang tidak tahu apa yang akan saya buat, tapi akhirnya sadar bahwa kami dibuang di sini, mungkin demi mengurangi beban pemerintah untuk memberi makan kami. Itulah yang membuat kami semua merasa mempunyai satu ikatan kekeluargan yang erat. Kami mencoba bercocok tanam padi, tebu, jagung, ubi, dan kacang, Hasilnya kami konsumsi bersama. Meski kekurangan pupuk, tanaman kami cukup memuaskan.”
”Lalu dengan pupuk apa mbah” tanyaku asal-asalan.
”Sedikit ZA dicampur air tinja!” jawabnya serius. Saya tersenyum mendengar jawabannya. Tetapi wajahnya berubah sedih seperti hampir menangis.
”Tinja memang kita anggap barang paling hina dan menjadi santapan enak bagi babi.
Tapi benda itu yang membuat saya bisa bertemu Izroil lagi!”
Mbah Wiro tercenung beberapa saat, kemudian mendekatkan wajahnya padaku, sambil ujarnya pelan:
”Suatu hari, selepas menyiangi tanaman, perut saya berontak, yang membuat saya tak tahan buang air besar di sungai yang tak jauh dari barak. Tiba-tiba sebuah bedil menyalak, pelurunya hampir menembus kepala saya. Segera saya lari menuju barak, ternyata petugas bersenapan tadi sudah menunggu saya. Dengan tendangan saya dipaksa mengambil tinja yang sudah terapung di sungai. Dan di depan teman-teman dia paksa saya merangkak, dengan tendangan bertubi-tubi serta ancaman senjata, saya harus melahap tinja bagaikan seekor babi.
Selama seminggu hati saya menangis. Ketabahan saya selama ini runtuh. Betapa hinanya harga diri saya sebagai manusia. Sehingga tak tahan saya untuk tidak menyiapkan tali. Sewaktu jeratan tali mencekik leher dan sudah tak sadarkan diri sekilas seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa menoleh dan tersenyum kepada saya. Tiba-tiba teman-teman menolong menurunkan saya!”
Mbah Wiro diam sejenak, berkata pelan seperti pada dirinya sendiri:
”Ya sebetulnya dijadikan babi tidaklah seberat ketika telah dipulangkan dari sana. Saya menerima kenyataan tidak lagi bisa menjumpai rumah dan istri serta sanak keluarga saya.”
Seakan ada sesuatu yang menyesaki dada saya mendengar kisah terakhir ini. Lama kami terdiam. Mbah Wiro melepas nafas panjang dan memandang jauh ke depan, ke arah rel kereta di depan rumah. Sambil menunjuk sepasang rel kereta yang lurus sampai ujungnya tak terlihat, ujarnya:
”Lihat nak mas! Perjalanan hidup ini ibarat dalam kereta di atas rel lurus dengan tujuan yang sudah pasti di ujungnya. Kita tidak bisa membelokkan sendiri ke arah lain!”
Kami ngobrol apa saja sampai menjelang magrib. Sebelum meninggalkan rumahnya, saya sempat bertanya setengah bercanda:
”Omong-omong bagamana wajah malaekat itu, mbah?”
”Itu rahasia Tuhan!” jawabnya tegas.
Sesampai di depan rumahnya, saya memperhatikan tanaman seledrinya yang nampak benar sangat subur, saya bertanya pula:
”Pupuknya apa mbah?”
Dia hanya tersenyum kecil, sambil berbalik ke rumahnya.
Sehabis pertemuan itu, sekian lama saya tidak menjumpainya, sehubungan dengan tugas saya ke ibu kota. Hingga suatu hari secara kebetulan saya bertemu mbah Wiro sedang berjalan ke pasar sambil membawa segepok sayur seledri. Basa basi saya menyapa dengan bertanya apa kabar.
”Semalam saya bertemu dengan malaekat Izroil, dan dia telah mengabulkan permohonan saya tentang kerinduan yang selama ini saya dambakan” jawabnya sambil tersenyum. Tapi senyum itu! Senyum itu terasa sangat aneh.
***
Sehabis dzuhur jenasah mbah Wiro diberangkatkan ke pemakaman di pinggir desa. Pelayatnya hanya bisa dihitung dengan jari. Saya ikut mengusung kerandanya.
Sewaktu jenasah diturunkan ke liang lahat dan ketika kain kafan di wajahnya dibuka, saya sempat melihat wajahnya. Wajah yang tenang dan nampak tersenyum. Saya rasa mbah Wiro Seledri telah bersama malaekat Izroil ikut menunggang kuda di angkasa!
Klaten, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar